Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Descendant

7 November 2015   13:55 Diperbarui: 9 November 2015   00:20 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Episode 03.

The Boy Who Has the Blood of the Ancient Tribe.

Sepasang mata Aryan (12 tahun) memerah. Emosi berkulit amarah dan tangis tertahan menyatu dalam pandangannya. Lagi dan lagi, bocah laki-laki ini mendapati bangkai kemerah-merahan tergolek di tanah hutan yang lembab.

“Nian kajadian nang sarupa,” bisik Aryan, rahang dan pelipis bergerak-gerak meraba bekas luka tembak di kepala seekor Orangutan betina yang telah hampir membusuk. “Suda nang katalunya saminggu nian,”

(translet; “Ini pun kejadian sama, sudah yang ketiga kalinya sepekan ini,”)

Aryan adalah bocah keturunan Dayak Punan. Meski sukunya sering dicap; primitif, namun Aryan sedikit lebih “maju”. Ia pernah “mengenal dunia” dari seorang yang berasal dari Tanah Jawa beberapa tahun yang lalu. Sayang, pria itu harus meregang nyawa setelah berusaha melindungi satwa utama Pulau Kalimantan. Yaa, beberapa preman suruhan perusahaan pengembang buah sawit lah yang harus bertanggung jawab atas hal itu. Dari sana juga lah Aryan yang yatim-piatu mulai menyadari, cepat atau lambat hutan yang ia banggakan akan segera lenyap.

Aryan berdiri, mengedarkan pandangan kalau-kalau masih ada bangkai serupa di kawasan itu. Di pinggang kiri, menggantung sebilah Mandau yang masih berada di dalam Kumpang-nya. Terikat tali tiga warna yang dijalin menyatu, menjadi hiasan celana kulit selutut yang ia kenakan.

Tidak ada lagi bangkai yang bisa ia temukan, hanya satu ekor itu saja. Aryan tidak tahu, apakah ia harus bersyukur karena tidak ada bangkai lain yang bisa ia lihat di kawasan itu, atau harus mengutuk habis-habisan pelaku yang membunuh Orangutan ini.

Bersusah-payah Aryan menggali tanah, hanya berbekal kedua tangan dan lempengan batu pipih pengganti cangkul. Setengah jam kemudian, Aryan telah mengubur bangkai satwa langka tersebut.

Di tepian sebuah sungai kecil, sisi selatan Taman Nasional Betung Kerihun.

Siang itu Aryan tengah membersihkan diri di aliran air yang bening. Ada dua ekor ikan Haruan tergeletak di atas batu besar, terikat jeratan tanaman menjalar, itu akan menjadi menu utama dan satu-satunya untuk mengisi perut sang bocah. Mungkin nanti akan menemukan buah hutan sebagai hidangan pencuci mulut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun