Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Descendant

7 November 2015   13:55 Diperbarui: 9 November 2015   00:20 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Episode 03.

The Boy Who Has the Blood of the Ancient Tribe.

Sepasang mata Aryan (12 tahun) memerah. Emosi berkulit amarah dan tangis tertahan menyatu dalam pandangannya. Lagi dan lagi, bocah laki-laki ini mendapati bangkai kemerah-merahan tergolek di tanah hutan yang lembab.

“Nian kajadian nang sarupa,” bisik Aryan, rahang dan pelipis bergerak-gerak meraba bekas luka tembak di kepala seekor Orangutan betina yang telah hampir membusuk. “Suda nang katalunya saminggu nian,”

(translet; “Ini pun kejadian sama, sudah yang ketiga kalinya sepekan ini,”)

Aryan adalah bocah keturunan Dayak Punan. Meski sukunya sering dicap; primitif, namun Aryan sedikit lebih “maju”. Ia pernah “mengenal dunia” dari seorang yang berasal dari Tanah Jawa beberapa tahun yang lalu. Sayang, pria itu harus meregang nyawa setelah berusaha melindungi satwa utama Pulau Kalimantan. Yaa, beberapa preman suruhan perusahaan pengembang buah sawit lah yang harus bertanggung jawab atas hal itu. Dari sana juga lah Aryan yang yatim-piatu mulai menyadari, cepat atau lambat hutan yang ia banggakan akan segera lenyap.

Aryan berdiri, mengedarkan pandangan kalau-kalau masih ada bangkai serupa di kawasan itu. Di pinggang kiri, menggantung sebilah Mandau yang masih berada di dalam Kumpang-nya. Terikat tali tiga warna yang dijalin menyatu, menjadi hiasan celana kulit selutut yang ia kenakan.

Tidak ada lagi bangkai yang bisa ia temukan, hanya satu ekor itu saja. Aryan tidak tahu, apakah ia harus bersyukur karena tidak ada bangkai lain yang bisa ia lihat di kawasan itu, atau harus mengutuk habis-habisan pelaku yang membunuh Orangutan ini.

Bersusah-payah Aryan menggali tanah, hanya berbekal kedua tangan dan lempengan batu pipih pengganti cangkul. Setengah jam kemudian, Aryan telah mengubur bangkai satwa langka tersebut.

Di tepian sebuah sungai kecil, sisi selatan Taman Nasional Betung Kerihun.

Siang itu Aryan tengah membersihkan diri di aliran air yang bening. Ada dua ekor ikan Haruan tergeletak di atas batu besar, terikat jeratan tanaman menjalar, itu akan menjadi menu utama dan satu-satunya untuk mengisi perut sang bocah. Mungkin nanti akan menemukan buah hutan sebagai hidangan pencuci mulut.

Aryan bergegas meraih Mandau yang bersisian dengan kedua ekor ikan di atas batu saat sang bocah mendengar suara beberapa orang, dan segera menghunus senjata tajam bercorak banyak ukiran di kedua sisi lempengannya tersebut.

Namun Aryan boleh bernapas lega, ternyata tiga orang pria dari Suku Dayak Kanayatn yang kebetulan melintas di dekat sang bocah berendam. Seorang di antara ketiga pria itu mengenakan baju Marote dan cawat berbahan kulit yang sama dengan baju tanpa lengan yang ia kenakan. Dan menggunakan hiasan kepala dari sirip daun Anjuang Merah. Sementara dua rekannya hanya mengenakan cawat dari kain saja. Masing-masing mereka membekal sebuah Pisau Lantik yang tergantung di sisi pinggang, dan sebuah Lonjo dalam genggaman.

Sepertinya ketiga pria Kanayatn itu baru pulang dari berburu. Dua orang yang hanya mengenakan cawat, masing-masing membawa hasil buruan. Seorang memanggul seekor kijang dewasa, sementara seorang lagi menjinjing belasan ikan dalam jalinan tali akar.

