Dia telah membaca tentang perempuan-perempuan yang diperkosanya, berapa anaknya lahir karena itu, dan Quinna bertanya-tanya apakah dia termasuk dalam data statistik itu, apakah pernikahannya dengan ibu dimulai dengan kekerasan.
Mengapa ibu masih mencintainya?
Bahkan, terpikir olehnya bahwa ibunya mungkin memiliki andil dalam kejahatan yang dilakukan lelaki itu, karena tidak ada yang bisa menjelaskan bagaimana dia, dari semua perempuan, mendapatkan sebuah istana.
Pikiran itu yang membuat Quinna melarikan diri dari ibunya. Dia dan Lebih dari dua tahun dia tidak menemui ibunya meskipun mereka tinggal di kota kecil yang sama. Quinna sempat berkeinginan pindah ke kota besar, tapi jauh di lubuk hatinya dia mencintai ibunya. Jauh di lubuk hatinya dia berharap bapaknya adalah orang yang tertawa terbahak-bahak ketika seorang gadis kecil bermain dengan brewoknya, pemimpin besar yang menyeret negaranya keluar dari rantai kemiskinan dan neokolonialisme, bukan monster dalam buku-buku sejarah. Jauh di lubuk hatinya, dia berharap suatu hari ibunya akan menjelaskan semuanya dan semuanya akan baik-baik saja.
"Dua menit," katanya.
Mantan Presiden menatapnya untuk waktu yang lama, begitu lama sehingga dia pikir dia tidak akan menjawab.
Mata lelaki itu berkedip-kedip, dan Quinna bertanya-tanya apakah itu air mata yang tidak mampu menetes? Dia bertanya-tanya, apakah itu wajah seorang lelaki tua yang telah kehilangan segalanya, yang berusaha memenangkan hati satu-satunya anak yang dia miliki dengan seorang perempuan yang tetap mencintainya setelah sekian lama?
"Sekarang ini," akhirnya dia berkata, "saya akan mengatur aksi unjuk rasa, mencetak poster, dan baju kaos --"
"Anda membunuh lawan Anda," Quinna menyela. Dia terkejut karena kalimat yang keluar dari bebirnya seolah-olah dia sedang mengomentari sepatu kulit di kaki pria itu.
Dia mengerutkan kening. Bibirnya bergetar saat berjuang untuk menjawab pertanyaan Quinna. Perhatiannya tertuju pada sepatunya yang berkilauan di kegelapan seperti pantulan sinar magis.
"Mereka memanfaatkan aku." Bukan lagi 'saya'. Suaranya berderak sehingga Quinna ingin memberinya segelas air. Dia membenci dirinya sendiri karena pikiran itu. Aku seharusnya membencinya. pikirnya.