Danu mengangguk pelan, lalu menatap Dudung tajam. "Bapak ada luka? Bukti? Atau saksi yang melihat?"
Dudung menggeleng. "Nggak ada, Pak. Di situ sepi sekali. Saya cuma jatuh dan lutut saya sedikit lecet."
Danu berdiri dan memanggil rekannya, Aiptu Rachman, yang lebih senior. "Pak, ada laporan pembegalan di jalan sawah," kata Danu.
Rachman mendekat, membawa aura yang lebih serius. "Pak Dudung, kita harus pastikan laporan ini benar. Kalau boleh tahu, kenapa Bapak melewati jalan itu subuh-subuh? Bukannya berbahaya?"
"Saya nggak punya pilihan, Pak. Itu jalan terdekat ke kampung sebelah. Kalau mutar, bisa sejam lebih," jawab Dudung sambil meremas tangannya sendiri.
Rachman mengangguk, lalu mengajukan serangkaian pertanyaan, "Motor apa yang diambil?", "Plat nomornya?", "Apa yang mereka bilang saat membegal?", "Bapak sempat lihat ciri-ciri pelaku?"
Dudung menjawab dengan detail, meskipun terbata-bata. Motor Yamaha Jupiter Z biru tua, plat nomor F 4783 KW, dan pelaku berbicara dengan logat kasar yang asing baginya.
Rachman memperhatikan gerak-gerik Dudung dengan saksama. Ia lalu mengeluarkan alat perekam suara. "Pak Dudung, saya akan merekam laporan ini. Ulangi lagi dengan detail, tapi lebih santai. Kami mau lihat apakah cerita Bapak konsisten."
Dudung mulai berbicara, kali ini lebih runtut. Namun, ketika ia mengulang, tangannya gemetar dan suaranya tersendat ketika mendeskripsikan pelaku.
Rachman melipat tangan, menatap Dudung dalam-dalam. "Pak Dudung, ini bukan menuduh ya, tapi kami pernah menangani kasus serupa, di mana laporan begal ternyata rekayasa. Saya harap ini bukan alasan untuk klaim asuransi atau menghindari cicilan."
Mendengar itu, wajah Dudung memerah. "Demi Allah, Pak! Saya nggak bohong! Motor itu hasil kerja keras saya bertahun-tahun!" suaranya meninggi, hampir menangis.