Aku Pandangi lekat-lekat foto anak itu, dia begitu mungil dan nampak berbeda dengan yang lain. Ya dia berbeda, saat teman-temannya mendapat nilai delapan atau sembilan dialah yang menutupnya dengan nilai tiga di bagian bawah. Tapi aku sendiri tidak pernah menduga dua jam lalu yang datang kerumah adalah anak kecil itu.Â
Sekali lagi kali ini dia begitu berbeda, wajahnya begitu bersih, gemuk, dia menggendong anak kecil yang lucu dengan di dampingi istrinya yang juga cantik dengan balutan kerudung yang sesekali angin mengganggu untuk sedikit melambai-lambaikannya. Mereka berdua keluar dari  CRV hitam mengkilap. Aku mulai mendekati mobil itu.
"Bapak masih ingat permainan puzzle yang bapak mainkan 20 tahun yang lalu?"
Oh..gaya bicaranya juga berbeda, sedikit teratur dan mungkin memang di atur. Aku mencoba mengingat-ingat permainan itu, sudah lama sekali.
"Pak, maaf mungkin bapak terkejut dengan keadaan saya sekarang dan saya yakin bapak tidak pernah menduganya bukan?" Â Sebenarnya aku ingin dia banyak bicara waktu itu tapi pembicaraan tidak akan mengalir kalau hanya menjadi pendengar.
"Kamu benar  Nak, kamu sangat berbeda dengan yang dulu. Bagaimana bisa kamu seperti sekarang? Inilah nasib, hanya Tuhan yang tahu. " ungkapku sesekali sambil tak hentinya mataku memandang laki-laki yang duduk di kursi rumahku, di depan mataku.
"Bapak benar, Tuhan begitu cantik memainkan nasib manusia dan tak satupun yang bisa mendugnya. Dia hanya menugaskan manusia untuk berbuat baik dimanapun, kepada siapapun bahkan pemeluk agama apapun dan suatu saat kita akan menemukan potongan kebaikan yang kita tanam. Seperti permainan bapak dulu di SMA, bukan? Â "
"Ah kau ini masih ingat saja permainan dulu, sekarang bapak jarang memainkannya lho..,yah mungkin anak-anak lebih tertarik yang berbau kekinian daripada hal-hal sekilas tidak begitu menarik.. "
Aku mencoba mengingat-ingat permainan dengan anak itu. Masih belum percaya tentang hari ini. Hari yang luar biasa. Puzzle? ya , apakah benar anak ini bisa menjadi yang seperti sekarang karena permainan 20 tahun yang lalu? Aku mencoba mengingatnya kembali
**********
Aku baru berpindah tugas dari ke Surabaya ke Jepara. Seperti biasa tempat baru membuat saya agak canggung dengan orang-orang baru. Lingkungan yang tidak akrab dan saya di paksa untuk mengerti. Sebagai guru matematika terus terang saya agak kaku dan kurang luwes.Â
Suatu hari kepala sekolah tidak ada di tempat dan aku di suruh untuk menggantikannya mengajar. Mengajar pelajaran yang bukan menjadi bidangku.
 "Pak Zul  saya minta tolong gantikan saya untuk mengajar di sembilan A, saya masih di Diknas" Kubaca SMS  dari pak Sunarto kepala sekolah. Geografi bukanlah bidang yang saya geluti tapi karena pak Sunarto yang memberi kepercayaan, saya akan mencobanya.
"Jelaskan saja tentang Peta Dunia, pak Zul" Â Hpku melengking lagi dan di susul dg rentetatan tulisan SMS. Â Langkahku mengarah ke perpustakaan sekolah dan kulihat di sana terpampang besar peta Dunia yang menggelayut di tembok.Â
"Bu Fitri, boleh saya meminjam peta dunia ? sebentar saja kok."
"Tentu pak, silahkan"  petugas perpustakaan itu langsung mengayuhkan langkahnya untuk mengambil barang yang aku pesan. Langkahnya agak tergesa-gesa  menandakan bahwa dia dengan senang hati melakukannya. Bu Fitri juga terbilang karyawan baru di sekolah ini.Â
Satu bulan sebelum aku masuk beliau baru mulai bekerja. Mungkin karena sama-sama baru jadi kami cukup akrab. Beliau selalu mengijinkan aku untuk masuk perpustakaan meskipun aku belum memiliki kartu anggota.
"Apa hubungannya pak, matematika dengan peta dunia " tanyanya menyelidik. Mungkin dia merasa aneh, mengapa guru eksakta meminjam peta dunia.
"Saya menggantikan pak Sunarto bu, mengajar geografi"
"Memangnya beliau dimana pak?" tanyanya dengan ras ingin tahu
"Beliau masih ada kepentingan di Diknas,jadi saya di suruh untuk menggantikan"
"oo.." Jawabnya megangguk dengan bibirnya yang manyun.
"Terima kasih ya bu..satu jam lagi saya kembalikan"
"Ok,pak..saya percaya bapak tepat waktu" Jawab gadis itu dengan senyuman dan sedikit terkekeh. Aku tahu maksudnya, memang beberapa hari ini dia sering mengingatkan aku untuk mengembalikan buku yang sudah satu bulan belum aku kembalikan.
"Siip...ingetin ya"
"Nda ah, nanti pulsa saya habis kalau sering WA pak Zul" senyum manis itu menyusul kembali dengan diperlihatkannya gigi gingsul di pipi kirinya .
"Iya deh pak, beres..nanti saya ingatin untuk selalu membawa jajan kalau ke perpus"
"Lho kok membawa jajan" tanyaku
"Iyalah, kalau dingetin bawa jajan nanti akan inget ngembaliin peta, tapi kalau diingetin ngembalikan peta nanti pak Zul lupa membawa jajan, iya kan?" jawabnya  yang kali ini bukan hanya senyumannya tetapi tawanya yang mulai terdengar keras.
"Siap deh bos.." aku melanjutkan langkahku kekelas karena bel  yang sudah teriak-teriak.
"Eit,,eit tunggu pak Zul" Suara bu Fitri menghentikan langkahku yang mulai tergesa-gesa.
"Ada apa bu?"
"Bapak melupakan sesuatu?"
"Apa itu?"  tanyaku penasaran seingatku tidak  meninggalkan sesuatu.  Memang dari tadi aku tidak membawa apa-apa.
"Terima kasihnya mana pak?" jawab gadis itu dengan nada gurauan.
"Yaaah, kirain apa...ok deh, terima kasih ibu cantiik"
"Sama-sama pak, ingat ya pak jangan terlambat" teriak bu Fitri melihat aku sudah meninggalkan pintu perpustakaan.
"Beres bos" kuangkat tanganku tanpa menoleh.
Sepanjang langkah menuju kelas sembilan aku merasa aneh karena belum mempunyai ide dan bingung apa yang harus aku ajarkan. Ini bukanlah bidang materi yang aku ajarkan setiap harinya. Itulah sebabnya aku agak di buat kelabakan.
Dari luar kelas terdengar anak-anak yang gaduh dan inilah kelas yang sebentar lagi akan aku masuki, Â kelas sembilan A jurusan IPS yang kebayakan adalah anak-anak yang susah di atur. Â
Aku mulai mengetuk pintu. Kubuka pintu pelan-pelan dan kupandangi anak-anak yang panik mencari tempat duduk. Mereka juga melakukan hal yang sama, pandangan aneh di berikan ke mataku.
"Maaf pak, apakah bapak tidak salah kelas? " salah satu dari mereka nyeletuk karena kegaduhan mereka yang aku usik.
"Sama sekali tidak anak-anak, sembilan A bukan? IPS?"
"Iya pak, benar " beberapa dari mereka membenarkan  pertanyaanku dengan jawaban yang tidak begitu bersemangat. Aku pernah dengar dulu ada salah satu guru baru di permalukan di kelas ini dikarenakan mempunyai postur tubuh yang pendek. Â
Pada saat dia mengajar di depan kelas salah satu siswa berdiri dan membandingkan postur tubuhnya dengan guru tersebut seketika guru tersebut menangis dan beberapa hari kemudian dia melayangkan surat pengunduran diri. Sejak itulah guru-guru menjadikan kelas ini bahan utama gosip mereka.
"Ok, jadi saya tidak salah kelas " jawabku dengan mantab yang sedikit memberi angin semangat untuk mengajar di kelas ini.
"Bapak mendapat amanat dari pak Sunarto untuk menggantikan beliau mengajar tapi...bapak tidak akan mengajar geografi hari ini..." lanjutku tegas. Oh my God, apa yang kukatakan tadi kalau tidak geografi lantas apa? Aku belum mendapat ide.
"Matematika ya pak? Apalagi itu pak, Lebih malas lagi" jawab Dinar yang memotong pembicaraanku sebelum aku selesaikan dengan sempurna.
"Juga bukan matematika.. " jawabku spontan padahal sampai saat ini aku belum punya ide mengajar apa. Dalam kebingungan tiba-tiba terbesit sebuah ide .
"Kita bermain.. memainkan masa depan "
"Ide aneh apalagi nih?" salah satu dari mereka mulai gerah.
"Yaah, kapan belajarnya pak kalau main terus. Kita sekolah untuk belajar pak bukan main-main" Sekali lagi Dinar memecah pembicaraan dan diikuti gelak tawa teman-temannya. Aku tahu anak ini tidak serius, jadi aku masih bisa mengontrol emosiku.
Tanpa mengomentari Dinar aku mulai menggelar peta dunia yang sedari tadi aku pegang. Aku gelar diatas dua meja siswa yang memang dari segi ukuran peta ini cukup besar.
"Baiklah anak-anak bapak namakan permainan ini dengan Destiny Game, siapkan empat potongan kertas kecil  dan selanjutnya ikuti petunjuk bapak"
"Kertasnya mau diapain pak, berapa sentimeter ukurannya? Terus yang polos atau yang bergaris? Lalu juga, warnanya apa" kali ini bukan Dinar tapi si Suntar.
"Kertasnya mau di buang, ambillah 1x1 cm, ambil yang bercorak batik keemasan"
"Wah kalu yang itu mah tidak ada pak, bapak ini ada-ada saja" komentar Suntar dengan wajah kusut.
"Makanya bos, jangan banyak tanya nanti malah saya persulit, lakukan saja apa yang saya perintahkan. Sederhana kan?" Sahutku untuk mengehentikan ocehan mereka.
"Heh..oke bos, eh maaf ...oke pak" ralat suntar. Anak ini memang di kenal jahil dan salah satu timnya Dinar yang suka jahilin guru baru.
"Oke, sudah siap kertasnya?" teriakku kepada siswayang lain.
"Dah dari tadi pak" sekali lagi Suntar mulai usil.
"Bagus, silahkan Suntar dan Dinar membantu bapak dengan maju ke depan " aku mulai memanfaatkan keusilan anak-anak ini. Sebagian guru berkeluh kesah dengan ulah anak-anak didik yang usil tetapi sebenarnya jika kita bisa memanfaatkan kenegatifan anak bisa juga bermanfaat.
"Tolong kalian pegang kedua sisi peta ini dengan erat " perintahku kepada mereka yang dari tadi aku lihat kurang bersemangat.
"Yaah,Pak Zul,,kan di taruh di meja bisa kenapa harus kita yang megang..? Â " mereka mulai protes dengan ideku. Aku ingin mereka tidak mengganggu teman yang lain. Dengan cara ini mereka bisa ikut berpartisipasi.
"Pegangin aja, cerewet amat "kucubit hidung mereka dengan lembut. Teman-temannya yang lain mulai tersenyum melihat ulah mereka di depan kelas.
"Jadi kita nda ikut dong pak kalau megangin kayak gini "
"Ikut dong, kan kalian yang mimpin permainan" jawabku sambil tersenyum dan di sambut dengan wajah mereka yang mulai menegang.
"Oke the winners, kita akan mulai permainan ini. Kalian akan menulis dikepingan-kepingan kertas kalian sesuai perintah pak Zul. Kertas pertama silahkan di tulis: Menikah, kertas kedua: Karir, selanjutnya: bekerja dan yang terakhir: sukses  " Mereka mulai sibuk dengan kesibukan masing-masing . Ada yang mulai menebak-nebak permainannya dan ada juga yang mulai mmengintippekerjaan teman sebangkunya.
"Pak kita ikut dong, capek megangin kayak gini.. " Dinar mulai mengeluhkan dengan pekerjaanya. Si Suntar juga sudah mulai menggeliatkan tubuhnya.
"Hei bos, capek mana dengan ngomong?" tanyaku dengan bergurau. Aku kadang-kadang memang suka memanggil anak-anak dengan panggilan bos, dengan harapan mereka punya masa depan dan kesuksesan.
"Sama-sama capeknya pak Zul" jawab Sutar
"Kalian boleh ikut asal tidak mengganggu yang lain" jawabku memberi syarat.
"Oke bos,eh..pak Zul" teriak Dinar yang sudah siap-siap merayakan kebebasannya.
"Silahkan bergabung " kataku sambil menunjuk tempat duduk. Mereka mulai tersenyum . Sambil meletakkan peta dunia tersebut di tempat semula, mereka dengan cepat berlari ke tempat duduk mereka dan bergabung dalam permainan.
"Baiklah, sesaat lagi kita akan memainkan permainan ini. Tiffany..silahkan maju dan bawa kepingan kertasmu. Pak Zul akan menutup mata Tiffany dan selanjutnya kalian akan melakukan hal yang sama" aku mulai mengambil sapu tangan dari saku celana dan kuikatkan ke kedua mata anak itu.
"Dengan perlahan dan konsentrasi silahkan lempar potongan kertasmu di atas peta, bayangkan bahwa ini kisah nyata dan mulailah dengan doa "
"Tapi gelap banget pak Zul.. " keluh Tiffany yang tertutup matanya.
"Lempar saja pelan-pelan dan nanti kamu akan tahu apa yang akan terjadi " Setelah diam sebentar anak itu mulai melemparkann potongan kertas yang sudah digulung-gulung sebelumnya sehingga tidak tertiup angin.
"Anak-anak, pak Zul akan membacakan hasil dari tiffany. Potongan kertas pertama jatuh di wilayah negara Rusia, kedua di Irian Jaya, ketiga di Turki dan keempat di Italia" aku menjelaskan dengan antusias dan anak-anak mulai meninggalkan tempat duduknya untuk mengelilingi peta itu. Suara usil yang biasa aku dengar tidak terdengar lagi hanya terlihat anak-anak dengan pandangan bertanya tanya.
"Pak Zul, boleh ya aku yang buka.." Dinar sudah mulai tertarik dengan permainan ini.
"Dinar, silahkan buka potongan kertas yang di Irian Jaya" Dinar memungut gulungan kertas kecil yang jatuh dipeta kepulauan Irian Jaya.
"Menikah, haha...Tiffany menikah di Irian Jaya" gelak tawa Dinar diikuti teman-teman yang lain. Tiffany yang masih tertutupmatanya seakan tidak percaya. Aku mulai membukanya.
"Selanjutnya bapak yang akan mengambilnya" sahutku. Aku mulai mengambil kertas demi kertas.
"Kertas di Rusia bapak akan membukanya" anak-anak mulai diam dan bertanya-tanya.
"Paling juga Tiffany "bekerja di Rusia,,jual gorengan" si usil Suntar mulai kumat dengan ledekannya dan sekali lagi anak-anak yang lain tertawa mendengarnya.Â
"Sukses, di Rusia  bapak menemukan Kertasnya Tiffany dengan tulisan `Sukses`!" teriakku tiba-tiba dan di sambut tepuk tangan.
"Turki: Karir dan Italia: bekerja " lanjutku sambil tersenyum lebar. Di sambut semangat anak-anak yang ingin segera mencoba. Tiba-tiba dering bel sekolah pertanda istirahat sudah mulai melengking-lengking.
"Anak-anak, silahkan istirahat dulu dan sebagai penutup bapak akan memberi penjelasan apa arti permainan ini dalam hidup kita" Anak-anak dengan tertib kembali ke tempat duduk masing-masing dan mulai mendengarkan.
"Ok, the winners..tidak satupun dari kita tahu akan masa depan, sebagian orang punya mimpi-mimpi indah yang akan di hadiahkan di masa depannya dan sebagian yang lain pasrah kepada takdir Tuhan. Bangunlah mimpi semau kalian dan berbuatlah sesuatu untuk meraih mimpi itu. Kadang kesuksesan mengetuk dengan halus sekali. Yang bisa kita lakukan hanyalah berbuat baik setiap harinya.  Sambil membangun impian, berbuatlah kebaikan seberapa besar maupun kecil.  Kebaikan adalah kepingan kertas kita yang akan kita tabur dan kita akan menemukannya kembali  di belahan dunia manapun sesuai keinginan kita kepada Tuhan, dan kalian suatu saat akan menemukan mimpi itu".
 Anak-anak semua diam mendengar penjelasanku. Membuka mata mereka  bahwa melakukan hal yang sia-sia tidak akan berdampak apapun padamasadepan mereka.semoga mereka berubah.
Ditengah penjelasanku Dinar beberapa kali mengangkat tangan ingin mempertanyakan sesuatu. Akupun merehat sejenak.
"Pak apakah  dalam permainan ini kalau kita serius melakukannya akan terjadi di masa depan? " dia mulai serius.
"Pertanyaan yang bagus, bisa jadi. Karena doa tidak harus diucapkan tetapi bisa saja bahwa permainan yang baru saja kita lakukan merupakan do`a yang akan di kabulkan di kemudian hari oleh Tuhan " Dinar diam dan tampak memikirkan sesuatu.
"Anak-anak tampaknya kita terlambat untuk istirahat. Baiklah terima kasih atas perhatian dan partisipasinya, selamat beristirahat" Ku gulung peta itu dan aku bawa ke perpustakaan.Â
Pendidikan bukanlah merupakan makanan yang siap santap dan setiap orang bebas memakan hasil racikan makanan itu. Tetapi pendidikan adalah bagaimana menuntun mereka untuk meracik makannya sendiri. Jika makanan itu nampak lezat maka kebahagiaan bukan hanya milik mereka tetapi kita berhak merasakannya. Â Â Â Â
************
"Bapak tidak apa-apa kan?"
Aku tersentak setelah suara itu mengagetkanku memecah lamunan yang dari tadi mengusik. Aku mencoba bergabung dalam obrolan dengan anak ini kembali. Menceritakan hal-hal yang panjang untuk di bahas.
"Oya, apa maksudmu dengan permainan puzzle tadi? " aku memang belum sempat menanyakan tentang hal ini.
"Setelah bapak menyelesaikan permainan yang dulu, saya mencoba sendiri datang ke perpustakaan dan membuka peta itu dan saya yakin bapak tidak percaya hasilnya " Anak itu membuka senyumnya yang lebar dan nampak giginya yang tidak rata. Masih seperti dulu.
"Apa hasilnya, anakku?" tanyaku selidik.
"Kepingan kertas Menikah di Australia, Sukses di benua Amerika, Karir di Rusia dan bekerja di Samudera Pasifik " Â pemuda ini begitu antusias menjelaskan permainan yang diam-diam tidak saya ketahui 20 tahun yang lalu.
"Apanya yang istimewa?" kedengarannya memang tidak istimewa bagiku dan..
"Sebentar lagi bapak akan kaget,  Bapak tahu saya bekerja dimana? " dia  mulai menanyakan hal yang aneh. Aku mulai menggelengkan kepala pertanda tidak tahu. Hanya yang aku fikirkan dengan penampilannya yang berkelas pastinya dia bekerja di lahan yang banyak menghasilkan uang.
"Aku bekerja di kapal pesiar pak, karena sering berlayar kejutan itu datang satu demi satu. Istri saya orang Indonesia yang belakangan saya tahu dia keturunan Australia. Kami rencana tinggal di Amerika setelah menikah hanya untuk beberapa tahun karena ada tawaran kerja di sana "
"sebentar... maksudmu apa yang kamu alami sama persis seperti permainan Destiny Game itu? Bekerja: Samudera pasifik dan sekarang kamu bekerja di kapal pesiar?, menikah: Australia, istrimu sekarang keterunan Australia?, Sukses: Amerika, sekarang juga kamu berencana pindah ke Amerika karena ada pekerjaan disana?..luar biasa semuanya hampir tepat sasaran dan Tuhan mendengarmu" Aku masih tidak percaya dan kepalakumulai bergidik.
 Aku masih diam tidak percaya mendengar penjelasan anak ini. Mataku mulai menatap wajahnya yang mulai menebal, bibirnya muai bersih pertanda dia berhenti merokok.. Istrinya hanya diam dan aku perhatikan memang dia ada keturunan bule tapi uniknya di memakai kerudung.
"Bapak benar, semua hampir tepat..Bukankah bapak pernah mengatakan bahwa doa tidak harus  di ucapakan tetapi juga di lakukan. Saya melakukannya lewat lemparan kertas puzzle dan Tuhan melihat apa yang saya lakukan "  Â
"Saya hanya ingin berterima kasih pak atas inspirasi yang telah bapak berikan, oya pak..masih suka mengayuh sepeda? "
"Masih,banyak kenangan lewat sepeda ini. Mengingatkan bapak waktu kuliah di Salatiga dulu" jawabku dengan sesekali memandang sepeda yang berdiri di pojok ruangan. Sepeda  adalah kendaraan resmiku kesekolah meskipun yang lain naik kendaraan mereka dengan berbagai merek.
"Kami sudah sepakat untuk memeberikan ini..sudilah bapak menerimanya" tiba-tiba anak itu mengeluarkan kotak kecil yang di balut kain merah. Dengan cepat dia menyodorkannya ke tanganku dan dalam beberapa detik sudah berpindah tangan. Nampaknya kotak ini begitu rapi nampaknya sudah di persiapkan sebelumnya.
"Apa ini? " tanyaku sambil membolak-balik kotak itu. Terdengar bunyi sesuatu di dalamnya yang setelah aku goncang  mungkin sedikit terusik. Aku masih terkejut sambil kebingungan harus berkata apa.
"Hanya hadiah kecil dari kami sebagai tanda rasa syukur, oya pak..salam ya buat ibu Fitri Kumala, aku dengar dari teman-teman bahwa bapak mempersunting ibu perpustakaan itu"
"Ah Kalian ini dari dulu suka ngegosipin orang" jawabku agak malu. Semenjak angkatannya dulu memang para murid sering menjodohkan kami. Mungkin di karenakan aku suka main ke perpustakaan di karenakan hobi baca. Tapi memang jodoh bu Fitri Kumala telah menjadi ibu dari anak-anakku.
"Bapak mengucapkan terima kasih, bapak masih tidak percaya apa yang bapak alami hari ini " aku peluk pemuda itu dengan erat. Dekapannya begitu erat saya rasakan dan tiga kali tepukan aku rasakan di punggungku.
"Sama-sama pak, ini tidak sebanding atas apa yang bapak berikan. semoga bermanfaat " dengan perlahan pemuda itu melepas pelukanku. Wajahnya menggambarkan seseorang yang sedang sungkan. Namun demikian semua tidak mengurangi aliran air matanya yang mengalir membasahi kemeja biru laut miliknya.
"Jika  bapak perlu bantuan dengan senang hati saya akan menerima telepon dari bapak, saya tunggu"Â
Nampaknya waktu begitu singkat sehingga anak ini harus meninggalkan ruang tamu yang dari tadi di hiasi pembicaraan yang sedikit kaku. Aku merasa aneh dulu dia aku kenal orang yang tidak sopan di kelasnya tetapi sekarang dia menaruh hormat selayaknya bertemu orang yang begitu berharga.
Kedua pasangan itu mulai meninggalkan halaman rumah dan memasuki CRV miliknya, Dinar Mahendra, Â anak kecil yang dulu saya ragukan masa depannya nampak begitu gagah dan di dampingi istrinya yang cantik.
Mobil hitam itu pelan-pelan meninggalkan rumah sampai tak terlihat lagi. Aku mulai memasuki pintu yang sedari tadi masih terbuka. Angin mulai menutup daun pintu yang menjerit jerit. Kubuka kotak kecil itu dan..ya Tuhan! aku temukan kunci sepeda motor yang di balut gulungan kertas,
 aku mulai membancanya: Bapak adalah guru teladan bagi kami dan juga nantinya bagi anak-anak kami. Akan kami ceritakan sebuah kisah yang membenam dalam dan mengakar yang sampai kapanpun takkan bisa di cabut dan takkan pernah usang....sore nanti semoga motornya sudah datang pak. Terima kasih guruku. Bapak Zulkarnain.
Muridku yang sekian lama tidak terdengar kabar beritanya, yang  tidak aku duga kesuksesannya baru saja meninggalkan halaman rumahku.  Mungkin memang benar, seorang guru tidak punya hak sedikitpun menjustifikasi anak didiknya di masa depan, gagal maupun sukses. Kewajiban guru adalah berdo`a untuk anak didik agar cerah masa depannya.Â
Si Ferdian yang dulu di percaya menjadi pewaris perusahaan keluarganya kini jatuh miskin karena di gunakannya berfoya-foya. Sutar si murid usil kini  mempunyai sawah sekian hektar yang di tanami kelapa sawit bahkan mempunyai sekolah yang di kelolanya sendiri. Dan kini giliran si kepala tim, Dinar Mahendra. Tuhan...Engkau memang maha keren. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI