Geliat bisnis anak-anak muda kian menjadi-jadi beberapa tahun belakangan, khususnya untuk yang level ecek-ecek. Kalau bisnis bikin kedai kopi di tengah kota atau bikin gerai cemilan yang menghiasai foodcourt mall-mall dan pinggiran jalan-jalan besar mah bukan ecek-ecek namanya.
Bisnis semacam itu membutuhkan modal yang sangat besar untuk hitungan anak muda dan juga perlu perencanaan yang matang, jadi tidak bisa dianggap ecek-ecek. Karena butuh modal besar, biasanya pemiliknya antara anak muda yang sudah punya penghasilan besar dari pekerjaan lainnya dan sudah mengumpulkan uang modal sejak lama, atau anak-anak muda yang punya orang tua tajir. Belum lagi soal business plan yang tidak bisa asal-asalan, yang artinya si pemilik bisnis pastilah anak muda dengan otak brilian atau punya mentor berpengalaman. Masalahnya, anak-anak muda di Indonesia ini banyakan ada di level yang mana:Â
A) Di usia 30 sudah bergaji 10 jutaan rupiah/bulan dan sudah mulai menabung 1-3 juta/bulan sejak lulus kuliah di usia 21-22 tahun, serta punya kemampuan untuk bikin business plan yang komprehensif
B) Punya orang tua tajir yang bisa ngasih modal usaha dan sempat meluangkan waktunya untuk membimbing bisnis anaknya
C) Tidak brilian-brilian amat + belum bergaji 10 juta rupiah di usia 30 + tidak punya tabungan + orang tua tidak bisa kasih modal usaha
Yang mana coba?
Sekarang makin banyak anak-anak kuliahan, apa pun latar belakang jurusan yang mereka ambil, bila ditanya mau jadi apa akan menjawab pebisnis. Bahkan sejak lulus SMA pun anak-anak sudah diarahkan untuk mengambil kuliah bisnis agar nanti setelah lulus bisa langsung jadi pebisnis.Â
Lalu pegawai-pegawai fresh grad yang belum ada 2 tahun bekerja pun di kepalanya sudah terngiang-ngiang rencana resign untuk kemudian bikin bisnis sendiri. Yang jadi pertanyaan kemudian adalah bisnis apa yang cocok bagi anak-anak muda yang belum punya cukup modal materi dan pengalaman, serta orang tua yang tidak bisa memberi modal usaha? Lagian apa sih hebatnya berbisnis sampai semuamuamua anak muda ini ingin sekali berbisnis?
Lika-liku bisnis level ecek-ecek
Yang paling mudah dan murah tentu saja berbisnis online. Lapak gratis. Yang penting punya handphone dengan kamera memadai, kuota internet, lalu tinggal beli barang yang sesuai dengan kekuatan modal, tentukan harga jual, kemudian posting. Â Model bisnis seperti ini bahkan sudah banyak dilakukan oleh anak-anak kuliahan. Selain di media sosial seperti Facebook (FB) atau Instagram (IG), sekarang kita juga bisa memanfaatkan marketplace seperti Bukalapak, Tokopedia, Shopee, dll.
Ada teman saya yang bisa membiayai kuliahnya sendiri dari hasil jualan sepatu KW merk-merk ternama. Awalnya hanya menawarkan dua tiga pasang ke teman-teman kampus, lalu seiring berjalannya waktu ia punya stock lebih banyak kemudian menjualnya di media sosial dan marketplace. Setelah lulus kuliah dia memutuskan bekerja kantoran, namun usaha sepatunya tetap jalan terus. Hampir tiap empat bulan sekali ikutan bazar-bazar di mall-mall. Yang dijual kini sudah bertambah sandal, tas, juga dompet. Semuanya KW. Goks!
Ada juga teman saya yang jualan komik bekas di IG. Awalnya iseng jualin koleksi pribadi yang sudah menumpuk di rumah, eh ternyata banyak peminatnya. Agar pilihan komik yang dijual makin beragam, dia hunting komik-komik bekas ke berbagai tempat. Teman saya mengaku di bulan pertama bisa dapat omset 700ribu per minggu. Tapi di bulan ketiga dia sudah berhenti jualan. Pertanyaan-pertanyaan yang masuk ke IG tidak lagi dibalas, begitu juga chat WA. Alasannya sibuk.Â
Tidak jauh berbeda dengan teman saya yang berbisnis jasa titip beli barang. Kebetulan rumahnya berjarak hanya seselemparan celana dalam dari salah satu mall besar di Jakarta, jadi dia memanfaatkan kelebihannya itu dengan menawarkan jasa membelikan barang untuk orang-orang yang sibuk atau malas antre.
Semacam GO-MART atau GO-SHOP tapi jenis produknya berbeda dan range harganya juga lebih mahal. Cerdik sebetulnya melihat peluang betapa padatnya jadwal warga ibukota, belum lagi macet di mana-mana yang bikin banyak orang malas berpergian tapi tetap ingin punya produk terbaru. Dia juga mengincar orang-orang daerah yang uangnya banyak tapi belum kesampaian ke Jakarta.Â
Tiga bulan pertama dia berjualan, linimasa Instagram saya hampir setiap hari penuh unggahan foto-foto produk yang ada di mall tersebut, dari dress, celana jeans, tas, dompet, sepatu sport, sampai cemilan-cemilan yang hanya dijual di swalayan-swalayan mall besar. Di bagian caption foto terdapat ketentuan pembelian: harga tidak berubah, hanya ada tambahan biaya jasa saja. Sejak bulan ketiga intensitas unggahan foto makin menurun, entah karena semua barang sudah terunggah atau energi yang berkurang. Hari ini saya lihat postingan terakhir dia berhenti sejak 30 November 2017, padahal syarat utama jualan di Instagram adalah rutin upload foto.
Ada lagi teman saya yang dua bulan lalu baru saja meminta bantuan saya untuk mempromosikan dagangannya yang terbaru. Dia jualan kimchi hasil buatannya sendiri. Empat bulan sebelumnya dia jualan mainan anak, yang katanya masih berlangsung sampai hari ini. Enam bulan sebelumnya dia jualan tas dan setahun sebelumnya dia jualan kemeja batik. Entah masih lanjut atau tidak bisnis sepatu dan kemeja batiknya, tapi yang pasti sejak 4 tahun yang lalu hingga saat ini dia berstatus karyawati, jadi berbisnis hanya sambilan saja.
Berbeda dengan rata-rata pebisnis lain yang punya akun media sosial khusus untuk bisnis, teman saya ini menjual barang dagangannya hanya di akun media sosial pribadi. Menurutnya, itu akan membuat para calon pembeli tidak khawatir ditipu sebab sepak terjang akunnya mudah ditelusuri. Sebetulnya tidak jadi soal, namun sayangnya, menurut saya, dia tidak konsisten. Ketika punya produk baru, bisa hampir setiap hari dia update status, tapi lama kelamaan hilang begitu saja. Nanti tiba-tiba gencar lagi manakala punya produk baru.
Masih ada banyak lagi kisah bisnis online teman-teman saya, yang kalau saya ambil benang merahnya bahwa ternyata untuk bisnis model ecek-ecek seperti mereka, modal handphone, kuota internet, dan uang untuk membeli barang saja tidak cukup untuk memastikan bisnis dapat berjalan setidaknya setahun pertama. Bahkan banyak yang sudah putus asa di bulan ketiga hanya karena tidak ada satu orang pun yang bertanya tentang produk dagangannya.Â
Sangat disayangkan sekali banyak yang layu sebelum berkembang, padahal bisnis online level ecek-ecek, menurut saya, adalah model bisnis yang paling relevan untuk dijalankan oleh anak-anak muda kita yang modalnya cekak, pengalaman terbatas, dan malas bikin perhitungan mendalam. Iya apa iya? Coba aja sok cek Instagram dan Facebook makin banyak bermunculan akun-akun jualan yang pemiliknya sebagian besar anak-anak muda. Melihat fenomena ini seakan-akan memperlihatkan bahwa anak-anak muda hanya bergairah saja, namun tidak tahu harus berbisnis apa dan bagaimana caranya.Â
Ada teman saya, perempuan 28 tahun, yang mengaku baru saja ditipu oleh kliennya. Dia jualan besi, dengan modal pinjaman uang dari koperasi. Bulan pertama omset belasan juta rupiah. Bulan ke dua omset sama bagusnya. Bulan ketiga dia mendapat order yang nilainya sangat besar dari salah satu klien yang katanya sudah rutin memesan sejak pertama kali dia membuka bisnis ini. Pesanannya bernilai puluhan juta rupiah, paling besar sejauh dia berjualan. Dia senang sekali. Akan tetapi stock barang yang dia miliki tidak sebanyak permintaan klien, sehingga dia harus mengeluarkan uang lagi dari kocek pribadi plus meminjam ke sana sini agar bisa membeli tambahan barang.Â
Seperti biasanya, setelah barang dikirim, ia membuat invoice. Ditunggu hingga satu bulan si klien tidak juga melunasi. Menurut dia, tidak seperti biasanya tagihan untuk klien tersebut terlambat bayar. Di pemesanan bulan-bulan sebelumnya selalu on time. Karena setiap ditelepon jawabnya selalu besok-besok-besok, teman saya akhirnya mendatangi toko klien tersebut, tapi sayangnya ternyata si klien sudah tidak berjualan di situ.Â
Tokonya tutup entah sejak kapan, dan tidak tahu pindah ke mana. Sekarang si klien sudah tidak bisa dihubungi. Kini teman saya sedang bingung bagaimana cara membayar tagihan koperasi, sementara stock barang dagangannya sudah tidak ada sama sekali. Sebelum berbisnis besi, saya lihat di media sosial miliknya, dia pernah jualan kosmetik, tas, baju, serta jasa party planner. Dia memutuskan untuk beralih ke jual-beli besi karena pacarnya, yang baru dia kenal di pertengahan 2017 melalui aplikasi kencan online, pernah bergelut di dunia perbesian.
Bagaimana cara memperoleh modal?
Dari cerita teman saya yang tertipu tersebut saya jadi berpikir sebetulnya modal apa yang lebih dibutuhkan untuk anak-anak muda yang hendak berbisnis? Modal uang atau pengalaman?
Kalau butuh uang untuk modal, yang paling instan tentu saja pinjam uang ke bank, koperasi, atau tempat pegadaian. Kalau tidak punya harta yang bisa digadaikan, ya berarti Kredit Tanpa Agunan (KTA). Bunganya besar sih, tapi ya itu risiko yang harus diambil bila ingin instan. Saya pun termasuk yang memulai usaha dari pinjaman KTA. Enak, tidak berbelit-belit prosesnya, dan tidak pakai ditanya business plan. Cukup tunjukan slip gaji, lalu verifikasi dari pihak bank, dua minggu kemudian uang cair.Â
Setelah KTA lunas, saya lanjut mengajukan pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) di bank pemerintah. Salah satu syarat KUR, selain punya jaminan, kita juga harus punya catatan keuangan bisnis kita setidaknya selama enam bulan. Artinya, bisnis harus sudah berjalan. Bukan bisnis yang baru hendak dibuat. Sebelumnya saya pinjam KTA untuk memulai usaha, jadi ketika mengajukan KUR saya sudah punya bukti hitam di atas putih bahwa bisnis saya sudah berjalan. KUR bunganya sangat kecil. Sangat membantu untuk yang ingin berbisnis.
Meminjam uang dari bank, saya kira, merupakan jalan keluar paling cepat bagi anak-anak muda yang orang tuanya tidak bisa memberi modal usaha. Tapi ya itu, kalau melihat cerita teman saya yang tertipu tadi, yang jadi persoalan kemudian adalah bagaimana cara mengelola uang modal dengan tepat? Bagaimana cara kita mengetahui apa yang kita lakukan sudah di jalan yang benar? Karena jangan sampai tiba-tiba bisnis berhenti total di tengah jalan, lalu kita kelabakan membayar tagihan dari bank.
Oleh karenanya, menurut saya, membuat business plan sangatlah penting. Business plan juga merupakan modal yang mesti dimiliki anak-anak muda yang hendak berbisnis walaupun bisnisnya cuma level ecek-ecek. Dengan business plan kita dapat mengatahui apakah langkah-langkah yang diambil sudah sesuai jalur atau melenceng. Kita juga bisa mengetahui sejak awal, apa saja yang harus dilakukan dan tidak boleh dilakukan. Dengan business plan kita juga dapat mengetahui apakah bisnis kita berkembang atau jalan di tempat. Akan tetapi apakah business plan saja cukup? Ya tentu saja tidak.Â
Business plan berguna hanya untuk gambaran awalnya saja. Ya namanya juga plan. Rencana. Masih ada begitu banyak hal penting yang mesti dikuasai dan akan dihadapi, namun tidak tercantum di atas kertas. Softskill seperti displin waktu, bertanggung jawab, ketekunan, keramahan, akan sangat diperlukan dalam berbisnis, namun tidak tertuang di business plan. Juga betapa pentingnya mencatat seluruh uang yang keluar dan masuk, kemampuan memilih bahasa yang tepat saat menjual dan menanggapi keluhan, kemampuan menganalisis masalahan dan penyelesaiannya, bagaimana cara menjaga relasi, dan penguasaan-penguasaan berbagai hardskill juga tidak tercantum di atas kertas rencana bisnis kita, namun sangat amat diperlukan.
Beruntung bagi yang punya orang tua pebisnis atau profesional yang bersedia meluangkan waktunya untuk membimbing bisnis anaknya. Lah kalau yang tidak gimana? Ya mau tidak mau anak-anak muda sebelum berbisnis harus mencari pengalaman kerja terlebih dahulu. Di mana? Ya di mana-manalah. Jaga warung bisa, jadi SPG bisa, jadi admin warnet bisa, pegawai kantoran juga bisa, apapunlah. Karena dari pengalaman kerja itulah anak-anak muda mendapat pelajaran nyata tentang hal-hal apa yang diperlukan dan akan dihadapi ketika berbisnis. Dan yang paling penting lagi, pengalaman kerja akan menambah wawasan dan relasi, yang mana kedua hal itu termasuk modal yang harusnya sudah dimiliki oleh anak-anak muda sebelum memulai bisnis.Â
Seandainya saya tidak bekerja kantoran sebelum memulai bisnis, saya tidak akan tahu bagaimana cara membuat proposal penawaran, bagaimana membuat invoice, bagaimana membuat presentasi yang efektif dan menarik, dan saya tidak akan kenal dengan banyak orang dari berbagai perusahaan yang akhirnya sekarang menggunakan produk-produk dagangan saya.Â
Saya juga merasa terbantu dengan pengalaman bekerja sebagai karyawan kantoran walaupun produk yang dijual oleh kantor saya dulu berbeda jauh dengan produk yang saya jual sekarang. Coba bayangkan betapa beruntungnya orang-orang yang bisnis pribadinya sejalan dengan pengalaman kerjanya. Misal, yang dulu kerjanya di pabrik kertas, kemudian bikin bisnis percetakan. Yang dulunya bekerja di perusahaan distributor elektronik, lalu kemudian membuka usaha toko elektronik. Atau bisa juga yang dulunya bekerja sebagai programmer, kemudian membuka jasa bikin website. Enak banget pasti.
Selain itu, dari bekerja anak-anak muda juga dapat mengumpulkan uang untuk kebutuhan modal bisnisnya. Kalau kita tidak mau berhutang ke bank, ya satu-satunya cara harus menyisihkan sedikit demi sedikit dari gaji. Dan lagi pula bila ingin pinjam KTA, kita harus kasih slip gaji. Artinya kita harus bekerja kantoran dulu, baru bisa pinjam KTA. Dengan kata lain, menurut saya, vital sekali bagi anak-anak muda untuk bekerja terlebih dahulu sebelum memulai bisnisnya.
Saya dulu malah baru berani resign dari kantor setelah bisnis ecek-ecek yang saya rintis telah berjalan sekitar 2,5 tahun. Jadi selama 2,5 tahun itu pikiran dan waktu saya terbelah di pekerjaan kantor dan bisnis pribadi. Merepotkan memang, tapi itulah jalan yang paling aman menurut saya.
Saya ingin berjaga-jaga saja bila seapes-apesnya bisnis saya gagal, saya tetap dapat membayar tagihan bank dengan menggunakan gaji kantor. Kala itu setelah merasa bisnis mulai lancar dan punya cukup tabungan untuk hidup ala kadarnya setidaknya setahun ke depan, baru deh saya berani resign. Cari aman tidak ada salahnya kan? Ya terkecuali kita punya orang tua tajir yang mau kasih modal dan membimbing kita, serta menjamin kita tetap dapat hidup walau usaha bangkrut sebelum berkembang. Kalau kondisinya seperti itu gak perlu-perlu amat lah kita kerja kantoran dulu sebelum memulai bisnis.
Merebaknya konsultan bisnis
Melihat begitu hijau dan ringkihnya pebisnis-pebisnis muda level ecek-ecek ini, lalu bermuculanlah konsultan-konsultan bisnis dengan aneka label. Ada yang menyebut dirinya konsultan, ada yang menyebutnya dirinya mentor, ada juga yang motivator. Jualannya sih sama saja, menawarkan kesuksesan bagi orang-orang yang hendak berbisnis. Jadi, ternyata, orang yang hendak memulai bisnis adalah bisnis bagi pihak lain. Zzz.
Waktu awal-awal memulai bisnis, saya sering tuh datang ke seminar-seminar bisnis. Para pembicaranya alih-alih memberi tips dan trik bagaimana cara menjalankan bisnis yang tepat, eh malah mengumbar betapa enaknya berbinis. Bisa bikin cepat kaya raya, hidup santai tapi uang jalan terus, dll. Malahan ada seminar bisnis yang tidak menyinggung sama sekali bagaimana cara berbinis dengan tepat. Jadi selama tiga jam isinya hanya mengumbar angin-angin surga. Alhasil sepulangnya dari seminar, anak-anak muda kian bersemangat memulai bisnis, tapi tetap tidak tahu apa-apa. Hvft!
Suatu kali saya ikut sebuah seminar bisnis khusus untuk anak-anak muda di bawah 35 tahun, yang menghadirkan tiga pembicara. Pembicara pertama seorang dosen salah satu perguruan tinggi bisnis. Dia bilang, entrepreneur itu adalah orang yang mampu memberi nilai tambah untuk suatu barang. Contohnya saja istrinya yang membeli kain di Tanah Abang lalu menjualnya lagi dalam rupa kerudung bermotif cantik. Menurutnya, kalau membeli barang lalu menjualnya lagi tanpa menambah nilainya, itu namanya pedagang, bukan entrepreneur. Menurutnya, anak muda harus jadi entrepreneur.Â
Ya betul-betul saja sih, tapi kan itu kata dosen. Peduli apa saya sama istilah, kata saya dalam hati. Mau jualan kain kek, gundu kek, buah kek, ya suka-suka yang membuka usaha lah ya. Yang penting mendapat untung.Â
Karena mendengar presentasi si pak dosen, saya dan puluhan anak muda yang datang ke seminar tersebut dengan harapan mendapat ilmu yang berguna, jadinya malah ragu sendiri dengan bisnisnya masing-masing, hanya karena tidak mau disebut pedagang biasa.Â
Teman kantor saya dulu ada yang resign setelah menikah agar fokus mengurus anaknya. Dari rumah dia menghasilkan banyak uang dengan menjadi dropshipper beberapa produk online shop Instagram dan bergabung dengan MLM kosmetik. Pekerjaannya itu termasuk berdagang atau entrepreneur? Ah peduli amat dengan istilah.
Pembicara yang kedua adalah seorang pemuda 31 tahun yang sudah memiliki dua perusahaan di bidang konsultan keuangan sejak usia 26 tahun. Topik yang dia bahas fokus ke bagaimana anak-anak muda memulai bisnisnya. Dia bilang, badan usaha miliknya dibuat di Singapura dan Amerika karena lebih mudah dan cepat mengurusnya. Dia mendirikan dua perusahaannya itu tepat setelah lulus kuliah. Saya tanya dapat modal dari mana, dia jawab pinjam orang tua. Bye!
Pembicara yang ketiga seorang praktisi bisnis yang sudah malang melintang di bisnis jalanan sejak SMA. Ketika itu, sepulang sekolah dia membeli kripik singkong di dekat rumahnya untuk dibawa ke sekolah esok paginya. Setiap hari ludes dibeli oleh teman-temannya. Ketika kuliah dia sering menawarkan bantuan ke teman-temannya yang ingin menitip fotokopi bahan ujian atau buku. Dia bilang ke teman-temannya bahwa tempat kostnya berdekatan dengan tempat fotokopi, jadi silakan bagi yang mau menitip cukup berikan imbalan seikhlasnya. Padahal dia memang bekerja di tempat fotokopian setiap pulang kuliah. Dari hasil jerih payahnya bekerja di tempat fotokopi, dia memberanikan diri membuka booth Pop Ice di kampus. Pop Ice kala itu lagi terkenal-terkenalnya.Â
Dalam waktu setahun, booth Pop Ice miliknya bertambah menjadi tiga di tempat yang berbeda-beda. Di tahun kedua nambah booth ayam goreng, kebab, dan jus. Saat menjadi pembicara di seminar kala itu, ia mengaku sudah punya puluhan booth berbagai jenis makanan dan minuman di banyak pinggiran jalan Bandung dan Jakarta. Sebagai penutup presentasi, dia menyanyikan sebuah lagu dengan iringan gitar dari anaknya. Kata-kata penutup darinya, "kalau terkesan dengan suara gitar ini, bisa membelinya di toko alat musik saya di Bandung." Jreng.
Saya juga pernah datang ke seminar bisnis yang bahan jualannya, "kami mentor, bukan konsultan. Kami jualan bukti, bukan jualan ludah. Kami berpengalaman." Luar biasa sekali. Yang bikin saya lebih tertarik, seminarnya gratis dan bangkunya terbatas. Jadi harus daftar dulu, kemudian akan diseleksi. Kesannya eksklusif. Oh ya, di poster promosi ada kalimat "Hanya untuk yang serius. Kami bimbing sampai berhasil." Wah, mantap jiwa.
Begitu sampai lokasi seminar, saya pilih bangku paling depan karena tidak mau menyia-nyiakan kesempatan dibimbing oleh yang berpengalaman. Ruangannya bagus, bangku dan mejanya juga bagus, pengeras suaranya jernih, monitor untuk presentasinya keren. Pokoknya sangat meyakinkan. Kelas berlangsung selama 6 jam.
Di awal seminar, seperti kebanyakan seminar-seminar pada umumnya, si pembicara menceritakan riwayat pekerjaanya. Dulu setelah lulus kuliah dia bekerja sebagai sales kartu kredit, lalu pindah kantor jadi sales mobil. Dalam 3 tahun bekerja dia bisa membeli mobil. Dia bercerita betapa briliannya dia dalam bekerja.Â
Di Usia 26 tahun income dari kerja kantoran sudah belasan juta, tapi alih-alih bertahan di zona nyaman, dia malah tergerak bikin usaha sendiri. Setelah resign dia membuat perusahaan importir mainan-mainan murah meriah dari Tiongkok. Setahun kemudian, setelah perusahaannya mulai bisa "ditinggal-tinggal", dia membuat perusahaan baru yang tujuannya membantu mengembangkan pebisnis-pebisnis muda, karena dia merasa dari situlah dia bisa ikut membangun negara.Â
Secara umum seminar tersebut menurut saya bagus. Selain karena ruangannya yang membuat saya terkagum-kagum, presentasinya juga menarik. Lalu ada sesi tukar kartu nama yang membuat saya bisa berkenalan dengan banyak teman baru. Tapi sayangnya saya tidak mendengar si pembicara menyampaikan tips dan trik atau kiat-kiat berbisnis yang lebih strategis. Tidak ada share pengalaman yang dia lakukan ketika berbisnis dan hanya ada sedikit saran untuk anak-anak muda yang datang. Selama 5 jam seminar, dia malah lebih sering bicara "kami akan begini, kami akan begitu, kami akan membimbing teman-teman dengan ini itu ini itu."
Satu jam sebelum seminar berakhir, dia bertanya siapa yang benar-benar serius ingin menjadi pebisnis sukses? Katanya, yang benar-benar ingin sukses silakan ikut kelas yang dia buat selama dua tahun, dengan biaya sekian-sekian. Kami akan godok teman-teman sampai sukses, lanjutnya. Bagi yang benar-benar serius, silakan bayar DP sekian juta, paling lambat nanti malam.
Mendengar itu saya langsung meninggalkan ruangan. Bukannya tidak mau sukses, saya hanya tidak punya uang sebanyak yang dia minta untuk menjadi sukses. Mending untuk menambah stock barang, pikir saya. Lagi pula saya merasa tertipu dengan iklan seminar yang dia buat. Seakan-akan seminar tersebut akan memberikan tips untuk menjadi pebisnis sukses berdasarkan pengalaman dia, eh taunya malah ajang jualan bisnis mentoring.
Jadi pengusaha biar apa?
Jadi gimana nih, dengan segala keterbatasan yang ada, anak-anak muda lebih pas menjadi entreprenur atau pedagang biasa? Membeli kain di tanah abang lalu menyulapnya menjadi kerudung bermotif cantik atau jualan Pop Ice? Atau malah lebih mending menjadi dropshipper merangkap MLM? Lalu agar siap menghadapi tantangan dalam berbisnis, lebih baik mencari pengalaman dengan bekerja atau ikut mentoring dan datang ke seminar-seminar?Â
Kalau menurut saya sih ya, berdasarkan pengalaman diri sendiri yang orang tuanya tidak sanggup memberi modal usaha, kemudian otak saya juga tidak brilian, ya mau tidak mau harus kerja terlebih dahulu jadi pegawai. Kumpulin uang buat modal sembari belajar sana-sini dan kenalan dengan banyak orang. Kalau ada uang lebih bisa buat beli buku- buku yang menunjang perkembangan usaha, syukur-syukur bisa ikut kelas mentoring bisnis. Saya juga tidak ambil pusing dengan istilah pedagang atau entrepreneur, karena bagi saya, jualan apa saja yang penting menguntungkan.
- Punya waktu luang lebih
Semenjak saya berbisnis, banyak sekali teman yang berbasa-basi, "Gimana, Ngga, bisnisnya lancarkah? Enak ya sekarang jadi punya banyak waktu luang. Mau ke mana-mana bebas."Ndasmu melocot, jawab saya. Saya malah merasa makin tidak karuan sibuknya. Dulu ketika masih kerja kantoran, saya kerja dari jam 8 pagi sampai jam 5 sore. Seringnya sih pulang jam setengah 6 atau jam 6 karena kebetulan di kantor saya sulit sekali pulang tenggo. Pernah lembur sampai jam 8 atau 10 malam tapi selama 5 tahun bekerja paling-paling tidak lebih dari 5 kali.
Sedangkan selama saya berbisnis, kerja 12 jam sehari saja rasanya tidak cukup. Toko saya memang buka dari jam 9 pagi sampai 9 malam, tapi rata-rata saya kerja mulai dari jam 7 pagi sampai pukul 1 tengah malam karena ada banyak hal yang tidak bisa dikerjakan di jam kerja, seperti mencatat uang yang masuk dan keluar di hari itu, update stock barang, merencanakan/mendesain produk baru, mikirin ide-ide baru untuk promosi, menganalisis target pasar yang baru, dan banyak lainnya. Jam kerja dari pukul 9 pagi sampai 9 malam habis untuk melayani calon pembeli yang datang, mengerjakan pesanan, mengirimkan invoice, mengirimkan email penawaran, membalas chat, bahkan terkadang satu hari full habis untuk keliling door to door menawarkan produk atau keliling tempat supplieruntuk belanja bulanan.
Loh memangnya tidak punya pegawai? Pengusaha kok tidak punya pegawai? Ya mau gimana lagi, namanya juga memulai usaha dari level ecek-ecek. Belum sanggup menggaji pegawai. Hal yang sama saya yakin juga dialami oleh kebanyakan anak-anak muda di Indonesia yang harus memulai usahanya dari level ecek-ecek: Semuanya dikerjakan sendiri. Alhasil waktu kerjanya malah jauh lebih banyak dibanding kerja kantoran. Jauh lebih sibuk.
