Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Descendant

7 November 2015   13:55 Diperbarui: 9 November 2015   00:20 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kesemua hewan langka dan dilindungi itu telah mati, tergeletak dan bertumpuk seolah sampah yang tak bernilai.

Aryan jatuh berlutut, genangan air mata tak lagi bisa ia tampung, tertunduk. Dan tiba-tiba tersentak, mendongak ke langit malam, meraung tinggi menembus kegelapan. Tidak memedulikan puluhan pasang kaki bergerak semakin mendekat. Tak lagi peduli pada teriakan-teriakan mengumbar kematian.

Dorrr…

Aryan terhempas, rubuh ke kiri. Sebutir peluru menembus bahu kanan. Ia tidak menjerit, meski air mata duka terus saja mengalir deras. Saat pandangan kedua mata mengarah ke langit, saat sejumlah preman dan pekerja itu mendekati dan mengepung dirinya, saat itulah satu suara melengking tinggi. Menghentikan langkah semua orang.

Suara menguik layaknya kicauan dalam desibel tinggi Burung Enggang kembali terdengar bersamaan munculnya satu sosok besar. Sosok itu solah jatuh dari langit begitu saja.

Dengan bertopang pada tangan kirinya, Aryan coba untuk bangkit. Namun, ia tidak sanggup memastikan ujud dari sosok itu. Ia, seolah dilindungi sosok tersebut dari para preman dan pekerja kilang.

Terlalu samar untuk memastikannya, selain dari gerakan tubuh sosok itu yang luar biasa cepat, tubuh sosok tersebut juga sebentar-sebentar berubah bentuk. Menghantam mereka yang di kanan dengan ujud kera besar, lantas menerbangkan sejumlah lainnya di sisi kiri dalam ujud burung besar. Lain waktu berubah seperti ujud pria dewasa dengan tombak dan senjata tajam di tangan, kali lain seperti seorang wanita.

Aryan tak sanggup lagi bertahan untuk terus menyaksikan para preman dan pekerja itu kocar-kacir, akhirnya kembali lunglai. Pingsan.

 

Malam diterangi purnama hari ketiga belas. Di atas satu puncak dataran tinggi di wilayah utara Kutai Barat – Kalimantan Timur.

Aryan masih meringis saat bangkit dari tidurnya. Bahu kanan yang terluka tembak telah diobati seseorang, dibalut lembaran-lembaran daun bersama ikatan dari tanaman merambat. Sang bocah duduk bersila di lantai batu sebuah mulut gua. Di hadapannya duduk seorang pria, dan di antara mereka berdua terdapat api unggun yang memberi kehangatan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun