Setiap hari, setelah menyelesaikan pekerjaannya yang monoton, ia kembali ke meja itu, berhadapan dengan suara-suara dari dunia luar yang memintanya untuk "lebih realistis". Tetapi Ramanujan justru menemukan ruang batinnya dalam ketegangan antara kenyataan pahit dan obsesinya terhadap matematika.
Jika hidupnya sempurna, jika ia memiliki ruangan sunyi, waktu tak terbatas, dan dukungan penuh, mungkin ia justru akan tenggelam dalam kenyamanan. Tetapi gangguan kecil, tekanan ekonomi, dan keterbatasan itulah yang memaksanya untuk memeras otak hingga ke batas yang tak dikenal manusia biasa.
Di tengah kebisingan dunia nyatanya, lahirlah karya-karya matematis yang sampai sekarang masih dikagumi. Rumus-rumusnya seperti datang dari ruang kosong di antara suara-suara bising---sebuah paradoks yang memelihara jeniusnya.
Einstein dan Ramanujan: Dua Jiwa, Satu Paradoks
Einstein dan Ramanujan tidak mencari keheningan sempurna; mereka hidup di tengah gangguan, kebisingan, dan keterbatasan. Namun, di sanalah kreativitas mereka menyala. Einstein melihat relativitas waktu di sela-sela tumpukan berkas kantor paten. Ramanujan mendengar bisikan matematika di balik ketukan pena di kamar sempitnya.
Paradoksnya jelas yaitu kebisingan kecil, keterbatasan, dan "gangguan" ternyata tidak mematikan pikiran, tetapi justru menghidupkannya. Dalam ketidaksempurnaan itu, ruang kreatif mereka justru menemukan bentuknya.
Sama seperti suara "cerewet" istri saya yang tiba-tiba menjadi pemantik ide, kadang kebisingan adalah katalis yang tak kita sadari. Sunyi sempurna hanya membawa kebekuan, tetapi kebisingan kecil menghadirkan ketegangan yang melahirkan kejeniusan.
Ibnu Haytam: Cahaya di Balik Jeruji
Bayangkan seorang pria duduk di dalam sel gelap, hanya ditemani udara lembab dan suara gemericik air dari kejauhan. Ia memejamkan mata, merasakan kegelapan itu seperti selimut tebal yang menelan dunianya. Pria itu adalah Ibnu Haytam, seorang ilmuwan besar dari zaman keemasan Islam, yang pernah dipenjara oleh penguasa Dinasti Fatimiyah.
"Di luar sana, dunia tak butuh ilmuwan yang lemah," suara sipir penjara menggema di balik pintu besi.
Ibnu Haytam diam. Ia tidak marah, tidak meratap. Dalam diamnya, pikirannya justru menyala seperti nyala lilin kecil di tengah ruangan yang gelap gulita.
Di penjara yang sunyi, di mana dinding dingin seakan menutup semua jalan keluar, Ibnu Haytam mulai memperhatikan satu hal sederhana, cahaya. Bayangan cahaya yang menerobos celah kecil di dinding, bagaimana ia memantul, bagaimana ia bergerak, bagaimana ia mengungkap bentuk-bentuk di sekitarnya.