Mohon tunggu...
Ando Ajo
Ando Ajo Mohon Tunggu... Administrasi - Freelance Writer

Asli berdarah Minang kelahiran Melayu Riau. Penulis Novel Fantasytopia (2014) dan, Fantasytopia: Pulau Larangan dan Si Iblis Putih (2016). Find me at: andoajo.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Descendant

7 November 2015   13:55 Diperbarui: 9 November 2015   00:20 683
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aryan sama sekali belum pernah bertemu pria di hadapannya itu sebelum ini, meski ada senyum kecil di wajah pria itu memandangi dirinya. Namun dari apa yang melekat di tubuh pria itu, Aryan sangat yakin jika dia adalah orang Dayak juga. Dayak yang mana satu, itulah yang sedang dipikirkan Aryan.

Pria itu tidak mengenakan baju, akan tetapi tubuh depannya itu dipenuhi Tutang. Rajahan berbentuk bunga terung, sisik-sisik besar layaknya kulit ular. Di kedua bahu, pergelangan tangan hingga ke jari-jari tangan. Saat pria itu berdiri, di bagian kaki pun terdapat banyak rajahan dan simbol-simbol yang diyakini Aryan adalah sebagai simbol seorang kesatria. Dan itu semakin diyakinkan dengan rajahan burung enggang di punggung pria tersebut. Pria itu hanya mengenakan celana pendek—di atas lutut—kecoklatan dari kulit rusa. Pada tiap sisi celananya itu, pun terdapat rajahan yang sama.

Sebilah Mandau terselip di pinggang kirinya. Meski masih berada dalam Kumpang-nya, namun mata Aryan jelas melihat ada yang berbeda dengan senjata itu. Dari bentuk hulunya, bentuk lilitan rotan, serta ukiran di badan Kumpang, itu jelas menandakan bukan Mandau biasa. Tidak seperti yang selalu ia gunakan.

Begitu juga sebuah Lonjo di punggung pria tersebut. Itu jelas bukan Lonjo biasa, sama sekali berbeda dengan Lonjo yang dibawa ketiga pria Kanayatn siang tadi.

“Ahe ke ngkoa Tangkitn man Dohong?” tanya Aryan di dalam hati.

(translet; “Apakah itu Tangkitn dan Duhung?”)

Selain itu, pria tersebut juga mengenakan Tengkulas. Hanya saja Tengkulas yang ia pakai di kepala berwarna merah dan dihiasi sejumlah bulu burung. Paling dominan adalah bulu ekor dari burung enggang.

 

“Ahe ke kao nuan dama galar urakng tuha nyu dolok?” pria itu tiba-tiba mengajukan tanya. Sebab Aryan tak jua menyahut, pria itu melanjutkan ucapannya. “Bakayo,”

(translet; “Apa kau tahu… julukan Leluhurmu dahulu? Kayau, Sang Pemburu Kepala,”)

Aryan terperangah. Yaa, benar. Sekali waktu dulu, semasa sang ibu masih hidup, Aryan pernah mendengar ibunya mengatakan hal yang sama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun