Pada saat dia mengajar di depan kelas salah satu siswa berdiri dan membandingkan postur tubuhnya dengan guru tersebut seketika guru tersebut menangis dan beberapa hari kemudian dia melayangkan surat pengunduran diri. Sejak itulah guru-guru menjadikan kelas ini bahan utama gosip mereka.
"Ok, jadi saya tidak salah kelas " jawabku dengan mantab yang sedikit memberi angin semangat untuk mengajar di kelas ini.
"Bapak mendapat amanat dari pak Sunarto untuk menggantikan beliau mengajar tapi...bapak tidak akan mengajar geografi hari ini..." lanjutku tegas. Oh my God, apa yang kukatakan tadi kalau tidak geografi lantas apa? Aku belum mendapat ide.
"Matematika ya pak? Apalagi itu pak, Lebih malas lagi" jawab Dinar yang memotong pembicaraanku sebelum aku selesaikan dengan sempurna.
"Juga bukan matematika.. " jawabku spontan padahal sampai saat ini aku belum punya ide mengajar apa. Dalam kebingungan tiba-tiba terbesit sebuah ide .
"Kita bermain.. memainkan masa depan "
"Ide aneh apalagi nih?" salah satu dari mereka mulai gerah.
"Yaah, kapan belajarnya pak kalau main terus. Kita sekolah untuk belajar pak bukan main-main" Sekali lagi Dinar memecah pembicaraan dan diikuti gelak tawa teman-temannya. Aku tahu anak ini tidak serius, jadi aku masih bisa mengontrol emosiku.
Tanpa mengomentari Dinar aku mulai menggelar peta dunia yang sedari tadi aku pegang. Aku gelar diatas dua meja siswa yang memang dari segi ukuran peta ini cukup besar.
"Baiklah anak-anak bapak namakan permainan ini dengan Destiny Game, siapkan empat potongan kertas kecil  dan selanjutnya ikuti petunjuk bapak"
"Kertasnya mau diapain pak, berapa sentimeter ukurannya? Terus yang polos atau yang bergaris? Lalu juga, warnanya apa" kali ini bukan Dinar tapi si Suntar.