Senja di Kaki Candi (7-Tamat) : Ketika Cinta Mulai Bersemi
Oleh aminuddin
                                        Â
XIII
DI kampus ...
"Mas tunggu aja ya?!" Kata Abu Bakar saat membukakan pintu mobil agar Wati bisa dengan mudah keluar sebelum memasuki gedung bertingkat dimana dia mengajar sore hari ini.
"Enggak kelamaan Mas?" Beberapa mahasiswa sudah mengerubunginya. Mereka menanyakan perubahan jadwal perkuliahan semester genap.
"Mudah-mudahan enggak ..."
Tak sempat Wati mendengarnya karena harus menjawab pertanyaan mahasiswa. Namun sebelum dia melangkah masuk ke pintu utama gedung bercat putih dan kecoklatan muda itu, sempat melambaikan tangan yang dibalas Abu Bakar dengan senyuman menawan.
Karena sepi, sebagian besar mahasiswa berbagai jurusan mulai mengikuti perkuliahan, Abu Bakar mene pikan mobil ke pelataran parkir kantor pusat. Beberapa mobil dari berbagai merek tampak terparkir rapi di sana. Serba baru dan keluaran terbaru.
Abu Bakar turun dari mobil. Dia menoleh ke sekitar kantor pusat. Ada tanah lapang rerumputan dengan bangku panjang  berderet di sana. Dia duduk tak jauh dari beberapa mahasiswa yang tengah asyik disku si, membaca buku dan tukar pikiran  di tanah rerumputan.
Kriiiing ...
Kriiiing ...
Kriiiing ...
Esti yang baru pulang dari mengantar anaknya les, belum tahu kalau yang menelepon sekarang ini ada lah Abu Bakar. Karena kesibukannya, dia sampai lupa menanyakan kabar teman karibnya Wati dan Abu Bakar.
"Apa kabar Mbak Esti?"
"Baik kabarnya. Maaf ya Mbak sampai lupa. Enggak nelepon-nelepon kamu sama Wati."
"Eggak apa-apa Mbak."
Gimana-gimana, beres kan?"
"Beres.  Besok saya pulang. Karena besok sudah harus masuk kerja lagi," kata Abu Bakar yang tersenyum  melihat seorang mahasiswa rebahan di bangku sambil membaca buku.
"Ya ya ... hubungan kalian itu lho. Mbak pengen tahu. Lancar kagak?"
"Lancar aja Mbak."
"Oke .. siiplah. Kamu sekarang dimana dik?"
"Di kampus Mbak. Mengantar Wati mengajar. Sekalian menunggunya pulang."
"Asyiiik."
Esti lega mendengarnya.
"Dik Abu ...!"
"Ya Mbak."
"Benar nih lancar."
"Benar. Saya dan Wati baik-baik saja komunikasinya."
"Maksud Mbak. Tanggapan Watinya, gimana gitu?"
"Kalau itu saya enggak tahu Mbak."
"Kok bisa enggak tahu? Katanya tadi lancar ..."
"Ya namanya hati orang Mbak. Apa Wati suka sama saya, saya belum tanya. Tetapi orangtuanya baik dan ramah sama saya, Mbak. Kayaknya mereka open aja gitu."
"Ya baguslah. Tapi ingat lho dik. Kamu itu dengan Watinya, bukan orangtuanya."
Ha ha ha ha ...
"Mbak ini ada-ada saja. Ya tentulah. Cuma mereka kan orangtuanya Wati. Suara mereka pasti masih didengar Wati ..."
"Tapi kamu harus terus terang dong dik. Sebelum pulang kamu harus minta kepastian gitu. Jadi enggak percuma kamu jauh-jauh datang, eee pulangnya cuma bawa kaki doang ..."
Ha ha ha ha ...
"Bilang apa Mbak?"
"Bilang apalah. Masa udah segede ini masih harus diajarin."
"Malas Mbak."
"Kenapa? Kamu malu apa?"
"Bukan Mbak. Belum terbiasa aja ngomong yang gituan ..."
"Harus dibiasakan dong dik. Gimana Wati tahu kamu suka kalau kamu enggak bilang suka ke dianya."
"Nantilah Mbak."
"Jangan nanti-nanti dik. Sekaranglah saatnya. Kamu harus berani. Kamu pasti bisa. Coba dululah ..."
Abu Bakar berpikir sejenak.
"Dik ...!"
"Boleh minta tolong enggak Mbak?"
"Tolong apa?"
"Mbak juga telepon Wati. Bilangin ke dia soal hubungan kami berdua ini Mbak."
"Oke. Nanti Mbak telepon. Tetapi kamu harus berani lho bilangin ke Wati, kalau kamu suka sama dia. Kamu suka kan?"
Abu Bakar diam.
"Dik ..!"
"Ya Mbak. Sukalah sama dia."
"Alhamdulillah ... ya udah. Nanti Mbak ngomong ke Watinya ..."
"Makasih Mbaaaaak ..."
Wati yang baru keluar dari ruang kuliah, belum langsung pulang. Dia masih harus merapikan ruang ker janya terlebih dulu . Kemudian menerima beberapa mahasiswa yang melaporkan siap mengikuti ujian akhir fakultas dengan melengkapi berbagai persyaratan yang diminta pihak perguruan tinggi.
XIV
"SUSAH amat sih nelepon elu, Wat?"
"Ini kan bisa. Dasar bawel," kata Wati menjawab sindiran Esti. Lama dia tak menelepon, sore ini tiba-tiba menelepon, ada apa gerangan.
"Kemana aja sih kamu?"
"Di kampuslah. Masa di dapur. Dasar bawel ..."
"Bawel juga ..."
Hi hi hi hi ...
Keduanya pun tertawa. Sejak masih kuliah dulu, lepas bercanda yang enggak ada ujung pangkalnya, ketawa juga akhirnya.
Berlanjut di rumah makan, di kamar tidur dan bahkan di kampus, bersama teman kuliah satu jurusan. Dengan cara itulah, Esti dan Wati tetap akur dan akrab sampai kini.
"Elu itu serius apa enggak sih sama Abu itu, Wat?"
"Menurut elu gimana?"
"Lho .. kok tanya ke gue. Kan elu yang punya gawean ..."
"Elu kagak apa. Dasar pengangguran ..."
"Bawel lu ah ..."
Hi hi hi hi ...
"Wati ..."
"Apa dong?"
"Serius ah ..."
"Lanjut aja tuan puteri ..." Wati memilih berdiri di dekat jendela ruang kerjanya. Melihat keluar, hampa ran rerumputan dan pepohonan nan hijau.
"Gini .. elu itu naksir kagak sih sama si beliau itu?" Esti hak berharap Wati tak menolak alias enggak nak sir Abu Bakar. Kasihan dia. Umur bertambah, sudah tua belum juga nikah. Payah.
"Naksir sih enggak ..."
"Ah yang benar Wat?"
"Cuma fall in love aja ..."
"Ha ...!"
Ha ha ha ha  ...
 "Nah gitu dong. Sekarang, apa rencana elu Wat?"
"Pulang," jawab Wati sekenanya.
Sesaat diam. Wati melihat dari kejauhan Abu Bakar duduk termenung seorang diri. Di dekatnya ada beberapa mahasiswi semester akhir tengah mendiskusikan mata ujian akhir dan studi banding.
"Wati ...!"
"Eeeem ..."
"Apa eeem .. em tu bawel?"
"Gue tengok Mas Abu lagi ..." Abu Bakar berdiri, lalu masuk mobil setelah melihat jam tangannya. Kuatir terlambat menjemput Wati, padahal  jarak antara dia dengan sang pujaan hati amatlah dekat.
"Lagi ngapain?"
"Kayaknya mau jemput gue deh ..."
"Baguslah," ucap Esti. Dia minta Wati membuka pintu hatinya. Sebab, Abu Bakar memang sudah siap maju, kini berdiri di depan pintu. Sayang, pintunya masih tertutup rapat. Biar enggak lama menunggu, segeralah buka sayang ...
"Sssst .. ini rahasia kita berdua lho Wati."
"Rahasia apaan sih ...?"
"Tadi, Abu Bakar telepon gue. Curhatlah dia soal hubungan kalian berdua. Dia bilang ..."
"Bilang apa?"
"Bawel lu."
"Cepetan bawel. Aku mau turun nih." Wati sudah berkemas. Siap menuruni anak tangga, keluar gedung menemui Abu Bakar.
"Bawel ah!"
"Tutup teleponnya ya!"
"Jangan ... jangan bawel." Esti bilang, Abu Bakar suka sama anak perempuannya Pak Refli dan Bu Juwita Refli. Â Itu saja.
"Masa?!"
"Gue ini temen elu atau setan sih?"
"Ya dua-duanyalah. Kadang temen, lain waktu setan juga ..."
He he he he ...
Piiiin ...
Sebelum mematikan telepon selulernya, Abu Bakar sudah turun dari mobil. Membuka pintu dan menyilakan Wati masuk.
"Sekarang Mas?" Wati melirik jam tangannya. Sudah pukul setengah enam sore.
"Nanti juga boleh."
"Pulang yuk!" Ajaknya. Kalau sudah malam, di sekitaran kampus, sering  macet di jalan. Sampai di rumah bisa-bisa tengah malam. Apa kata orang.
Â
Kampus masih ramai. Pedagang gerobak mulai memasang tenda, kursi dan meja makan. Beberapa pengunjung mulai berdatangan. Memesan gorengan, bakso dan aneka kudapan ringan. Langit cerah. Jalanan tak macet. Kendaraan roda dua dan empat berseliweran, lewat pertigaan dan simpang empat  menuju pusat kota.
Abu Bakar dan Wati, keduanya belum juga saling bertutur kata. Keduanya masih fokus dengan lamunan ma sing-masing. Wati ingat pesan Esti barusan yang memintanya tak berlama-lama membuk pintu gerbang cinta. Sementara Abu Bakar berharap keinginannya untuk mengutarakan isi hati tak menemui kendala.
Mereka berdua baru bicara setelah Wati meminta Abu Bakar menepikan mobil.  Singgah di Pondok Anugerah, sekadar untuk menikmati  aneka kudapan ringan dan teh manis penghangat perut dan kerongkongan.
XV
Â
 "ENAAAK ...!"
"Sebenarnya ..."
Hi hi hi hi ...
Wati tersipu malu, sementara Abu Bakar tertawa lucu. Dua kali 'ngucap' barengan sambil menunggu pesanan.
Sayup-sayup terdengar tembang manis 'Fall in Love' dari Prilly Latuconsina ...
         Baru kali ini
         Kurasakan ada yang beda
         Tadinya tak pernah
         Menatapnya lebih lama
           Awalnya biasa
           Semakin hari semakin berbeda
           Getarannya tak lagi sama
             Can you see the secret of my eyes
             Can you feel what I feel here inside
             I feel in love with you
                Haruskah kukatakan cinta
                Kuragu tuk mengatakannya
                I feel  in love with you (with you)
                    Dan waktu pun melambat
                    Saat aku tak ada di dekatnya
                    Persahabatan ini mulai berubah
                     Can you see the secret of my eyes
                     Can you feel what I feel here inside
                      I feel in love with you
                       Haruskah kukatakan cinta
                       Kuragu tuk mengatakannya
                       I fall in love with you (with you)
                         Dan aku tak bisa lagi menahan
                         Rasa ini di dada
                         Haruskah kukatakan padanya
                         Kujatuh cinta
                         Aaah ...
                         Uuuuuh ....
                            Can you see the secret of my eyes
                            Can you feel what I feel here inside
                            I fall in love with you
                              Haruskah kukatakan cinta
                              Kuragukan tuk menyatakannya
                              I fall in love (I fall in love)
                              I fall in love (I fall in love)
                              I fall in love with you
"Wati ... Bantu aku untuk mengatakannya .." Abu Bakar berusaha tetap tenang, walau hatinya galau, apa mungkin bisa tenang saat isi hati dibuka.
"Katakanlah Mas. Aku siap mendengarkannya," ucap Wati. Sulit beralih pandang. Sungguh sejuk menatap mata itu.
"Wati, aku ..." Mulut terasa berat untuk berucap, walau hanya sepatah dua patah kata. Seakan orang ramai mengelilingi keduanya.
"Atur nafas Mas."
Tarik ... hembuskan. Tarik ... hembuskan. Tarik ... hembuskan. Sampai tujuh kali Abu Bakar mengatur nafasnya.
"Gimana Mas?"
"Lumayanlah ..." Kata Abu Bakar. Lidahnya tak kelu lagi. Perasaannya kini lebih tenang.
Pesanan datang ...
"Minumlah dulu, Mas." Kata Wati, sesaat setelah pelayan wanita kedai teh menyilakan keduanya untuk menyeruput teh dan mencicipi kudapan ringan beda rasa.
Celeguk ...
Celeguk ...
Aaaah ...
"Gimana sekarang Mas?"
"Alhamdulillah, sudah fit  seratus persen kayaknya."
"Mau ngomong atau terus minumnya?"
Abu Bakar jadi malu hati. Sebenarnya dia mau menyantap martabak telur yang tersaji. Perut lapar, minta segera diisi. Tapi, belum lega rasanya sebelum isi hati ini diutarakan dan didengar oleh si dia.
"Wati ..."
"Ya udah. Cintanya Mas Abu, Wati terima ..."
"Alhamdulillah ..." Ucap Abu Bakar. Sesaat menunduk, sebelum membalas tatapan sendu Wati yang lain dari biasanya.
"Udah kan?"
Abu Bakar mengangguk.
"Pulang yuk!"
"Sekarang?"
Gantian Wati yang mengangguk. Dia tersenyum puas.
Hal serupa juga dilakukan pasutri yang belum lama menikah dari deretan kursi paling belakang. (TAMAT)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H