“Hmm...” sahut ayah nya pendek, dengan tidak memalingkan wajahnya ke arah Wini. Ayahnya masih tetap duduk menatap langi-langit. Akhirnya Wini gusar, dengan langkah berat ia bergegas meningalkan dapur. Wini duduk sendiri di teras depan, entah apa yang dipikirkannya, hanya matanya masih berkaca-kaca. Tak lama kemudian datanglah Safitri menyusul lalu duduk dipinggir Wini.
“Kakak kenapa..??? “ Wini tidak menjawab, ia hanya mengusap air mata oleh jemarinya.
[caption caption="kenanga - ideaonline.co.id"]
“Kakak masih ingat Kang Subekti..???” Wini sontak memalingkan wajah menatap Safitri, dengan suara lirih Wini menjawab.
“Tentu saja....... aku tidak akan pernah melupakan kang Bekti”. Wini terdiam sejenak air matanya sebutir demi sebutir berjatuhan. Terasa pedih mengiris dinding hatinya, ia mengigit bibirnya.
“...Kang Bekti cinta pertamaku dan cinta terakhirku.....” sambungnya dengan suara hampir tidak terdengar. Air matanya pun semakin deras. Nampak mata Safitripun ikut berkaca-kaca.
“...Bagaimana aku harus menjalani hidup ini...kenyataan ini. Janjiku setahun lalu....” tangispun tak terbendung lagi. Tangan Safitri meraih tangan Wini lalu dipeluknya Wini erat-erat.
“Kak....apa tadi Kakak melihat bangunan besar ditetangga desa sebelah??” tanpa menjawab Wini mengangguk pelan sambil terus terisak dan tersedu menahan tangis.
“Kang Bekti sekarang jadi pengusaha travel, jasa angkutan umum...,usahanya sangat maju, mobilnya sampai belasan mobil ...” mendengar perkataan Safitri, Wini berusaha melepaskan pelukannya dan perlahan suara tangisnnya mereda. Wini menatap dalam-dalam wajah Safitri.
“Bahkan, sejak Kak Wini pulang tahun lalu, ayah terang-terangan sama Kang Bekti ayah melarang Kang Bekti mengganggu Kakak. .... jadi Kang Bekti sudah tahu kalau ayah tidak merestui hubungan Kakak. Tapiii.....” Safitri berhenti sejenak
“Tapi kenapa???” desak Wini penasaran, sambil sesekali ia mengusap linangan air matanya yang masih tersisa.