Suatu kali saya ikut sebuah seminar bisnis khusus untuk anak-anak muda di bawah 35 tahun, yang menghadirkan tiga pembicara. Pembicara pertama seorang dosen salah satu perguruan tinggi bisnis. Dia bilang, entrepreneur itu adalah orang yang mampu memberi nilai tambah untuk suatu barang. Contohnya saja istrinya yang membeli kain di Tanah Abang lalu menjualnya lagi dalam rupa kerudung bermotif cantik. Menurutnya, kalau membeli barang lalu menjualnya lagi tanpa menambah nilainya, itu namanya pedagang, bukan entrepreneur. Menurutnya, anak muda harus jadi entrepreneur.Â
Ya betul-betul saja sih, tapi kan itu kata dosen. Peduli apa saya sama istilah, kata saya dalam hati. Mau jualan kain kek, gundu kek, buah kek, ya suka-suka yang membuka usaha lah ya. Yang penting mendapat untung.Â
Karena mendengar presentasi si pak dosen, saya dan puluhan anak muda yang datang ke seminar tersebut dengan harapan mendapat ilmu yang berguna, jadinya malah ragu sendiri dengan bisnisnya masing-masing, hanya karena tidak mau disebut pedagang biasa.Â
Teman kantor saya dulu ada yang resign setelah menikah agar fokus mengurus anaknya. Dari rumah dia menghasilkan banyak uang dengan menjadi dropshipper beberapa produk online shop Instagram dan bergabung dengan MLM kosmetik. Pekerjaannya itu termasuk berdagang atau entrepreneur? Ah peduli amat dengan istilah.
Pembicara yang kedua adalah seorang pemuda 31 tahun yang sudah memiliki dua perusahaan di bidang konsultan keuangan sejak usia 26 tahun. Topik yang dia bahas fokus ke bagaimana anak-anak muda memulai bisnisnya. Dia bilang, badan usaha miliknya dibuat di Singapura dan Amerika karena lebih mudah dan cepat mengurusnya. Dia mendirikan dua perusahaannya itu tepat setelah lulus kuliah. Saya tanya dapat modal dari mana, dia jawab pinjam orang tua. Bye!
Pembicara yang ketiga seorang praktisi bisnis yang sudah malang melintang di bisnis jalanan sejak SMA. Ketika itu, sepulang sekolah dia membeli kripik singkong di dekat rumahnya untuk dibawa ke sekolah esok paginya. Setiap hari ludes dibeli oleh teman-temannya. Ketika kuliah dia sering menawarkan bantuan ke teman-temannya yang ingin menitip fotokopi bahan ujian atau buku. Dia bilang ke teman-temannya bahwa tempat kostnya berdekatan dengan tempat fotokopi, jadi silakan bagi yang mau menitip cukup berikan imbalan seikhlasnya. Padahal dia memang bekerja di tempat fotokopian setiap pulang kuliah. Dari hasil jerih payahnya bekerja di tempat fotokopi, dia memberanikan diri membuka booth Pop Ice di kampus. Pop Ice kala itu lagi terkenal-terkenalnya.Â
Dalam waktu setahun, booth Pop Ice miliknya bertambah menjadi tiga di tempat yang berbeda-beda. Di tahun kedua nambah booth ayam goreng, kebab, dan jus. Saat menjadi pembicara di seminar kala itu, ia mengaku sudah punya puluhan booth berbagai jenis makanan dan minuman di banyak pinggiran jalan Bandung dan Jakarta. Sebagai penutup presentasi, dia menyanyikan sebuah lagu dengan iringan gitar dari anaknya. Kata-kata penutup darinya, "kalau terkesan dengan suara gitar ini, bisa membelinya di toko alat musik saya di Bandung." Jreng.
Saya juga pernah datang ke seminar bisnis yang bahan jualannya, "kami mentor, bukan konsultan. Kami jualan bukti, bukan jualan ludah. Kami berpengalaman." Luar biasa sekali. Yang bikin saya lebih tertarik, seminarnya gratis dan bangkunya terbatas. Jadi harus daftar dulu, kemudian akan diseleksi. Kesannya eksklusif. Oh ya, di poster promosi ada kalimat "Hanya untuk yang serius. Kami bimbing sampai berhasil." Wah, mantap jiwa.
Begitu sampai lokasi seminar, saya pilih bangku paling depan karena tidak mau menyia-nyiakan kesempatan dibimbing oleh yang berpengalaman. Ruangannya bagus, bangku dan mejanya juga bagus, pengeras suaranya jernih, monitor untuk presentasinya keren. Pokoknya sangat meyakinkan. Kelas berlangsung selama 6 jam.
Di awal seminar, seperti kebanyakan seminar-seminar pada umumnya, si pembicara menceritakan riwayat pekerjaanya. Dulu setelah lulus kuliah dia bekerja sebagai sales kartu kredit, lalu pindah kantor jadi sales mobil. Dalam 3 tahun bekerja dia bisa membeli mobil. Dia bercerita betapa briliannya dia dalam bekerja.Â
Di Usia 26 tahun income dari kerja kantoran sudah belasan juta, tapi alih-alih bertahan di zona nyaman, dia malah tergerak bikin usaha sendiri. Setelah resign dia membuat perusahaan importir mainan-mainan murah meriah dari Tiongkok. Setahun kemudian, setelah perusahaannya mulai bisa "ditinggal-tinggal", dia membuat perusahaan baru yang tujuannya membantu mengembangkan pebisnis-pebisnis muda, karena dia merasa dari situlah dia bisa ikut membangun negara.Â