“Beneran gak ada, Lin. Mungkin kamu cuma salah lihat. Lagipula, mana ada hantu pagi-pagi gini.“ bantah Shanti.
Ibu Hesty langsung menegur siswanya yang mengobrol saat dia menerangkan pelajaran.
“Shanti, Lina, apakah itu suara kalian?“
“I-iya, bu.“ jawab mereka berdua.
“Sekali lagi ibu dengar kalian berdua berbicara, ibu takkan segan-segan mengeluarkan kalian dari kelas.“
Mendengar ancaman gurunya, mereka berdua terdiam. Mereka mencoba memberi perhatian, berkonsentrasi dengan pelajaran yang sedang dijelaskan. Lina yang sedang memperhatikan gurunya, konsentrasinya terganggu oleh seseorang yang berdiri di depan pintu kelas. Dia mencoba menoleh sekilas. Ternyata itu adalah perempuan yang dilihatnya sebelum ia memasuki kelas.
Ini sungguh membuatnya terkejut. Dia kembali mengarahkan pandangannya kepada gurunya. Seperti yang dilihatnya barusan. Dia memakai baju putih dengan rok abu-abu, sedang berjalan di sekitar kelasnya. Wajahnya tertutupi oleh rambutnya yang panjang. Tetapi, dilihatnya lagi dengan jelas—bola matanya kosong. Dia melirik Lina yang sedari tadi memperhatikannya. Lina terdiam tapi tak bisa memalingkan perhatiannya dari sana. Dia terus berjalan pelan-pelan melewati kelasnya. Langkah kakinya tidak terdengar oleh siapapun seolah dia berjalan tanpa memijak lantai.
Dia mendadak berhenti. Mengarahkan badannya menuju jendela kelasnya. Dia hanya sebentar menampakkan dirinya. Wajahnya menempel di kaca jendela. Dia tersenyum jahat ke arahnya. Perasaan takut mulai menyelimuti dirinya. Bulir-bulir keringat dingin menetes dari dahinya. Berharap, dia bisa bersuara sedikit. Tapi, jangankan bersuara, bergerak sedikitpun tak bisa.
“Hei, kenapa lo Lin?“ tegur Shanti sambil menepuk pundak Lina pelan.
Saat Shanti menepuk pundaknya, baru dia bisa berbicara dan bergerak bebas. Tidak seperti tadi. Semua sendi-sendi di tubuhnya terkunci begitu pula dengan mulutnya.
“Shanti... Lina...“ tegur gurunya.