Aryan naik ke tepian, menghampiri ketiga pria tersebut. Meski ia dari keturunan suku tertua, namun usia yang jauh lebih muda, Aryan tetap terlebih dahulu bertutur sapa. Dan tentu saja, Aryan tidak berharap ketiga pria di hadapannya kini itu tahu perihal darah keturunan yang mengalir di dalam tubuhnya.

Lama Aryan merenungi ucapan ketiga pria Kanayatn siang tadi. Menurut ketiganya, “orang-orang kota” telah membuka lahan baru untuk mendirikan sebuah kilang penyulingan kelapa sawit. Bahkan, kijang yang mereka dapat bukanlah hasil dari berburu, namun kijang itu mereka temukan tergeletak di dekat kilang baru tersebut. Tentu saja telah dalam keadaan mati beberapa saat sebelumnya, sehingga mereka berpikir daripada mubazir, akhirnya mereka membawa tubuh kijang tersebut sebagai bahan makanan. Toh, tubuh kijang masih terasa hangat. Masih mengalirkan darah dari luka di tubuhnya.

Amarah dan kesedihan jelas menaungi wajah yang masih polos itu. Di satu sisi, Aryan bersyukur mengetahui kabar dari pria Kanayatn itu—selain berterima kasih dengan pemberian dua ekor ikan Baung dari ketiga pria tersebut—dengan begitu mungkin ia akan melakukan sesuatu terhadap kilang itu—entah apa pun itu nanti. Namun di sisi lain, Aryan tidak rela jika orang-orang kota itu membabat habis hutan yang selalu dijaga dengan kearifan sukunya selama ini. Itu artinya, turut pula “membabat” kehidupan satwa liar yang bernaung di hutan tersebut.

Yaa, selama ini Aryan tidak pernah melihat kebaikan dari apa yang dilakukan manusia-manusia serakah yang mengaku lebih modern dari sukunya itu. Tidak semenjak dari zaman ayahnya yang dulu adalah Kepala Suku—setidaknya Aryan mengetahui ini dari ibunya.

Satu dekade yang lalu, sang ayah harus menghabiskan waktunya demi memperjuangkan hutan agar tetap utuh, tanpa tersentuh. Meninggalkan Aryan yang baru berusia setahun lebih bersama sang ibu. Hingga akhir hayat sang Kepala Suku—memang, kematian sang ayah bukan karena ulah orang-orang kota itu, tapi karena penyakit yang mendera—hingga sang ibu pun “menyusul”, janji tak jua pernah terbukti.

Janji orang-orang kota—bahkan pemerintah sekalipun—yang diikrarkan begitu lantang pada suku-suku yang ada, tak lebih dari harapan kosong berbalut madu. Lebih banyak kehancuran daripada kebaikan itu sendiri.

Dan coba tebak?

Setiap kehancuran—entah itu penebangan, hingga kebakaran—selalu masyarakat setempat yang disalahkan. Menjadi kambing hitam atas lahan secuil yang mereka garap demi kehidupan yang arif.

 “Tidakkah orang-orang kota itu berpikir, jika kebaikan yang mereka cari dengan menghancurkan apa yang ada… lantas untuk apa leluhur kami merangkai kearifan lokal selama ribuan tahun?”

Aryan tak sanggup untuk menjawab. Sekepal pertanyaan yang selalu mengusik benak. Sang bocah menatap langit siang dengan tatapan nanar.

 

Mentari baru saja kembali ke peraduan, menyisakan semburat mega emas di kaki nadirnya. Aryan telah berada di kawasan di mana kilang yang dimaksudkan tiga pria Kanayatn tadi siang. Berada di sebelah barat-daya dari kawasan Taman Nasional Betung Kerihun, beberapa kilometer di utara Putussibau – Kapuas Hulu.

Benar, sejumlah pekerja terlihat tengah mempersiapkan kuda-kuda bangunan. Tumpukan batang-batang pohon cukup membuat Aryan menahan degup di dada yang berdetak sangat cepat. Puluhan, tidak-tidak-tidak, ratusan pohon berusia ratusan tahun sama tak berkutik. Rebah ke pelukan ibu bumi. Suara-suara gergaji terdengar menakutkan telinga-telinga penghuni hutan. Meski malam telah menyelubungi, mereka tak jua hendak berhenti. Lampu-lampu terang hasil dari kecanggihan orang-orang kota itu, dengan baik membimbing penglihatan mereka.

 

“Damanyu sae?” –( Namamu siapa? )

Tiba-tiba saja ingatan Aryan berlari melintasi waktu, menemui kembali pria gagah dari Tanah Jawa itu. Tepat di saat pria tersebut menemukan dirinya yang tersesat kala itu.

“Aryan,”

“Ahh… Pelindung, ya,” pria itu tersenyum halus, mengusap kepala Aryan kecil. “Urakng tuha nyu dimae? Aku akan ngantat nyu,”

(translet ; “Orang tua kamu di mana? Saya akan mengantarkan kamu,”)

“Apak nyu sae?” – ( Bapak siapa? ) tanya Aryan, tidak sedikit pun ada bias takut pada pria itu, meski ia sangat asing dalam pandangan Aryan. “Jahe sidi babeda dari kami? Ahe ke Apak dari urakng kota ngkoa?”

(translet: “Kenapa terlihat sangat berbeda dari kami? Apa Bapak bagian dari orang-orang kota itu?”)

Pria itu mengumbar tawa. Entah kenapa, bagi Aryan tawa itu terdengar mengagumkan, bukan sesuatu yang harus ia takutkan. Paling tidak, begitulah hasutan hatinya. Pria itu bukanlah sosok monster—atau apa pun itu istilahnya. Tidak, aura yang terlihat, dia justru seperti seorang yang mencintai alam.

“Kamu itu—“ ujar pria yang membekal ransel besar di punggungnya itu, setelah puas tertawa. “—Masih kecil, tapi sudah punya penglihatan yang tajam,” pria tersebut sengaja mengalihkan kata; kecurigaan, dan menggantinya dengan; penglihatan tajam. Ia tidak ingin menyinggung perasaan bocah itu, meski ia ragu jika sang bocah mengerti bahasa yang akan ia gunakan.

 

“Nian… ahe?” Aryan begitu tertarik melihat peralatan pria itu. (“Ini… apa?”)

“Senter,”

“Sen—ter?” ulang Aryan.

Pria itu mengangguk sembari mengelus kepala sang bocah. Aryan tiba-tiba terkesiap saat tak sengaja jemarinya menekan tombol untuk menyalakan senter. Hingga, cahaya yang muncul tiba-tiba tepat menerpa wajahnya. Aryan gelagapan, sepasang mata silau. Pria itu tertawa terbahak-bahak.

Dorrr…

Pria dari Tanah Jawa tersungkur di samping jasad tiga ekor Orangutan. Sebutir peluru menembus punggung hingga ke dadanya. Menyemburkan darah segar seakan menangisi ibu bumi. Menciprat ke wajah dan tubuh Aryan.

“Ar—yan… la—lari!”

Hanya dua kata, dan kepala itu terkulai, terhempas ke tanah seiring air mata mengalir deras di kedua pelupuk mata Aryan.

“Woiii, kenapa kau membunuhnya…?!” seseorang memprotes tindakan rekannya.

“Relax men… gak akan ada yang tahu. Tenang aja!”

Pria bertato itu terkekeh. “Ya sudah. Terpaksa kau juga harus membunuh bocah di sana itu!”

Ketakutan menjalari sekujur tubuh Aryan. Ia cukup mengerti ucapan preman-preman bayaran perusahaan itu, dua tahun kebersamaannya dengan pria yang tersungkur di hadapannya itu, Aryan telah belajar banyak hal. Bahasa, juga arti pentingnya hutan ini bagi kehidupan.

Aryan beringsut cepat, bangkit dan lantas berlari menuju pedalaman hutan. Hanya sebilah Mandau yang mampu ia bawa.

Suara tangis menggelegar. Meraung panjang, bersahutan dengan suara-suara hewan liar, seakan ikut menangisi kematian pria dari Tanah Jawa yang selama dua tahun ini “merawat” mereka.

 

Cahaya lampu yang tak sengaja berkelabat di wajah Aryan menyadarkan lamunannya. Aryan berdiri di cabang pohon itu, tak lagi ingin menyembunyikan diri. Mengusap lelehan air mata. Meraih Tengkulas di pinggang dan mengikatkannya ke kepala, lantas menghunus Mandau. Tekadnya sudah pasti.

Lincah, Aryan turun dari satu cabang ke cabang lain, hingga kedua kaki nan telanjang menginjak tanah.

 

Brakk…

Krakk-krak… bummm…

“Hoiii, apa-apaan kalian…?!”

“Ada seseorang yang mengganggu, Pak!” teriak seorang pekerja.

Satu bagian dari kerangka yang sudah didirikan berderak tumbang, menyusul satu bagian lainnya. Sontak beberapa orang yang bertugas membabat pepohonan sama menghentikan kegiatan mereka.

“Itu dia! Kejar…!” teriak seorang lainnya.

Berpikir jika yang mengganggu pekerjaan mereka lebih dari satu—dan belum mengetahui jika sosok itu ternyata seorang bocah belasan tahun—semua pekerja sama waspada. Tidak ada lagi bunyi gergaji mesin yang terdengar. Berganti hiruk pikuk dari teriakan sejumlah mulut, mengejar Aryan.

“Hutan ini, rumahku. Tanah ini, jalanku. Kejar aku jika kalian sanggup…!” tawa Aryan seorang diri.

Terbukti, para pekerja dan sejumlah preman berpakaian ala aparat negeri cukup kesulitan menyusul Aryan. Alih-alih untuk menangkap bocah tersebut.

Bagi Aryan, kelebatan hutan bukan penghalang lincahnya langkah kaki meski gelap malam menyelubungi sekalipun. Berlari memasuki kegelapan, menghindar, dan muncul lagi dari sisi yang lain. Memutus ikatan simpul dari kerangka-kerangka bangunan, merobohkannya, dan kembali menghilang ke dalam gelapnya malam.

Seorang preman yang membekal senapan membidik pasti ke arah belukar lebat di hadapannya. Sekilas ia melihat pergerakan sesuatu di arah itu. Perlahan ia bergerak mendekat, senapan dalam kondisi siaga. Begitu mata dan telinga menangkap pergerakan lagi, telunjuk jemari menekan pelatuk.

Doorr…

Hening sesaat.

Crasss

Sang preman meraung setinggi langit. Kaki kiri yang terlindung sepatu boot, putus sebatas betis. Pelatuk senapan tak sengaja terus ia tekan, hingga memuntahkan banyak peluru ke segala arah. Ia tumbang, kedua tangan menahan kucuran darah dari kaki kiri yang buntung, raungan kesakitan tak henti-henti keluar dari mulutnya, dibarengi umpatan dan sumpah serapah.

Aryan sunggingkan senyum tipis. Berdiri tenang di balik sebuah pohon besar. Cahaya dari lampu-lampu sorot sesekali berkelabat, membuat bayangan-bayangan mengerikan di beberapa sudut hutan. Bilah Mandau di tangan kanan berlumuran darah, menetes jatuh ke atas dedaunan dari rumpun belukar.

“Cari bajingan itu…!” seseorang dengan suara serak berujar lantang, “Jika kalian menemukannya, bunuh saja!”

“Hei, aku menemukannya,” teriak seorang lainnya beberapa detik kemudian, “Cegat di arah utara, cepat…!”

Aryan memutar larinya ke kiri, ke arah barat. Tidak ada pilihan lain. Tadinya ia akan berlari ke arah selatan, tapi sepertinya beberapa orang telah mengincarnya dari arah sana, terlebih jika harus meneruskan ke utara. Mau tidak mau, Aryan harus memasuki kawasan yang baru dibuka itu.

Niat hati, Aryan ingin terus berlari ke arah barat. Cukup dulu untuk mengacaukan orang-orang kota itu saat ini. Namun, Aryan harus menghentikan langkah kakinya. Sepasang mata membelalak, menegang, menyaksikan pemandangan mengerikan di depan sana. Areal yang sudah terbuka, plus cahaya dari sejumlah lampu memberi penerangan yang teramat sakit ia rasakan.

Di sana, di depan sebuah bedeng baru dari kayu, bertumpuk puluhan tubuh yang tak lagi bernyawa. Belasan ekor Orangutan, Rusa Sambar, Beruang Madu, tu—tujuh ekor Macan Dahan, dan apa itu…? Aryan tak dapat menahan amarah yang menumpuk. Terlebih saat melihat tubuh besar keabu-abuan di depannya itu, seekor Badak.

Kesemua hewan langka dan dilindungi itu telah mati, tergeletak dan bertumpuk seolah sampah yang tak bernilai.

Aryan jatuh berlutut, genangan air mata tak lagi bisa ia tampung, tertunduk. Dan tiba-tiba tersentak, mendongak ke langit malam, meraung tinggi menembus kegelapan. Tidak memedulikan puluhan pasang kaki bergerak semakin mendekat. Tak lagi peduli pada teriakan-teriakan mengumbar kematian.

Dorrr…

Aryan terhempas, rubuh ke kiri. Sebutir peluru menembus bahu kanan. Ia tidak menjerit, meski air mata duka terus saja mengalir deras. Saat pandangan kedua mata mengarah ke langit, saat sejumlah preman dan pekerja itu mendekati dan mengepung dirinya, saat itulah satu suara melengking tinggi. Menghentikan langkah semua orang.

Suara menguik layaknya kicauan dalam desibel tinggi Burung Enggang kembali terdengar bersamaan munculnya satu sosok besar. Sosok itu solah jatuh dari langit begitu saja.

Dengan bertopang pada tangan kirinya, Aryan coba untuk bangkit. Namun, ia tidak sanggup memastikan ujud dari sosok itu. Ia, seolah dilindungi sosok tersebut dari para preman dan pekerja kilang.

Terlalu samar untuk memastikannya, selain dari gerakan tubuh sosok itu yang luar biasa cepat, tubuh sosok tersebut juga sebentar-sebentar berubah bentuk. Menghantam mereka yang di kanan dengan ujud kera besar, lantas menerbangkan sejumlah lainnya di sisi kiri dalam ujud burung besar. Lain waktu berubah seperti ujud pria dewasa dengan tombak dan senjata tajam di tangan, kali lain seperti seorang wanita.

Aryan tak sanggup lagi bertahan untuk terus menyaksikan para preman dan pekerja itu kocar-kacir, akhirnya kembali lunglai. Pingsan.

 

Malam diterangi purnama hari ketiga belas. Di atas satu puncak dataran tinggi di wilayah utara Kutai Barat – Kalimantan Timur.

Aryan masih meringis saat bangkit dari tidurnya. Bahu kanan yang terluka tembak telah diobati seseorang, dibalut lembaran-lembaran daun bersama ikatan dari tanaman merambat. Sang bocah duduk bersila di lantai batu sebuah mulut gua. Di hadapannya duduk seorang pria, dan di antara mereka berdua terdapat api unggun yang memberi kehangatan.

Aryan sama sekali belum pernah bertemu pria di hadapannya itu sebelum ini, meski ada senyum kecil di wajah pria itu memandangi dirinya. Namun dari apa yang melekat di tubuh pria itu, Aryan sangat yakin jika dia adalah orang Dayak juga. Dayak yang mana satu, itulah yang sedang dipikirkan Aryan.

Pria itu tidak mengenakan baju, akan tetapi tubuh depannya itu dipenuhi Tutang. Rajahan berbentuk bunga terung, sisik-sisik besar layaknya kulit ular. Di kedua bahu, pergelangan tangan hingga ke jari-jari tangan. Saat pria itu berdiri, di bagian kaki pun terdapat banyak rajahan dan simbol-simbol yang diyakini Aryan adalah sebagai simbol seorang kesatria. Dan itu semakin diyakinkan dengan rajahan burung enggang di punggung pria tersebut. Pria itu hanya mengenakan celana pendek—di atas lutut—kecoklatan dari kulit rusa. Pada tiap sisi celananya itu, pun terdapat rajahan yang sama.

Sebilah Mandau terselip di pinggang kirinya. Meski masih berada dalam Kumpang-nya, namun mata Aryan jelas melihat ada yang berbeda dengan senjata itu. Dari bentuk hulunya, bentuk lilitan rotan, serta ukiran di badan Kumpang, itu jelas menandakan bukan Mandau biasa. Tidak seperti yang selalu ia gunakan.

Begitu juga sebuah Lonjo di punggung pria tersebut. Itu jelas bukan Lonjo biasa, sama sekali berbeda dengan Lonjo yang dibawa ketiga pria Kanayatn siang tadi.

“Ahe ke ngkoa Tangkitn man Dohong?” tanya Aryan di dalam hati.

(translet; “Apakah itu Tangkitn dan Duhung?”)

Selain itu, pria tersebut juga mengenakan Tengkulas. Hanya saja Tengkulas yang ia pakai di kepala berwarna merah dan dihiasi sejumlah bulu burung. Paling dominan adalah bulu ekor dari burung enggang.

 

“Ahe ke kao nuan dama galar urakng tuha nyu dolok?” pria itu tiba-tiba mengajukan tanya. Sebab Aryan tak jua menyahut, pria itu melanjutkan ucapannya. “Bakayo,”

(translet; “Apa kau tahu… julukan Leluhurmu dahulu? Kayau, Sang Pemburu Kepala,”)

Aryan terperangah. Yaa, benar. Sekali waktu dulu, semasa sang ibu masih hidup, Aryan pernah mendengar ibunya mengatakan hal yang sama.

“Tapi, ngkoa doho,” lanjut pria berbadan tegap itu. “Ngkoa samua ngambarant, sidi galiknya urakng-urakng dari suku luar tarhadap urakng tuha nyu. Urakng panjagu nang na galik ngadapi ahe pun,”

(translet; “Tapi, itu dulu. Itu semua menggambarkan, betapa takutnya orang-orang dari suku luar terhadap Leluhurmu. Seorang Kesatria yang tidak akan gentar menghadapi apa pun,”)

“Tapi, aku na paranah nuan,” sahut Aryan, “Nana paranah balajar lemae jadi urakng panjagu. Pangalima,”

(translet; “Tapi, saya tidak pernah tahu. Tidak pernah belajar bagaimana menjadi seorang pejuang. Kesatria,”)

Pria itu kembali hadirkan seulas senyum memandang Aryan. Ia melepas tombak di punggungnya, dan menancapkan tombak tersebut di sisi api unggun.

“Aku… cuma kapengen ngalimungk ngi abut,” Aryan mendesah sedih mengingat perlakuan orang-orang kota tadi terhadap hutan dan hewan liar di dalamnya. “Ngkoa ja,”

(translet; “Saya… hanya ingin melindungi hutan. Itu saja,”)

“Kamuda baga,” pria itu tertawa halus. “Jadi urakng panjagu na arus munuh urakng lain. Dan ngalimungk ngi abut-abut nian, alam nian, kao udah jadi urakng nang jagu,”

(translet; “Anak bodoh. Menjadi seorang Kesatria tidak harus membunuh orang lain. Dengan melindungi kehidupan hutan ini, alam ini, kau sudah menjadi seorang Kesatria,”)

Aryan mengangkat wajahnya. Ia begitu senang mendengar itu. Tentu saja ia berharap memiliki kekuatan lebih, agar tidak ada lagi pohon-pohon tua tumbang, agar tak ada lagi hewan-hewan yang mati dibunuh sia-sia. Agar… tidak ada lagi orang yang ia sayangi seperti pria dari Tanah Jawa dulu itu, mati.

Aryan tahu, pria itu pastilah dengan senang hati mengajarinya cara melindungi hutan. Membawanya ke jalan seorang Kesatria.

“Nu—nuan… Panglima Burung, koa?

(“A—apakah, Tuan… Panglima Burung?”)

Pria itu kembali tersenyum, dan mengedipkan sebelah matanya kepada Aryan.

 

 

-o0o-

->Bahasa Dayak yang digunakan dalam dialog adalah dari Dayak Kanayatn. Tadinya ingin menggunakan Bahasa Dayak Punan, karena kurangnya informasi akhirnya tidak jadi. Bila ada masukan dari sahabat Kompasianer, akan sangat saya perhatikan sebagai pembelajaran.

->Terima kasih untuk sahabatku Naga Kuning dan Pak Rudy Sebastian beserta Asistennya di Pontianak – Kalimantan Barat^^

-----bersambung-----

Catatan:

Mandau: senjata tajam khas Suku Dayak, terdiri dari berbagai jenis dan bentuk.

Kumpang: sarung untuk Mandau, biasanya terbuat dari tanduk hewan, atau pun bilah kayu.

Haruan: ikan gabus, Channa striata.

Marote: jenis baju tradisional Dayak Kanayatn.

Anjuang Merah: Hanjuang, dalam Bahasa Jawa disebut juga Andong. Cordyline fruticosa. Jenis tanaman hias.

Pisau Lantik: jenis parang yang digunakan dalam keseharian masyarakat Dayak.

Lonjo: tombak khas Suku Dayak digunakan untuk berburu. Biasanya kepala/mata tombak saja yang terbuat dari logam, sementara batang tombak dari bambu, rotan, atau kayu yang keras.

Baung: jenis ikan air tawar, dalam Bahasa Jawa disebut juga Tagih/Tageh. Bagrus nemurus.

Tengkulas: tengkuluk, jenis pengikat kepala dari kain tenunan Suku Dayak.

Rusa Sambar: Cervus unicolor. Merupakan rusa besar asli Indonesia yang sudah terancam kepunahan.

Macan Dahan: Neofelis diardi. Kucing besar asli Indonesia (Sumatera-Kalimantan).

Badak: jenis Badak yang diketahui ternyata belum punah sama sekali di hutan Kalimantan, merupakan jenis dari Badak Sumatera (berbadan kecil, bercula dua). Cicerorhinus sumatrensis.

Burung Enggang: nama lainnya; Rangkok, atau Rangkong. Jenis lainnya Julang-julang. Familia: Bucerotidae.

Tutang: dalam bahasa Indonesia berarti; Tato, atau Rajahan.

Mandau Tangkitn: jenis mandau legendaris dari Suku Dayak.

Duhung: dibaca; Dohong. Merupakan jenis tombak keramat Suku Dayak yang pada bagian ujungnya berlekuk seperti keris. Atau dalam bentuk khas tertentu.

Kayau: adalah istilah yang diberikan kepada pejuang Suku Dayak saat masih memperebutkan lahan dsb, pada zaman dahulu. Istilah lainnya; Headhunter.

Panglima Burung: sosok pejuang/kesatria Suku Dayak. Keberadaan sosok itu sendiri antara mitos dan kenyataan. Digambarkan ia bisa berubah bentuk sesuai keinginannya.

TULISAN INI PERTAMA KALI DIPUBLIKASIKAN DI WWW.KOMPASIANA.COM COPASING DIIZINKAN DENGAN MENYERTAKAN URL LENGKAP POSTINGAN DI ATAS, ATAU DENGAN TIDAK MENGUBAH/MENGEDIT AMARAN INI.

Ando Ajo, Jakarta 07 November 2015.

Sumber ilustrasi

Terima Kasih Admin Kompasiana^^

Episode sebelumnya…

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun