Tiga bulan pertama dia berjualan, linimasa Instagram saya hampir setiap hari penuh unggahan foto-foto produk yang ada di mall tersebut, dari dress, celana jeans, tas, dompet, sepatu sport, sampai cemilan-cemilan yang hanya dijual di swalayan-swalayan mall besar. Di bagian caption foto terdapat ketentuan pembelian: harga tidak berubah, hanya ada tambahan biaya jasa saja. Sejak bulan ketiga intensitas unggahan foto makin menurun, entah karena semua barang sudah terunggah atau energi yang berkurang. Hari ini saya lihat postingan terakhir dia berhenti sejak 30 November 2017, padahal syarat utama jualan di Instagram adalah rutin upload foto.
Ada lagi teman saya yang dua bulan lalu baru saja meminta bantuan saya untuk mempromosikan dagangannya yang terbaru. Dia jualan kimchi hasil buatannya sendiri. Empat bulan sebelumnya dia jualan mainan anak, yang katanya masih berlangsung sampai hari ini. Enam bulan sebelumnya dia jualan tas dan setahun sebelumnya dia jualan kemeja batik. Entah masih lanjut atau tidak bisnis sepatu dan kemeja batiknya, tapi yang pasti sejak 4 tahun yang lalu hingga saat ini dia berstatus karyawati, jadi berbisnis hanya sambilan saja.
Berbeda dengan rata-rata pebisnis lain yang punya akun media sosial khusus untuk bisnis, teman saya ini menjual barang dagangannya hanya di akun media sosial pribadi. Menurutnya, itu akan membuat para calon pembeli tidak khawatir ditipu sebab sepak terjang akunnya mudah ditelusuri. Sebetulnya tidak jadi soal, namun sayangnya, menurut saya, dia tidak konsisten. Ketika punya produk baru, bisa hampir setiap hari dia update status, tapi lama kelamaan hilang begitu saja. Nanti tiba-tiba gencar lagi manakala punya produk baru.
Masih ada banyak lagi kisah bisnis online teman-teman saya, yang kalau saya ambil benang merahnya bahwa ternyata untuk bisnis model ecek-ecek seperti mereka, modal handphone, kuota internet, dan uang untuk membeli barang saja tidak cukup untuk memastikan bisnis dapat berjalan setidaknya setahun pertama. Bahkan banyak yang sudah putus asa di bulan ketiga hanya karena tidak ada satu orang pun yang bertanya tentang produk dagangannya.Â
Sangat disayangkan sekali banyak yang layu sebelum berkembang, padahal bisnis online level ecek-ecek, menurut saya, adalah model bisnis yang paling relevan untuk dijalankan oleh anak-anak muda kita yang modalnya cekak, pengalaman terbatas, dan malas bikin perhitungan mendalam. Iya apa iya? Coba aja sok cek Instagram dan Facebook makin banyak bermunculan akun-akun jualan yang pemiliknya sebagian besar anak-anak muda. Melihat fenomena ini seakan-akan memperlihatkan bahwa anak-anak muda hanya bergairah saja, namun tidak tahu harus berbisnis apa dan bagaimana caranya.Â
Ada teman saya, perempuan 28 tahun, yang mengaku baru saja ditipu oleh kliennya. Dia jualan besi, dengan modal pinjaman uang dari koperasi. Bulan pertama omset belasan juta rupiah. Bulan ke dua omset sama bagusnya. Bulan ketiga dia mendapat order yang nilainya sangat besar dari salah satu klien yang katanya sudah rutin memesan sejak pertama kali dia membuka bisnis ini. Pesanannya bernilai puluhan juta rupiah, paling besar sejauh dia berjualan. Dia senang sekali. Akan tetapi stock barang yang dia miliki tidak sebanyak permintaan klien, sehingga dia harus mengeluarkan uang lagi dari kocek pribadi plus meminjam ke sana sini agar bisa membeli tambahan barang.Â
Seperti biasanya, setelah barang dikirim, ia membuat invoice. Ditunggu hingga satu bulan si klien tidak juga melunasi. Menurut dia, tidak seperti biasanya tagihan untuk klien tersebut terlambat bayar. Di pemesanan bulan-bulan sebelumnya selalu on time. Karena setiap ditelepon jawabnya selalu besok-besok-besok, teman saya akhirnya mendatangi toko klien tersebut, tapi sayangnya ternyata si klien sudah tidak berjualan di situ.Â
Tokonya tutup entah sejak kapan, dan tidak tahu pindah ke mana. Sekarang si klien sudah tidak bisa dihubungi. Kini teman saya sedang bingung bagaimana cara membayar tagihan koperasi, sementara stock barang dagangannya sudah tidak ada sama sekali. Sebelum berbisnis besi, saya lihat di media sosial miliknya, dia pernah jualan kosmetik, tas, baju, serta jasa party planner. Dia memutuskan untuk beralih ke jual-beli besi karena pacarnya, yang baru dia kenal di pertengahan 2017 melalui aplikasi kencan online, pernah bergelut di dunia perbesian.
Bagaimana cara memperoleh modal?
Dari cerita teman saya yang tertipu tersebut saya jadi berpikir sebetulnya modal apa yang lebih dibutuhkan untuk anak-anak muda yang hendak berbisnis? Modal uang atau pengalaman?
Kalau butuh uang untuk modal, yang paling instan tentu saja pinjam uang ke bank, koperasi, atau tempat pegadaian. Kalau tidak punya harta yang bisa digadaikan, ya berarti Kredit Tanpa Agunan (KTA). Bunganya besar sih, tapi ya itu risiko yang harus diambil bila ingin instan. Saya pun termasuk yang memulai usaha dari pinjaman KTA. Enak, tidak berbelit-belit prosesnya, dan tidak pakai ditanya business plan. Cukup tunjukan slip gaji, lalu verifikasi dari pihak bank, dua minggu kemudian uang cair.Â
Setelah KTA lunas, saya lanjut mengajukan pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) di bank pemerintah. Salah satu syarat KUR, selain punya jaminan, kita juga harus punya catatan keuangan bisnis kita setidaknya selama enam bulan. Artinya, bisnis harus sudah berjalan. Bukan bisnis yang baru hendak dibuat. Sebelumnya saya pinjam KTA untuk memulai usaha, jadi ketika mengajukan KUR saya sudah punya bukti hitam di atas putih bahwa bisnis saya sudah berjalan. KUR bunganya sangat kecil. Sangat membantu untuk yang ingin berbisnis.