Ku raih tubuhnya dan ku dekap ia. Aku beruaha untuk menentramkan hatinya. Iya, kei aku maafin kamu. Dan aku juga minta maaf ya, Kei.
Kei menarik dirinya dari tubuhku. Ia menatapku, Maaf? Untuk apa?
Untuk segalanya, Kei. Segalanya, jawabku menggantung. Aku terus terhanyut dalam tatapan matanya. Kei maafkan aku yang belum seutuhnya rela melepaskan perasaanku pada Rasta untukmu, batinku dalam hati.
Oke, daripada larut dalam kesedihan yang super nggak jelas gimana kalau nanti kita hang out. Makan bakso atau mie ayam? tawar Kei padaku, sambil menyeka jalur yang membekas atas air matanya.
Aku kenyang. Mungkin lain kali. Aku minta maaf.
Sayang sekali. Tapi, tak apalah.
Hem, kalau boleh tahu ada masalah apa, antara kamu sama Tere?
Jadi gini ceritanya.
*****
Matahari kian meninggi. Panasnya sungguh menyegat, serasa membakar hangat ubun-ubun kepala. Ku kayuh sepeda menuju perpustakaan umum. Dalam kondisi kalut seperti ini, ku luangkan sedikit waktu untuk sekedar mambaca buku, berharap semua masalah dapat terlupakan walau hanya sekejap.
Begitu sampai di dalam. Ribuan buku yang tertata rapi dalam rak-rak yang saling berjajar. Ku perintahkan langkah kakiku menuju kumpulan buku yang berlabel Sastra dan Karya Fiksi.