Mohon tunggu...
Yan Sriw
Yan Sriw Mohon Tunggu... Guru - Keep calm and stay cool

Rencana-Nya, pasti lebih baik dan lebih indah... Trust in Him...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Kenanga di Tepi Jalan

25 Februari 2016   19:38 Diperbarui: 25 Februari 2016   20:01 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasanapun mendadak hening. Wini menggores-goreskan ibu jari kaki nya pada kaki meja sambil menundukkan kepalanya. Sesekali ia melihat ke arah adiknya yang tidak henti memainkan untaian  karet gelang. Terdengar lagi ayah Wini menyambung pembicaraannya.

“Semua ayah lakukan karena semata Ayah sayang sama kamu. Semua orang tua tidak ingin anaknya hidup susah... ” tiba-tiba ayah Wini berdiri dan berlalu meninggalkan kedua putrinya yang masih duduk. Safitri bergeser duduknya menempelkan badannya ke Wini. Lalu ia bicara setengah berbisik-bisik.

“Aku bilang juga apaaaa? Ayah pasti marah kalo tau Kakak pacaran sama Kang Bekti. Biar dia ganteng tidak ketulungan, tapi kan dia pemabok, suka judi, disuruh orang tuanya kuliah juga ngak mau. Ya pastilah Ayah marah” nampak Wini kesal, sedih dan kecewa.

“Sama aku aja ayah sudah bilang, tidak akan pernah merestui hubungan Kakak sama Kang Bekti!!!” sambung Safitri. Nampak mata Wini berkaca-kaca tanpa sepatahpun kata yang terucap.

“Kalo ayah sudah bilang A yaa harus A! Tau kan sifat Ayah...lebih keras dari batu Bonir?” sambung Safitri lagi.

Wini kini sudah melewati masa remaja. Dua semester lagi kulianya selesai. Tapi, sampai detik ini dia belum punya calon, boro-boro..... pacar aja dia gak punya.

***

Sore hari di pinggir jalanan yang agak menanjak ,terlihat Wini bersama adiknya duduk disebuah bangku di bawah pohon. Tiba-tiba sebuah sepeda motor berhenti tepat didepan mereka. Wini terperanjat, sontak ia berdiri dan terlihat wajahnya gugup.

“Kang Bekti...” sapa Wini pelan sambil matanya melihat sekeliling. Ia takut kalo ayahnya melihat kedatangan Subekti. Wini melanjutkan perkataannya.

“Kang, mau kemana?” tanya Wini pendek.

“Akang sengaja ke sini ingin ngobrol sama Wini” Wini semakin gugup.

“saya sama Safitri akan pergi Kang nengok nenek sakit”

“Ya sudah...hayu Akang antar berdua sama Safitri” kata Subekti sambil melirik ke arah Safitri.

“Gak usah Kang. Kalo akang mau ngobrol sama saya, akang tunggu aja saya di sungai bawah sana. Nanti saya sama Safitri kesana” Wini tergesa-gesa pergi sambil menarik tangan Safitri.

Wini menarik tangan Safitri menuju arah rumah. Safitri nampak kesakitan kakinya terbentur batu-batu kecil.

“Aduuh...lepas dong tanganku!!!!!. Kakiku sakiit menendang batu-batu, ini tangan juga sakiiit” kata Safitri setengah berteriak. Wini berhenti dan melepaskan tangan Safitri lalu badannya berbalik menghadap Safitri. Dengan wajah yang tegang Wini nampak memelas pada Safitri.

“Fiiittt....pliis yaaa. Antar aku ke bawah sana. Jangan bilang-bilang  Ayah Pliiisssss” Wini memegang kedua tangan Safitri memohon belas kasih Safitri.

“Aku takut kalo ayah tau aku dimarahin lagi entar” ucap Safitri sambil bersungut-sungut.

“Aku janji, kalo Ayah tau, aku b ilang Ayah bahwa kamu gak tau apa-apa. Ya??? Ya mau kan???” 

“Ya sudah...” pungkas Safitri mengiyakan.

Sungai jernih, air nya mengalir tiada habis. Pematang sawah membentang di pinggir sungai yang tak pernah kering itu. Terlihat dari jauh dua orang berjalan terburu-buru. Ternyata Wini bersama adiknya. Sesampainya dijembatan mata Wini mencari-cari seseorang. Nampaklah seseorang tak jauh dari jembatan duduk memeluk kedua lutut yang ditekuk. Di bawah pohon kersen yang terus bergoyang-goyang diterpa angin gunung yang sejuk.

“Fit nanti kamu duduk dibatu sebelahnya ya, kamu jangan nguping obrolanku nanti, awas ya!!!!” pesan Wini pada adiknya.

“iyaaaaaa deuh” kata Safitri dengan wajah ketus.

Wini berjalan sekitar dua meteran menyusuri pinggir sungai menuju pohon kersen yang rindang. Safitri duduk beberapa meter dari tempat Wini duduk bersama Subekti.

“Kang Bekti mau ngomong apa?” tanya Wini pelan.

Subekti rupanya belum mau menjawab, malah dia anteng menatap daun-daun kersen yang melambai-lambai. Tak lama Subekti mengubah duduknya, ia meluruskan kakinya dan memukul-mukul lututnya seakan dia pegal-pegal.

“Kang...!!!” sapa Wini lagi. Subekti memalingkan wajahnya menatap wajah Wini. Tanpa bicara sepatah katapun, Subekti terus menatap wajah Wini. Selang beberpa detik Subekti meluruskan kembali pandangannya. Ia menatap sungai seolah mencari sesuatu di dasar sungai itu.

Hati Wini berkecamuk, antara perasaan bahagia dan sedih. Sedikit ia melirik wajah Subekti yang masih anteng menatap air sungai. Terlihat wajah Subekti yang teramat tampan. Rambutnya bersulah, hidungnya mancung, kulitnya putih. Terlihat Subekti membasahi bibir tebalnya yang seksi oleh ujung lidahnya.

Tiba-tiba angin sore berhembus lagi menerpa wajah keduanya. Wangi kenanga dari pinggir jalan yang dibawa anginpun tercium, semerbak menacapkan kenangan dalam memori dua insan. Membuat keduanya larut menikmati suasana yang indah. Lama Subekti tidak menoleh ke arah Wini, seolah sengaja ingin memberi kesempatan Wini untuk menatapnya. Namun, tiba-tiba saja Subekti secepat kilat memalingkan wajah ke arah Wini seolah ingin memergoki Wini yang sedang menatapnya dalam-dalam. Winipun terkejut segera ia memalingkan tatapan matanya dan pelan-pelan ia memalingkan wajahnya ke arah adiknya yang sedang melempar-lempar batu-batu kecil kedalam air sungai. Tiba-tiba terdengar suara Subekti pelan.

“Kapan Wini ke jakarta lagi?”

“Dua minggu lagi. Mulai masuk kuliah lagi..” sahut Wini pelan. Tak terasa air matanya berlinang. Lagi-lagi Wini memalingkan wajah ke arah adiknya agar Subekti tidak melihat genangan air matanya, lalu Wini mengusap air matanya. Wini tak ingin Subekti tau kalau dia menangis.

“Sebelum Wini pulang, Akang ingin mengajak orang tuaku berkunjung ke orang tuamu...”

“woooootttt” Wini terperanjat, lalu dia duduk lagi pelan-pelan. Kini air matanya sudah tidak terbendung lagi. Badan nya lemas, ia tak tau lagi harus ngomong apa. Subekti melihat jelas air mata Wini yang jatuh membasahi pipi dan jatuh dipangkuannya.

“lhaaa, Wini berlebihan pake nangis segala. Ya bersyukur jangan sampai nangis seperti itu kali yayang...” Subekti menggoda Wini yang sedang berurai air mata. Wini mengambil ujung bawah bajunya dan menyapu air mata di wajahnya. Terdengat Subekti berkata lagi.

“Bagusnya hari apa ya Akang datang ke rumahmu...??” ucap Subekti dengan wajah menengadah mengintip langit sore dari celah-celah pohon kersen. Wajah Subekti nampak girang, hatinya bahagia bisa mengucapkan maksud hatinya yang sudah sangat lama dipendamnya. Subekti kembali menoleh ke arah Wini. Dilihatnya wajah Wini tersenyum... namum, sorot matanya begitu sayu.

“Wini sakit??” tanya Subekti

“Enggak….. ” jawab Wini lirih.

“Jadi gimana, kapan waktu yang tepat akang melamarmu...????” desak Subekti. Wini menatap Subekti yang sedang menatap dirinya. Terasa sakiiiiit menyeruak di dalam hati Wini. Betapa ingin ia memeluk Subekti dan tak melepasnya lagi. Tak terasa air mata Wini mulai berlinang lagi. Segera ia mengusapnya dengan kelima jemarinya.

“Kang, orang tua aku aja belum tau hubungan kita serius. Mereka taunya hubungan kita cuma teman biasa.... walau akang sering main ke rumahku, tapi orang tuaku menganggapmu sodara, Kang!!!” Wini menjelaskan. Wini tidak mengatakan yang sebenarnya bahwa orang tua Wini sudah tau hubungan mereka. Mendengar perkataan Wini, kembali Subekti menekuk lututnya dan memeluknya. Pikiran Subekti melayang. Ya memang, orang tua mereka adalah sahabat karib sejak kecil. Hanya saja ayah Subekti sedah meninggal 5 tahun lalu.

“Tapi kan Win, hubungan kita sudah cukup lama, ini tahun ketiga kita menjalin hubungan dan ini pertemuan kita yang ke enam. Apa itu masih kurang?? “ tanya Subekti.

“Bukan masalah kurang ato tidak Kang. Aku pengen beresin kuliah dulu...” Wini terhenti menahan tangis sehingga suaranya jadi berat dan tersendat-sendat.

“Tunggu aku sampe beres kuliah baru nanti Akang lamar aku. Akang cari kerjaan yang bagus untuk persiapan kita kelak, barangkali kita jodoh”.

“hhmmmm.......” Subekti mengangguk-ngangguk. Ada sedikit perasaan kecewa di hati Subekti. Tapi apa mau dikata.

“Tapi, akang ingin kita berjanji. Wini janji akan setia, dan Akang janji untuk setia menunggumu kembali tahun depan...” lanjut Subekti sambil menyodorkan jari kelingkingnya. Wini sesaat terdiam, tangannya ragu-ragu untuk menyambut berkait jari tanda berjanji. Wini menatap wajah Subekti, ia seolah ingin meyakinkan dirinya bahwa Subekti adalah jodohnya. Jari kelingkinpun berkait.

***

Di akhir minggu ke-empat, malam harinya Wini sedang packing, persiapan nanti subuh berangkat lagi ke jakarta untuk melajutkan kulaihnya. Mata Wini terlihat sembab, bibirnya rapat terkdang ia gigit sekeras-kerasnya. Pilu hatinya.... orang yang tiga tahun ini dicintainya tidak lulus dimata sang ayah. Ya memang, Subekti lahir dari keluarga yang sangat berada. Dulu segalanya ia punya, dimanja berlebihan oleh orang tuanya membuat  ia tidak mandiri dan tidak mau melanjutkan sekolah. Merasa hidup sudah serba cukup dari kedua orang tuanya. Bahkan Subekti terbawa pergaulan teman-temannya yang kebanyakan preman.

Waktu subuh pun tiba, Wini pamit pada semua aggota keluarga. Ia menangis menatap adiknya sambil berbisik

“Tolong jaga rahasia kemarin hanya kamu yang tahu.” Safitri menganguk pelan. Safitri mengerti perasaan Kakak nya.

Sejak kepergian Wini, Subekti menyadari bahwa dirinya sangat mencintai Wini. Ia bertekad ingin merubah hidupnya demi cita-cita kait jari yang sudah dijanjikan.

***

Setahun kemudian.

Sebuah mobil sedan berwarna hitam meluncur menuruni jalan aspal yang hitam meski sesekali melindas lubang jalanan. Di dalam mobil sedan seorang perempuan duduk dengan kepala melihat ke arah luar kaca samping. Dilihatnya pesawahan, gunung-gunung, sungai... tatapan matanya kosong. Tiba-tiba ia melihat sebuah bangunan besar yang belum pernah dilihat sebelumnya. Terlihat gerbangnya terbuka dan beberapa mobil elf terparkir.

Mobil sedan  itu terparkir dihalaman rumah Safitri. Dua orang penumpannya turun. Teryata Wini bersama seorang lelaki berbadan tegap. Wini mengetuk pintu. Pintu terbuka, ternyata ibunya Wini yang membuka.

Winiiii....????? “ wajah ibunya sumringah lalu memeluk Wini. Lalu ibunya menoleh ke arah lelaki yang berdiri dibelakang Wini. Belum sempat ibunya bertanya, Wini memperkenalkannya terlebih dahulu.

“Ini Hendri Bu, teman Wini”. Dengan senyum ramah ibu Wini mengajak bersalaman dan mempersilahkan masuk.

“Ayaaahh siniii, ini siapa yang datang...coba liat siniii” setengah berteriak ibu Wini memanggil suaminya. Tak lama ayah Wini datang dari arah dapur.

“Wini, jam berapa dari sana?? Ini siapa???” tanya ayah Wini sambil menyodorkan tangan bersalaman.

“Perkenalkan pak, nama saya Hendri temen deketnya Wini” pemuda itu mengangguk sambil tersenyum. Tiba-tiba datang Safitri, hampir berteriak ketika melihat kakanya ada dirumah.

“Eeeeeehh kakaaaakkk” Safitri berpelukan saking kangennya setelah setahun tidak bertemu.

Sekitar setengah jam mereka berlima mengobrol banyak hal.

“Win, barangkali Nak Hendri mau beristirahat, cape kan perjalanan jauh. Sok antar ke kamar depan biar beristirahat disana. Wini pun menunjukkan kamar untuk Hendri beristirahat. Hendri masuk ke kamar dan tertidur pulas.

Di dapur keluarga Wini, ayah, adik, dan ibunya Wini yang sedang memasak. Ayahnya memulai pembicaraan.

“Hendri itu calon mu Win?”

“Iya ayah, dia akan melamar aku” kata Wini sambil menoleh ke ayahnya, menunggu respon dari ayahnya yang sedang menghisap rokok.

“Hhhmmmm...” sahut ayahnya datar. Wini heran kok wajah ayah masih dingin. Bukankah ayah ingin menantu yang sudah kerja, sudah punya mobil pula. Wini melihat ke arah ibunya, ibunya pun sama tidak memperlihatkan wajah terkejut atau gimanaa, malah terus mengaduk-ngaduk sayur di panci. Lalu Wini melihat ke arah adiknya, tah jauh beda adiknya pun tetap tertunduk mengorek-ngorek kuku ibu jarinya. Perasaan Wini semakin tak menentu.

“Ayaaaah...!!!”

“Hmm...” sahut ayah nya pendek, dengan tidak memalingkan wajahnya  ke arah Wini. Ayahnya masih tetap duduk menatap langi-langit. Akhirnya Wini gusar, dengan langkah berat ia bergegas meningalkan dapur. Wini duduk sendiri di teras depan, entah apa yang dipikirkannya, hanya matanya masih berkaca-kaca. Tak lama kemudian datanglah Safitri menyusul lalu duduk dipinggir Wini.

“Kakak kenapa..??? “ Wini tidak menjawab, ia hanya mengusap air mata oleh jemarinya.

[caption caption="kenanga - ideaonline.co.id"][/caption]

“Kakak masih ingat Kang Subekti..???” Wini sontak memalingkan wajah menatap Safitri, dengan suara lirih Wini menjawab.

“Tentu saja....... aku tidak akan pernah melupakan kang Bekti”. Wini terdiam sejenak air matanya sebutir demi sebutir berjatuhan. Terasa pedih mengiris dinding hatinya, ia mengigit bibirnya.

“...Kang Bekti cinta pertamaku dan cinta terakhirku.....” sambungnya dengan suara hampir tidak terdengar. Air matanya pun semakin deras. Nampak mata Safitripun ikut berkaca-kaca.

“...Bagaimana aku harus menjalani hidup ini...kenyataan ini. Janjiku setahun lalu....” tangispun tak terbendung lagi. Tangan Safitri meraih tangan Wini lalu dipeluknya Wini erat-erat.

“Kak....apa tadi Kakak melihat bangunan besar ditetangga desa sebelah??” tanpa menjawab Wini mengangguk pelan sambil terus terisak dan tersedu menahan tangis.

“Kang Bekti sekarang jadi pengusaha travel, jasa angkutan umum...,usahanya sangat maju,  mobilnya sampai belasan mobil ...”  mendengar perkataan Safitri, Wini berusaha melepaskan pelukannya dan perlahan suara tangisnnya mereda. Wini menatap dalam-dalam wajah Safitri.

“Bahkan, sejak Kak Wini pulang tahun lalu, ayah terang-terangan sama Kang Bekti ayah melarang Kang Bekti mengganggu Kakak. .... jadi Kang Bekti sudah tahu kalau ayah tidak merestui hubungan Kakak. Tapiii.....” Safitri berhenti sejenak

“Tapi kenapa???” desak Wini penasaran, sambil sesekali ia mengusap linangan air matanya yang masih tersisa.

“Kemarin-kemarin ayah bilang sama aku, menyesal telah melarang hubungan Kakak sama Kang Bekti.....”.

Badan Wini terasa sangat lemas, hatinya teriris pedih, setelah hancur semua mimpinya, kini bertambah hancurrr..... setelah tau mimpinya tidak akan pernah terjadi. Penyesalan sang ayah hanyalah belati yang membuatnya sekarat dan mati dua kali.  Air matanya kembali berurai deras. Dengan sisa-sisa tenaga ia berdiri. Wini berjalan menyusuri pinggiran jalan aspal yang hitam menuju sungai yang airnya tak pernah habis... Matahari sudah hampir tenggelam, tapi sesosok manusia masih tersandar dibatang pohon kersen. Air matanya tak henti berderai...angin malam mulai menerpa wajahnya, wangi kenanga yang pernah tercium setahun lalu kini kembali tercium lagi.....***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun