Iya, Dik Ada apa?
Dia jahat, Kak –hiks hiks hiks, ucapnya terisak.
Maksudmu?
Farhan mutusin aku, Kak.
Apa? Bagaimana bisa? Awas aja kalau aku ketemu sama dia. Huh! seruku geram penuh umpat pada Farhan. Memang apa yang sudah terjadi? Kalian bertengkar?
Keisya hanya terdiam. Isaknya terdengar makin dalam. Makin perih menusuk relung batinnya. Baiklah, kalau kamu nggak bisa cerita nggak apa-apa. Tapi ingat ya, aku selalu ada buat kamu, ucapku berusaha menghiburnya.
Ia hanya tersenyum dan menatapku mendalam. Terimakasih Rasya. Terimakasih, ucapnya diiringi dengan jatuhnya bulir-bulir bening pada pipinya.
Yang penting kau bahagia, Dik. Bukankah kita akan menjadi sahabat selamanya?.
Untuk sahabat sejati selamanya, sahut Keisya sambil mengaitkan kelingkingnya pada kelingkingku. Tampak sebuah senyum tersungging di wajahnya. Ia tampak manis, meski aku tahu ia tengah membohongi dirinya sendiri dengan senyumnya yang penuh kegamangan saat ini.
****
Hari-hari muram buat Keisya telah berlalu. Dapat terlihat lagi auranya yang periang dan senyumnya yang menggoda. Dengan centilnya ia menghidupkan suasana di kelas kami. Mungkin, itu salah satu alasan mengapa aku rela menjadi sahabatnya.