Dengan sedikit kertas dan tulisannya, ia mulai mengurai misteri cahaya, bagaimana ia berjalan lurus, bagaimana lensa bekerja, bagaimana mata manusia menangkap gambar. Dari penjara itulah lahir magnum opus-nya, "Kitab al-Manazir", sebuah karya monumental yang meletakkan dasar bagi ilmu optik modern.
Lucunya, penjara yang dimaksudkan untuk membungkamnya justru memberikan kebebasan batin. Kesunyian penjara itu menjadi ruang kosong tempat pikirannya melayang bebas, terlepas dari kebisingan politik dan tuntutan dunia.
Ironis? Ya. Tapi mungkin begitulah manusia, kadang hanya dalam keterbatasan paling keras, kita menemukan cahaya yang paling terang.
Sayid Quthb: Petunjuk Jalan di Tengah Sunyi Penjara
Suasana penjara Mesir itu pengap dan bising. Kadang terdengar jeritan di kejauhan, suara rantai yang ditarik kasar, atau bentakan sipir yang tak kenal ampun. Namun di satu sudut sel, seorang pria duduk bersila dengan kertas dan pena di tangannya. Ia adalah Sayid Quthb, seorang pemikir dan penulis yang hidup di masa rezim keras Mesir.
"Mereka ingin membungkam pikiranmu, Quthb," seorang tahanan berbisik dari sel sebelah.
Sayid Quthb menatap kosong ke dinding batu di hadapannya. "Jika mereka tahu, di penjara inilah pikiranku malah berbicara paling lantang," jawabnya tenang.
Penjara itu penuh tekanan. Hari-hari berlalu seperti hukuman tak berujung. Namun bagi Quthb, kesunyian itu adalah ruang meditasi. Setiap suara rantai yang berdentang, setiap langkah sipir yang memecah keheningan, menjadi semacam alarm yang mengingatkannya akan realitas yang harus ia tuliskan.
Di situlah, dalam sel sempit itu, lahir karya besarnya "Fi Zhilalil Qur'an" dan "Petunjuk Jalan". Dua karya yang tidak sekadar tafsir atau pemikiran biasa, tetapi juga seruan perenungan mendalam terhadap kehidupan, masyarakat, dan nilai-nilai yang tengah runtuh.
"Apakah kamu tidak takut, Quthb?" seseorang bertanya padanya suatu hari.
Ia tersenyum kecil, "Apa lagi yang bisa mereka ambil dariku selain kebebasan yang sudah aku temukan di dalam diriku?"
Kebebasan, itulah paradoksnya. Dalam penjara yang seharusnya membatasi geraknya, Quthb justru menemukan kebebasan berpikir yang paling murni. Penjara tidak membungkamnya, melainkan memaksa dirinya melihat realitas dengan lebih tajam, dengan lebih dalam.
Ibnu Haytam dan Sayid Quthb, Cahaya dalam Kegelapan