Pembahasan mengenai jiwa manusia sudah menjadi bahasan pokok dalam dunia filsafat. Dimulai dari Yunani yang mencoba menganalisa jiwa manusia yaitu Plato. Dalam pandangan Plato jiwa manusia eksis jauh sebelum tubuhnya ada, jiwa tidak akan mati sekalipun tubuh mengalami kehancuran.Â
Plato memandang bahwa badan sebagai penjara bagi jiwa manusia selain sebagai alat dan sarana bagi jiwa. Artinya yang hakiki adalah jiwa bukanlah tubuh, karena semua yang ada di ala mini merupakan bayangan dari alam jiwa yang bukan wujud aslinya sedangkan wujud hakikinya ada pada jiwa yang dikenal dengan sebutan Arketipe. Maka manusia harus beranjak dan meninggalkan alam materi ini untuk menuju pada alam jiwa yang didalamnya terdapat kebahagiaan dan keabadian.
Sejarah perkembangan filsafat Islam tidak luput dari sejarah filsafat Yunani, artinya filsafat islam memiliki ketersambungan dengan filsafat di zaman Yunani. Termasuk pembahasan terkait jiwa manusia. Pandangan Plato tentang jiwa, banyak direspon oleh filosof muslim dengan formulasi yang lebih luas bahkan dalam persepktif yang berbeda. Missal dengan merujuk pada penjelasan-penjelasan Al-Qur'an dan nilai-nilai keislaman.
Imam Al-Ghozali (1058-1111), bahwa jiwa mempunyai sesuatu perbuatan dengan dirinya sediri. Â Hakikatnya, secara umum, jiwa mempunyai dua fungsi: yang satu berhubungan dengan tubuh (mencakup arah atau kontrol terhadapnya), dan yang lain berhubungan dengan prinsip-prinsip dan esensinya (menyangkut pengertian terhadap hal-hal yang dapat dipikirkan [ma'qulat]).Â
Jiwa tidak lenyap sebagaimana lenyapnya tubuh, tubuh hanyalah instrument jiwa dengan berbagai macam fakultas di dalamnya. Maka kehancuran instrument tidak mengakibatkan hancurnya pengguna instrument karena keduanya memiliki alam yang berbeda. Jiwa memiliki dua Tindakan yaitu: 1. Memerlukan Kerjasama dengan instrument dan 2. Tidak membutuhkan bantuan instrument. Oleh karena itu tidak benar jika lenyapnya tubuh lenyapnya jiwa juga.
Menurut ibn Sina (980-1037), jiwa manusia merupakan unit yang terlepas dari badan, namun jiwa akan terus timbul dan tercipta taip badan, yang selaras dengan penerimaan jiwa. Sekalipun jiwa manusia tidak memiliki fungsi fisik tetapi dengan lima panca inderanya atau daya-daya batin dari jiwa binatangnya yang dapat menolong jiwa untuk mendapatkan konsep-konsep dan gagasan-gagasan dari alam sekelilingnya.
Jika jiwa manusia sampai pada titik kesempurnaannya ia tidak butuh lagi pada tubuh, bahkan tubuh hanya menjadi penghalang bagi jiwa untuk actual pada tingkatan yang lebih sempurna. Maka jiwa manusia tidak hancur dengan hancurnya badan.
Jiwa manusia kekal jika mencapai kesempurnaannya sebelum terpisah dari tubuh makai jiwa menemukan kebahagian dan kesenangan, tetapi jika tubuh didominasi oleh hawa nafsu makai ia akan hidup tersesat dan terhimpit dalam kesengsaraan. Artinya penderitaan dan kesengsaraan yang mengikutinya tidaklah kekal karena bergantung pada hubungan aksidental jiwa dengan tubuh, apabila jiwa mampu mengabstraksikan dirinya dari tubuh ia akan menemukan titik kebahagiaannya.
Imam Ar-Razi (854-932), bahwa jiwa jika melampaui hal-hal material pada manusia disitulah letak kebahagiaan saat ini dan yang akan datang, jiwa memiliki otoritas terhadap tubuh dikondisikan oleh hubungan jiwa dengan tubuh.
 Dalam pandangan Ar-Razi jiwa manusia menerima menifestasi pancaran cahaya suci ilahiyah tergantung hubungan jiwa dengan tubuh, hubungan ini bisa berbentuk dua arah yaitu, jiwa pada hal material dan jiwa pada nilai-nilai ilahiyah sedangkan yang menjadi penerang bagi jiwa adalah nilai-nilai ilahiyah. Maka perhatian pada hal-hal yang memiliki nilai ilahiyah dapat menerangi jiwa sedangkan dunia material hanya membuat manusia tersesat. Dengan demikian pengetahuan allah yang membawa pada jalan-jalan kebahagiaan melalui pengetahuan.