Aku jadi berpikir, mungkin Einstein juga punya "gangguan kecil" di kantornya, atau Ramanujan terdorong oleh rutinitas membosankan sebagai juru tulis. Karena ternyata, kekacauan kecil itu perlu. Tanpa itu, pikiran hanya akan membeku dalam kesunyian.
Einstein dan Ruang Sunyi yang Tak Pernah Sepi
Albert Einstein duduk di mejanya di kantor paten Bern, Swiss. Ruangan itu kecil dan sesak dengan tumpukan berkas paten yang mesti ia periksa. Udara pengap bercampur dengan suara jam dinding yang berdetak pelan, tetapi bagi Einstein, detak itu seperti metronom yang membimbing pikirannya.
"Lagi bengong, Herr Einstein?" suara koleganya memecah lamunannya.
Einstein tersenyum kecil, "Ah, tidak. Saya cuma... berpikir."
"Berpikir? Di kantor ini? Tentang apa?"
"Waktu," jawab Einstein singkat.
Waktu---sesuatu yang dianggap pasti, linear, tak pernah dipertanyakan. Tetapi Einstein, yang dikelilingi kebisingan berkas dan suara mesin ketik, justru menemukan ketenangan di dalamnya. Kantor paten itu, bagi orang lain, hanyalah rutinitas membosankan yang menghancurkan impian. Tapi bagi Einstein, kebisingan monoton itu adalah latar yang sempurna. Berkas-berkas itu seperti tameng dari hiruk-pikuk dunia luar, rutinitas kerja administratifnya justru memberikan ruang batin baginya untuk memikirkan hal-hal yang tak pernah terpikirkan.
Dan di sanalah, di tengah kebisingan dan keterbatasan waktu, lahirlah gagasan tentang relativitas khusus. Suatu teori yang kemudian mengguncang fondasi sains modern.
Bayangkan jika Einstein hanya duduk di puncak gunung yang sunyi, tanpa tumpukan pekerjaan atau detak jam yang rutin. Mungkinkah pikirannya mengalir sebebas itu? Atau justru membeku dalam kesunyian yang terlalu sempurna?
Ramanujan: Ketukan Pena di Meja Usang
Di Madras, India, seorang pemuda kurus dengan mata tajam duduk membungkuk di meja kecil. Namanya Srinivasa Ramanujan. Pena usangnya bergerak cepat, menari di atas kertas yang penuh angka dan rumus. Kadang-kadang, ia berhenti sejenak, menatap ke depan dengan pandangan kosong, sebelum tiba-tiba kembali menulis, seperti mendapat bisikan dari alam yang tak kasatmata.
"Ramanujan! Kerjamu kapan selesai?" suara Boss-nya membentak dari luar ruangan kerja kecilnya.
Ramanujan tak menjawab. Baginya, gangguan itu hanya seperti riak kecil di kolam pikiran yang dalam. Di balik rutinitas kerjanya sebagai juru tulis di kantor rendahan, Ramanujan menemukan pelarian di balik angka-angka.