"Masa?!"
"Gue ini temen elu atau setan sih?"
"Ya dua-duanyalah. Kadang temen, lain waktu setan juga ..."
He he he he ...
Piiiin ...
Sebelum mematikan telepon selulernya, Abu Bakar sudah turun dari mobil. Membuka pintu dan menyilakan Wati masuk.
"Sekarang Mas?" Wati melirik jam tangannya. Sudah pukul setengah enam sore.
"Nanti juga boleh."
"Pulang yuk!" Ajaknya. Kalau sudah malam, di sekitaran kampus, sering  macet di jalan. Sampai di rumah bisa-bisa tengah malam. Apa kata orang.
Â
Kampus masih ramai. Pedagang gerobak mulai memasang tenda, kursi dan meja makan. Beberapa pengunjung mulai berdatangan. Memesan gorengan, bakso dan aneka kudapan ringan. Langit cerah. Jalanan tak macet. Kendaraan roda dua dan empat berseliweran, lewat pertigaan dan simpang empat  menuju pusat kota.
Abu Bakar dan Wati, keduanya belum juga saling bertutur kata. Keduanya masih fokus dengan lamunan ma sing-masing. Wati ingat pesan Esti barusan yang memintanya tak berlama-lama membuk pintu gerbang cinta. Sementara Abu Bakar berharap keinginannya untuk mengutarakan isi hati tak menemui kendala.