Jadi, saran saya, bila ada yang mau berbisnis karena ingin punya banyak waktu luang mendingan bekerja saja menjadi.... Jadi apa? Jadi apa kira-kira kalau kita ingin pekerjaan yang punya banyak waktu luang? Ya tidak ada lah. Lagian ya, bisnis itu asal katanya busy. Sibuk. Artinya, kalau kita jadi pebisnis tapi tidak sibuk berarti ada yang salah dengan bisnis kita.
Tapi memang banyak sekali teman-teman saya yang beranggapan bahwa dengan membuat bisnis pribadi akan membuat kita punya banyak waktu luang. Dan bahkan alasan "ingin punya banyak waktu luang" menjadi alasan yang paling banyak dipakai teman-teman saya untuk memulai berbisnis. Sebetulnya sih sah-sah saja, saya hanya tidak paham dari mana asalnya pikiran "punya banyak waktu luang". Kalau kita baca kisah-kisah orang-orang sukses, baik di dunia bisnis maupun non-bisnis, mereka semua pasti orang sibuk. Kalau pun ada yang hidupnya terlihat santai, bisa jalan-jalan hedon setiap hari, ya itu karena mereka sudah sukses. Saat masih merintis mah sama saja prihatinnya.
Kita harus bisa membedakan antara orang sukses dan orang yang sedang berusaha untuk sukses.
- Tidak ingin terikat
Banyak juga yang memutuskan untuk berbisnis karena tidak suka dengan rutinitas kantor. Harus bangun pagi agar tidak terlambat, jam makan siang hanya bisa satu jam, kadang harus masuk kerja di akhir pekan, dan yang lebih menyebalkan lagi sulit ambil cuti.Mungkin dipikirnya dengan membuat bisnis pribadi kita bisa bangun siang seenaknya, makan siang kapan pun saat merasa lapar, trus tanggal merah pasti libur, dan bisa jalan-jalan kapan pun kita mau, gitu? Hellaww. Itu mah emang dasarnya pemalas saja, lalu dia berpikir bahwa bisnis dapat menjadi jalan keluar untuk memenuhi ego rasa malasnya itu.
Pemikiran semacam itu 100% keliru. Justru dengan terbiasa displin mengikuti aturan kantor dan bertanggung jawab terhadap tugas-tugas yang diberikan akan sangat membantu kita ketika berbisnis. Saran saya, sebaiknya pastikan terlebih dahulu seberapa mampu kita bertanggung jawab dan displin waktu sebelum akhirnya memutuskan untuk berbisnis.
Di awal memulai bisnis, saya tidak membayangkan akan ada banyak calon pembeli yang menghubungi di luar jam kerja. Saya juga tidak menyangka terkadang memerlukan waktu berjam-jam dalam menyiapkan pesanan, sehingga akhirnya harus kerja sampai tengah malam. Kalau dulu zamannya kerja kantoran, ketika sudah jamnya pulang saya inginnya langsung beres-beres bersiap pulang. Kerjaan dilanjutkan besok lagi. Pikir saya kala itu, saya hanya digaji untuk bekerja delapan jam sehari, jadinya kalau pulang terlambat rasanya jengkel sekali. Saya juga sering marah-marah ketika harus datang lebih pagi karena ada meeting atau projek.
Nah, sekarang pola pikir seperti itu tidak bisa diterapkan. Saya ingin setiap pesanan bisa ready sesegera mungkin. Saya juga tidak ingin kehilangan pembeli, jadi kapan pun ada yang bertanya tentang produk saya, pasti langsung saya tanggapi. Saya ingin bisnis saya punya keunggulan dibanding yang lain, salah satunya on time dan pelayanannya cepat tanggap. Dan itu mustahil terwujud bila saya punya mental "malas terikat".
- Ingin (cepat) kaya
"Lo bisnis apa sih, Ngga?"
"Jualan balon nih," jawab saya
"Emangnya bisa hidup ya dari jualan balon?"Banyak sekali teman, saudara, dan tetangga saya yang bertanya demikian. Mereka pikir saya ini zombie, yang matinya karena menggigit diri sendiri akibat kelaparan karena tidak mampu membeli makan dari hasil jualan balon. Kadang sebal juga sih ketika ada yang menganggap bisnis saya tidak potensial. Tapi saya lebih sebal lagi sama orang-orang yang berpikir bahwa bisnis akan membuat kita menjadi cepat kaya. Yakalee.
Ada banyak teman saya yang merasa gajinya di kantor terlalu kecil sehingga akhirnya memutuskan untuk berbisnis. Padahal kan ya, namanya juga perkerjaan, semua pasti butuh proses. Rumusnya di mana-mana pasti sama: untuk menghasilkan uang yang banyak, kita harus melakukan pekerjaan yang besar kualitasnya atau banyak kuantitasnya. Jadi kalau kita keluar dari kantor trus bikin bisnis yang levelnya cuma ecek-ecek ya akan sama saja duitnya cuma segitu-segitu saja. Berbisnis kurang lebih sama seperti pekerja kantoran yang berusaha mendapatkan kenaikan gaji setiap tahunnya. Dalam bisnis, kita pasti berusaha agar omset dapat terus meningkat. Tapi ya itu, untuk memiliki uang sebanyak 1 milyar, harus dimulai dari memiliki 100 ribu terlebih dahulu. Ada proses dari bawah.
Kalau berbisnis semata-mata karena berpikir ingin kaya, saya kira semua jenis pekerjaan pun dapat membuat kita menjadi kaya. Jadi pegawai bank juga bisa bikin kaya. Pegawai perusahaan minyak apalagi. Teman saya tahun 2010 bekerja sebagai montir, sekarang sudah punya rumah dan 1 mobil. Jadi pilot atau dokter juga sangat menjamin kehidupan. Budhe saya 3 kali ke luar negeri dari hasil reward bekerja MLM obat-obatan yang dia tekuni semenjak pensiun 2 tahun yang lalu, sementara saya dua tahun ini paling jauh cuma ke Yogya. Malah lebih enak waktu zaman saya kerja kantoran, setiap tahun ada jadwal outing ke Bali.
Rezeki tidak pernah menutup mata bagi orang-orang yang tekun dan handal, saya kira. Begitu juga berlaku sebaliknya, apapun jenis pekerjaan yang kita geluti, kalau kita tidak tekun dan tidak handal, ya mana mungkin bikin kaya.
- Passion
Ada teman saya yang passionnya di kosmetik. Dia kuliah S1 Farmasi, lalu lanjut S2 Farmasi dengan jurusan Estetika Indonesia, keduanya di universitas negeri yang berbeda. Dia juga sempat magang di perusahaan kosmetik terkemuka di tanah air. Sejak kuliah S1 dia sudah berjualan sabun hasil buatan tangannya sendiri, dengan memanfaatkan ilmu yang ia peroleh dari bangku kuliah dan internet. Ketika S2, dengan semakin bertambahnya ilmu pengetahuan serta pengalaman, sabun buatannya makin banyak variannya sehingga makin banyak penggemarnya. Saya sempat meragukan keputusannya jualan sabun, karena tentu masyarakat kita sudah terbiasa membeli sabun-sabun merk kovensional. Selain itu sabun buatan teman saya harganya jauh lebih mahal. Eh ternyata laris manis lho.Ada juga teman saya yang passionya di desain. Dia bekerja freelance, dan kliennya sudah banyak sekali, bahkan sampai luar negeri. Dia juga beberapa kali juara lomba desain. Spesialisasinya mendesain logo perusahaan, gambar untuk kaos, dan alat promosi. Begitu punya uang lebih, dia memberanikan diri membeli alat sablon dan kaos dalam jumlah banyak. Dia berpikir, dari pada mendesain untuk orang lain mending dia bikin usaha kaos sendiri. Belum ada dua tahun berjalan, alat sablon miliknya dijual. Kaosnya disumbangkan ke panti asuhan. Menurutnya, pemasukannya dari freelance masih lebih banyak dari jualan kaos, jadi lebih baik berhenti berjualan saja. Hanya buang-buang waktu.
Banyak yang bilang, kalau bekerja sesuai passion rasanya seperti tidak sedang bekerja. Happy happy kemudian dapat uang. Pada kenyataannya, passion dan ilmu/keahlian saja tidak cukup. Butuh lebih dari sekadar itu untuk memastikan produk kita laku terjual.
- Kelihatan keren
Kalau kata Ted Turner, "My son is now an entreprenur. That's what you're called when you don't have a job."Bener banget. Banyak teman saya yang pada dasarnya malas cari kerja atau malas bekerja kantoran, tapi di satu sisi belum tahu hendak berbisnis apa. Jadinya malah menganggur. Biar tidak kelihatan suram, tiap kali ada yang bertanya kesibukannya apa, dia jawab wirausaha. Yang model begini sebagian besar malah anak-anaknya orang kaya. Kalaupun akhirnya buka usaha, rata-rata hanya dijalankan ala kadarnya. Tidak serius. Yang penting terlihat bekerja. Toh uang mengalir terus dari orang tua. Okesip.
Tapi memang ada juga orang-orang yang sedari awal merasa berbisnis adalah hal yang keren, sehingga dia ngotot banget ingin berbisnis. Sama sekali tidak salah tentunya. Tapi kalau anak muda medioker seperti saya ini, yang otaknya tidak brilian dan tidak punya orang tua tajir, ya rasa-rasanya bukan keputusan yang bijak bila terburu-buru membuka bisnis pribadi hanya karena biar kelihatan keren.
Suatu kali saya pernah ikut lomba business plan yang diadakan khusus untuk anak muda yang hendak memulai usaha atau yang usahanya baru berjalan maksimal 1 tahun. Hadiahnya berupa modal bisnis 20 juta rupiah. Karena bisnis saya saat itu sudah berjalan 8 bulan, saya beranggapan bahwa kelebihan bisnis saya adalah realistis untuk dijalankan, jadi saya merasa begitu percaya diri bisa menang. Tapi ternyata saya kalah dengan skor mengenaskan.
Menurut dewan juri, dagangan saya sudah banyak yang menjual. Tidak unik dan tidak berpotensi bikin dampak yang wow bagi masyarakat. Yang menjadi pemenangnya adalah kumpulan anak muda yang bikin usaha daur ulang sampah. Selain mendaur ulang sampah menjadi barang-barang bernilai guna, mereka juga (akan) berinovasi membuat bak sampah yang cantik-cantik dan kokoh, kemudian disebar ke perumahan-perumahan, tujuannya agar banyak yang tertarik menggunakan tempat sampah bikinan mereka, sehingga memudahkan mereka memilah sampah jenis apa saja yang dapat didaur ulang dan yang tidak. Keren sekali memang. Jenis bisnis yang "seksi" untuk dilombakan.
Tiga bulan setelah penyerahan hadiah, saya tanya ke panitia kabar bisnis si pemenang, eh tidak ada jawaban. Ngasih modal bisnis tanpa evaluasi berkala gitu? Ada-ada saja.
Kalau mau kelihatan keren, jadi teller swalayan juga keren. Jadi psikolog, musisi, guru, atau koki juga keren. Keren banget malah. Kalau kerja kita benar, apapun pekerjannya pasti kelihatan keren.
- Menciptakan lapangan kerja
Menciptakan lapangan kerja adalah cita-cita mulia yang sering kita dengar di seminar-seminar, di TV, maupun surat kabar. Betul banget bahwa dengan membuka bisnis baru artinya kita juga membuka kesempatan lapangan pekerjaan bagi orang lain. Tapi seharusnya para pembicara di seminar, termasuk berita-berita di TV maupun surat kabar, juga memberi pengertian ke anak-anak muda yang hendak berbisnis bahwa sebelum membuka lapangan usaha bagi orang lain, harus pastikan terlebih dahulu bahwa bisnisnya sudah benar-benar menjadi lapangan kerja yang stabil untuk dirinya sendiri.Jangan sampai belum apa-apa langsung berpikir nyari karyawan, trus mengajak teman atau tetangganya untuk ikut gabung ke bisnisnya. Eh taunya dalam hitungan bulan sudah nunggak gaji karena orderan tidak lancar. Ujung-ujungnya malah merusak hubungan personal yang sudah terjalin jauh sebelum bisnis.
Lagian ya, dengan bekerja kantoran pun kita bisa membuka lapangan pekerjaan bagi orang lain kok. Membuka lowongan asisten rumah tangga atau driver pribadi, misalnya.
Jangan asal yang penting bisnis
Kenapa ya anak-anak muda bisa kepikiran alasan-alasan seperti yang saya ceritakan di atas? Mungkin saja karena kesulitan mendapat pekerjaaan, atau sulitnya mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan cita-cita. Bisa juga karena karier yang stagnan, gaji yang segitu-segitu aja, jenjang pendidikan, atau bahkan mungkin latar belakang sosial budaya.
Film Cek Toko Sebelah mengambarkan dengan gamblang realita yang terjadi di anak-anak muda keturunan Tionghoa yang punya karier bagus di kantor tapi tetap saja orang tuanya ingin anak-anaknya menjaga toko. Banyak orang yang memilih pekerjaaan dengan mempertimbangkan faktor sosial budaya. Ada teman saya yang toko plastik dan bahan kuenya selalu ramai pembeli, tapi kemudian tutup usaha karena dia diterima menjadi PNS sesuai dengan harapan orang tuanya.
Tapi kalau saya lebih "menyalahkan" para pembicara di seminar-seminar, termasuk juga pemerintah, yang hobinya menyuarakan betapa hebatnya berbisnis dan betapa pentingnya anak-anak muda untuk mewujudkan kreatifitasnya dengan cara berbisnis, tapi di lain sisi tidak memberi pengertian mendalam tentang hal-hal apa saja yang dibutuhkan untuk memulai bisnis, serta tidak memberi pelatihan dan kemudahan mendapat modal. Akhirnya yang terjadi malah banyak bermunculan pebisnis muda yang modalnya hanya gairah saja.
Para pembicara di seminar-seminar, termasuk pemerintah, sejatinya menekankan juga ke anak-anak muda untuk membuat bisnis yang penuh idealisme namun terukur. Jangan asal-asalan. Sama saja seperti pekerja kantoran yang harusnya sudah tahu sejak jauh-jauh hari dirinya mau berkarier sebagai apa, lalu bikin target bahwa dalam tiga tahun harus promosi menjadi supervisor, kemudian di tahun kelima setidaknya sudah harus jadi asisten manager, dan di usia 30 sudah harus setingkat manager dengan gaji belasan juta. Itu target yang sangat masuk akal di dunia korporasi bila kita kerjanya benar.Â
Atau yang ingin jadi atlet juga seharusnya sudah sejak dini punya tekad dapat bergabung di klub mana di usia berapa, dan menguasai teknik-teknik tertentu dalam periode berapa lama. Jangan yang penting berlatih dengan sungguh-sungguh, lalu terserah angin membawa ke mana. Begitu juga bisnis, harus direncanakan dengan matang dan terukur, mau jualan apa dan apa targetnya untuk tiga bulan ke depan, enam bulan ke depan, setahun ke depan, dst.
Selain target waktu, kita juga harus tahu betul kemampuan kita apakah sesuai dengan pekerjaan yang hendak kita pilih. Ingin jadi teller ya berarti harus teliti, cekatan, dan bisa berhitung. Ingin jadi pembalap ya berarti harus bisa mengemudi, bernyali tinggi, dan punya fisik  yang prima. Kalau tidak bakat bernyanyi, ya jangan jadi penyanyi. Cari pekerjaan lainnya yang sesuai kemampuan kita. Termasuk berbisnis.Â
Tidak semua orang harus berbisnis. Berbisnis tidak bisa hanya modal ingin dan yakin. Pebisnis itu orang yang sangat terukur dan rasional. Mengambil keputusan bukan berdasarkan feeling. Berani mengambil risiko karena sudah memperhitungkan berbagai kemungkinan, bukan spekulasi asal nekat. Seorang pebisnis juga harus luwes sekaligus kaku. Harus bisa cepat beradaptasi dengan kondisi yang ada, sekaligus tetap kekeuh memelihara idealisme-idealisme.
Tapi ya bukan berarti bisnis adalah pekerjaan yang sebegitu sulitnya. Sama saja kok seperti pekerjaan lainnya, selama sesuai dengan kemampuan kita dan dikerjakan dengan benar, pasti berhasil. Pasti. Dan juga sama bergengsinya dengan jenis pekerjaan yang lain. Semua pekerjaan sama kerennya dan sama jeleknya, tergantung yang mengerjakan.
Ada yang bilang, sekarang itu zamannya kerja cerdas, bukan kerja keras. Itu katanya motivator. Kalau kata buku-buku kisah orang-orang sukses, kerja sangat keras dan cerdas adalah dua hal yang perlu dilakukan beriringan. Bukan memilih salah satunya.
Semoga sukses untuk kita semua, apa pun jalan yang kita pilih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H