“Tidakkah orang-orang kota itu berpikir, jika kebaikan yang mereka cari dengan menghancurkan apa yang ada… lantas untuk apa leluhur kami merangkai kearifan lokal selama ribuan tahun?”
Aryan tak sanggup untuk menjawab. Sekepal pertanyaan yang selalu mengusik benak. Sang bocah menatap langit siang dengan tatapan nanar.
Mentari baru saja kembali ke peraduan, menyisakan semburat mega emas di kaki nadirnya. Aryan telah berada di kawasan di mana kilang yang dimaksudkan tiga pria Kanayatn tadi siang. Berada di sebelah barat-daya dari kawasan Taman Nasional Betung Kerihun, beberapa kilometer di utara Putussibau – Kapuas Hulu.
Benar, sejumlah pekerja terlihat tengah mempersiapkan kuda-kuda bangunan. Tumpukan batang-batang pohon cukup membuat Aryan menahan degup di dada yang berdetak sangat cepat. Puluhan, tidak-tidak-tidak, ratusan pohon berusia ratusan tahun sama tak berkutik. Rebah ke pelukan ibu bumi. Suara-suara gergaji terdengar menakutkan telinga-telinga penghuni hutan. Meski malam telah menyelubungi, mereka tak jua hendak berhenti. Lampu-lampu terang hasil dari kecanggihan orang-orang kota itu, dengan baik membimbing penglihatan mereka.
“Damanyu sae?” –( Namamu siapa? )
Tiba-tiba saja ingatan Aryan berlari melintasi waktu, menemui kembali pria gagah dari Tanah Jawa itu. Tepat di saat pria tersebut menemukan dirinya yang tersesat kala itu.
“Aryan,”
“Ahh… Pelindung, ya,” pria itu tersenyum halus, mengusap kepala Aryan kecil. “Urakng tuha nyu dimae? Aku akan ngantat nyu,”
(translet ; “Orang tua kamu di mana? Saya akan mengantarkan kamu,”)