Mohon tunggu...
Asep Setiawan
Asep Setiawan Mohon Tunggu... Akuntan - Membahasakan fantasi. Menulis untuk membentuk revolusi. Dedicated to the rebels.

Nalar, Nurani, Nyali. Curious, Critical, Rebellious. Mindset, Mindmap, Mindful

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Solusi Ketimpangan Ekonomi : Pendekatan 7 Holon, Emergence, dan Reductionism

21 Desember 2024   21:38 Diperbarui: 21 Desember 2024   21:38 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menurunkan Ketimpangan Ekonomi: Menghubungkan Lapisan-Lapisan Sosial, Psikologis, Biologis, Kimiawi, Fisika, dan Matematika melalui Penyelesaian Integral

BAB 1: PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Di jantung kota, gedung pencakar langit berdiri angkuh, seperti menantang langit dengan kesombongan betonnya. Jendela-jendela kaca raksasa memantulkan sinar matahari, menciptakan ilusi kemegahan yang sempurna. Mobil-mobil mewah melintas di jalan raya yang seakan tidak pernah tidur, sementara penghuni perumahan elit menikmati kedamaian yang hanya bisa dibeli dengan uang. Namun, jika kita menundukkan pandangan, tidak terlalu jauh, hanya beberapa meter dari gemerlap itu, kita akan menemukan realitas yang berbeda, realitas yang berbisik, bahkan menjerit, tetapi jarang didengar.

Di sudut jalan yang sama, seorang pria tua mendorong gerobaknya dengan langkah berat. Keringat mengalir dari dahinya, bercampur dengan debu jalanan yang tidak pernah bersih. Dia tidak peduli dengan mobil mewah yang melintas di sebelahnya. Baginya, mobil-mobil itu adalah dunia lain, dunia yang tidak pernah bisa ia sentuh, bahkan dalam mimpi. Di gerobaknya, ada botol plastik bekas, kardus, dan sisa-sisa yang dianggap sampah oleh kota ini. Tapi bagi dia, itulah hidup, itulah cara ia bertahan di tengah hiruk-pikuk yang mengabaikannya.

Tak jauh dari sana, seorang wanita muda berdiri di tengah jalan dengan baju yang lusuh. Anak kecil di gendongannya menangis, mungkin karena lapar, mungkin karena lelah. Tapi suara tangis itu tenggelam oleh deru klakson dan teriakan pengemudi yang kesal. Dia menjulurkan tangan ke setiap jendela mobil yang terbuka, berharap ada yang cukup murah hati untuk melemparkan sekeping koin. Sebagian besar hanya memalingkan wajah mereka, seakan kehadirannya adalah noda di atas lukisan indah kota ini.

Di lampu merah berikutnya, seorang pemuda dengan gitar tua menyanyikan lagu yang nyaris tak terdengar. Suaranya serak, mungkin karena terlalu sering bernyanyi di jalanan yang penuh asap kendaraan. Ia bernyanyi bukan karena ingin, tetapi karena harus, karena suara itulah yang memberinya harapan untuk bertahan sehari lagi. Tapi harapan itu rapuh, seperti senar gitarnya yang hampir putus.

Kota ini berpacu cepat, seolah-olah tidak ada waktu untuk menoleh ke belakang. Tetapi apa artinya kemajuan jika ada begitu banyak yang tertinggal? Apa artinya gedung bertingkat jika di bayangannya ada manusia yang tidur di bawah jembatan? Apa artinya jalanan yang dipenuhi mobil mewah jika ada yang harus mengais sisa makanan dari tempat sampah di sudut jalan?

Mereka yang tertinggal ini bukan hanya angka dalam statistik kemiskinan. Mereka adalah wajah, nama, dan cerita. Mereka adalah bukti hidup bahwa kemajuan seringkali memiliki harga yang tidak dibayar oleh mereka yang menikmati hasilnya, tetapi oleh mereka yang tidak memiliki pilihan selain berjalan dalam bayangan gemerlap itu.

Kota ini adalah cermin, tetapi cermin yang retak. Di satu sisi, ia memantulkan kesuksesan, inovasi, dan keindahan. Di sisi lain, ia memperlihatkan luka, kelalaian, dan ketidakadilan. Dan pertanyaannya adalah, kapan kita akan melihat seluruh cermin itu, bukan hanya sisi yang ingin kita lihat? Kapan kita akan mengakui bahwa di tengah derap ekonomi yang berpacu cepat, selalu saja ada yang tertinggal?

Ketimpangan ekonomi telah lama menjadi salah satu masalah paling mendalam dalam masyarakat global, mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, mulai dari distribusi kekayaan hingga kesempatan sosial dan ekonomi. Ketimpangan ini tidak hanya terlihat dalam perbedaan pendapatan antara individu, tetapi juga dalam struktur sosial, psikologis, biologis, dan bahkan mekanik di balik dinamika tersebut. Untuk mengatasi masalah ini secara efektif, diperlukan pendekatan yang lebih holistik dan integratif yang mempertimbangkan berbagai lapisan yang saling berinteraksi dalam sistem kompleks.

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun