Mohon tunggu...
Aldo Manalu
Aldo Manalu Mohon Tunggu... Administrasi - Penulis

Lelaki kelahiran Bekasi, 11 Maret 1996. Menekuni bidang literasi terkhusus kepenulisan hingga sampai saat kini.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tumbal Arwah Jelangkung - 2

16 Februari 2016   19:35 Diperbarui: 17 Februari 2016   17:40 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Hey, Prakoso apa yang kau lakukan?“ Donni tersentak dengan perlakuan Prakoso.

“Biarkan saja boneka itu! Pun, boneka itu sudah tak punya kekuatan untuk mengundang arwah lagi. Aku tidak akan main jelangkung dan jangan ada yang mengambil boneka itu lagi.“ tandas Prakoso seraya bangkit berdiri dari tempat duduknya.

Suasana semakin panas. Indra mencoba menenangkan Prakoso dan Donni dengan mengajak mereka semua pulang ke rumah masing-masing. Indra juga ingin pulang ke rumahnya, mengadukan masalah mantra pemanggil roh kepada ayahnya.

Akhirnya, semua sudah pulang dari rumah kosong. Malam semakin larut. Tak satu pun gugusan bintang menampakkan cahayanya di langit gelap. Bulan purnama berpendar, menghantarkan aura mistis ke dasar bumi. Hening dan sepi. Tak terdengar suara jangkrik ataupun kodok-kodok bernyanyi riuh. Kesunyian mencekam dan bisa saja membunuh nyali.

Tapi, itu tak masalah bagi Prakoso. Walaupun rumahnya jauh, dia sama sekali tidak mengkhawatirkan hal itu. Orang tuanya pun takkan mencari dirinya karena sampai sekarang kedua orang tuanya masih bertugas di Riau. Kini yang tinggal di rumahnya, hanya mbak Sinda, pembantu rumah tangga mereka dan adiknya, Melly, yang masih duduk di bangku SMP.

Prakoso berfokus dengan sepeda motor dan jalan yang berada di depannya. Dia memacu sepeda motornya dengan hati-hati walaupun jalan raya terlihatlengang.

Angin malam bertiup lembut, menerpa wajah halusnya yang tanpa jerawat. Kulit wajahnya dingin. Untungnya, dia memakai jaket dan shalf yang membungkus lehernya. Namun, angin malam masih bisa menembus celah-celah kecil dalam jaketnya. Bola matanyatertuju pada arlojinya. Jarum panjang dan pendeknya menunjukkan pukul 23.00.

Dia menambah kecepatan motornya hingga spedometer menunjuk ke 70 km/jam. Saat dia mencoba menarik gas sepeda motornya, jok belakang terasa berat seperti ada yang mendudukinya. Prakoso merasa demikian. Namun, ia sama sekali tak menghiraukan dan menarik gas sepeda motor hingga habis. Bukannya semakin cepat, laju sepeda motornya ogah-ogahan seperti ibu bunting tujuh bulan.

Merasakan ada sesuatu yang aneh dengan sepeda motornya,  pandangan Prakoso tak sengaja tertuju pada kaca spionnya. Dia melihat sejuntai rambut panjang menutupi sebuah wajah. Perasaan tak enak menyelimuti hati Prakoso. Dia tak berani menoleh ke belakang, tapi tubuhnya seolah-olah menyuruhnya untuk melihat ke belakang.

Jantungnya hampir lepas dari dadanya begitu melihat wujud makhluk astral di jok belakang. Sebuah wajah perempuan yang kulitnya berkopeng, mengeluarkan aroma busuk yang menusuk penciuman. Ratusan belatung rakus memakan setengah dari daerah wajahnya. Siapapun yang melihatnya  pasti takkan sanggup menahan rasa mual. Ia menyeringai seraya memperlihatkan bola matanya yang kosong.

“Selamat datang kawanku,“ sosok wanita menyeramkan itu mendesis di telinga Prakoso.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun