Akhirnya, Wisnu menatap ke dalam matanya. "Aku mencintaimu Quinn," katanya. "Aku ingin menikahimu. Kami akan menjadi keluarga, dan saya percaya kami harus mendukung -- "
"Dia merusakmu," potong Quinna. "Kamu terlalu bersemangat untuk menjadikan liputanmu---dirimu---viral secara nasional, sampai-sampai tak melihat bahwa dia merusakmu, dan jika dia menjadi lurah dia akan merusak semua orang, dan kemudian PILKARDUS akan mulai mendengarkan orang-orang yang korup dan orang-orang yang memperkosa wanita dan membunuh dua puluh ribu lawan politik. Ini akan menjadi akhir dari demokrasi kita."
Wisnu menatapnya dengan mata membelalak. Quinna tahu dia sudah mengerti sudut pandangnya. Pacarnya itu terduduk kembali ke kursinya, seolah-olah kakinya tidak bisa menopangnya lagi.
"Itu bukan korupsi," katanya dengan suara lemah.
"Selamat tinggal," kata Quinna. "Terima kasih untuk empat tahun kebersamaan yang indah."
Wisnu menatapnya tajam. "Apa yang kamu katakan?" Sebersit ketakutan terdengar dalam suaranya.
Quinna tidak berkata apa-apa lagi saat dia berjalan keluar dari studio Wisnu.
***
 Kembali ke workshop-nya, Quinna mengeluarkan ponselnya dan melihat sederet notifikasi---kebanyakan dari orang-orang yang menanyakan tentang berita ibunya. Dia menekan tombol 'DELETE ALL', dan kemudian dia menginstruksikan Qushe untuk membisukan notifikasi yang berkaitan dengan ibunya, bapaknya, dan Wisnu.
Kemudian dia mengetuk ikon PILKARDUS dan dengan denting pelan aplikasi itu memenuhi layar. Halaman beranda menampilkan topik yang sedang tren.
Meskipun baru mengumumkan pencalonannya sekitar dua jam yang lalu, bapaknya menempati trending topic nomor satu di kotanya, menurunkan ranking diskusi jembatan yang runtuh pada hari sebelumnya dan mengalahkan polling tentang pajak air tanah yang menyebabkan kerugian besar bagi bisnis. Di tab Nasional, dia nomor tiga, menyalip RUU dekriminalisasi upaya aborsi. Meter pemilihan menempatkan dia sebagai favorit untuk menang, berdasarkan komentar dan reaksi terhadap keputusannya dan pengumuman ibunya.