Wah, lagi seneng ni ye, godaku padanya.
Maksud kak Rasya apa sih? Dateng-dateng langsung nyeplos begitu? Plis deh, timpalnya padaku.
Sepertinya ada sesuatu nih. Makanya si putri ini lagi doyan nyegar-nyegir nggak jelas.
Emang menurut kakak begitu ya? Ujarnya tanpa menatap aku, sambil nyegar-nyegir tak jelas.
Inggih, Sayang. Emang ada apa toh? Cerita dong.
Rasya tahu Bramasta kan?
Emang kenapa?
Orangnya perhatian ya, Kak. Baaaiiikkk bangetî
Aku sangat terkejut akan apa yang baru saja dikatakan Keisya. Entah aku merasa ada sesuatu mengganjal di hatiku.Ada serpihan rasa tak rela yang menghujam dada. Seketika lidahku kelu. Tanpa ingin membuatnya kecewa akan responku yang tidak cukup baik, ku lemparkan senyum padanya. Berharap ia tak menyadari akan adanya kegamangan dalam hatiku.
****
Mulai saat itu, Keisya tak lepas dari topic yang membahas tentang Bramasta. Anak laki-laki di sekolah kami yang bisa dikatakan tenar. Berperawakan tinggi, putih, bermata sedang, dan jika tersenyum maka akan timbul sebuah cekungan di sudut pipinya. Dan semenjak hari itu pula, waktu malamku terasa panjang dan melelahkan. Bramasta adalah kawanku saat kelas 4 SD dahulu. Kedua orangtua kami pun sudah cukup mengenal. Tak jarang Ibu mengundang Bramasta dan keluarga dalam setiap acara penting keluarga kami, begitu juga sebaliknya. Kami tergolong dekat, walau kini pada nyatanya hubungan kami semakin merenggang. Bahkan jika aku menceritakan hal ini pada teman-teman di sekolah ku kini, sungguh mereka akan benar-benar tidak percaya. Mustahil untuk dapat dipercaya oleh mereka. Tak apalah, sempat mengenal bahkan mejadi kawannya pun jadi hal istimewa buatku. Dan semua yang telah terjadi antara aku dan Bramasta seakan sudah cukup memberikan alasan untuk menumbuhkan rasa kagum dari ku untuknya.