1. Pengantar
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keragaman suku dan budaya yang sangat kaya. Berbagai suku bangsa itu memiliki cara yang beragam untuk mengekspresikan dirinya. Pada umumnya mereka diikat oleh satu identitas yang sama.Â
Melalui praktek kebudayaan yang ditampilkan, dapat ditemukan di dalamnya pemikiran-pemikiran filosofis dan teologis tradisional yang khas. Sering kali kedua unsur tersebut saling terkait dan tidak terpisahkan.
Simalungun merupakan salah satu suku Batak yang mendiami wilayah Sumatera Utara. Sebagai bagian dari suku Batak, Simalungun sedikit banyaknya memiliki kebiasaan, hukum, etika, tradisi yang mirip dengan suku Batak Toba dan Karo. Meskipun demikian, Simalungun tetap memiliki ciri khas yang unik bila dibandingkan dengan kedua suku yang lain.
Etika kehidupan orang Simalungun didasarkan pada paham kosmologi dan teologi tradisonal. Artinya, praktek hidup masyarakat Simalungun besar dipengaruhi oleh keyakinan tradisonal mereka. Justru hal itulah yang mendorong, memotivasi, "memaksa", mengikat orang-orang Simalungun untuk mampu melaksanakannya.Â
Dibalik aturan, etika, dan norma tersebut terdapat motivasi teologis, bahwa Naibata lah yang secara eksplisit menghendaki serta memerintahkan orang-orang Simalungun untuk setia melaksanakannya.
2. Halak Simalungun
Istilah halak dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan kata "orang" atau "sekelompok orang". Namun pengertian ini belum dapat menampung semua makna dalam terminologi itu. Dalam bahasa aslinya, istilah "halak" menunjuk pada "orang/pribadi" atau "sekelompok orang" dengan segala sifat dan karakter yang dimilikinya. Dengan demikian sebutan halak Simalungun bermakna orang Simalungun beserta tipe kepribadiannya.
3. Paham Kosmologi
 Sebelum mendalami tentang etika kehidupan orang Simalungun, penting terlebih dahulu memahami konsep kosmologinya. Secara eksplisit dalam paham kosmologi ini  terkandung pemikiran teologis tradisional orang Simalungun.
3.1 Kepercayaan Kepada Naibata
Dalam sistem kepercayaan orang Simalungun, langit, bumi, dan segala isinya diciptakan oleh ompung Naibata (Dewata). Naibata adalah realitas transenden yang diyakini sebagai Tuhan (dalam agama Kristen) dan sumber segala sesuatu. Ia menjadikan semuanya ada dan seluruh yang ada berasal daripadanya. Naibata digambarkan sebagai pribadi yang sangat berbeda dari manusia. Sebab itu, manusia tidak dapat kerkomunikasi dan berkontak secara langsung dengannya. Konsekuensinya, untuk sampai kepada Naibata, manusia membutuhkan sosok perantara.Â
Naibata diayakini sebagai sosok mahakuasa yang menciptakan segala sesuatu. Semua yang ada di dunia ini berasal dan dicipta olehnya. Naibata diyakini sebagai Tuhan yang maha adil. Ia mengganjar  manusia setimpal dengan perbuatannya. Orang yang baik akan diganjar dan orang yang jahat akan dihukum. Hukuman itu tidak hanya menimpa dirinya tetapi juga beserta keturunannya.Â
 3.2 Kepercayaan Kepada Dewa-Dewa (Roh)
Selain kepercayaan kepada Naibata, orang Simalungun juga mempercayai adanya dewa-dewa. Para dewa ini sering juga dianggap sebagai roh. Manusia membutuhkan para dewa untuk dapat berkomunikasi (perantara) kepada Naibata. Para dewa ini diyakini tinggal dan berada di dalam kekuatan dan fenomena alam. Kepercayaan ini identik dengan paham animisme.Â
Paham ini menyatakan bahwa setiap benda yang ada di bumi ini (kawasan tertentu (sinumbah), gua, pohon, batu besar, dll) memiliki jiwa yang mesti dihormati agar relasi manusia dengannya tetap harmonis. Hubungan yang baik tersebut secara langsung akan memberikan kebaikan bagi manusia yang menghormatinya. Sedangkan sikap tidak hormat dari pihak manusia akan membawa keburukan.Â
Halak Simalungun tidak hanya meyakini kehadiran roh leluhur (dewa) dalam fenomena alam tetapi juga mempercayai adanya tempat-tempat yang keramat. Tempat-tempat yang dianggap "suci" ini disebut sebagai sinumbah. Ketika berada di sinumbah, halak Simalungun harus bersikap sopan.Â
Hal itu dikarenakan roh yang mendiami sinumbah benci, marah, dan tidak menghendaki perilaku yang tidak tertib dan tidak sopan (tidak boleh pasul). Kekuatan superhuman ini dapat dibadakan menjadi dua yakni sinumbah dan sumbagot.Â
3.2.1 Sinumbah
Sinumbah adalah roh keramat yang dianggap hadir dan mendiami suatu tempat seperti kayu besar, batu besar, sungai, dll. Dalam kebiasaan halak Simalungun, tradisi penyembahan terhadap sinumbah dilakukan secara bersama-sama (komunal). Setiap anggota masyarakat dalam suatu wilayah terlibat dan ambil bagian di dalamnya.
3.2.2 Simagot
Simagot adalah roh nenek moyang yang telah meninggal. Sama seperti sinumbah, simagot diyakini memiliki kekuatan yang besar. Setiap orang Simalungun memiliki kewajiban untuk menghormati, memuliakan, dan menyembah roh leluhurnya. Keharusan ini mengikat semua halak Simalungun.Â
Hanya melalui perantaraan sinumbah dan simagot lah halak Simalungun dapat sampai kepada Naibata. Hal itu dimungkinkan karena keduanya tidak terikat oleh ruang dan waktu.  Berbeda dengan manusia yang tidak dapat dilepaskan dari kenyataan dunia empirik.Â
3.3 Kepercayaan Kepada Tonduy dan Begu-Begu
Selain meyakini sinumbah dan simagot, halak Simalungun juga percaya akan adanya tonduy dan begu-begu. Tonduy adalah roh yang ada dalam diri manusia semasa ia tinggal di dunia dan sekaligus menjadi prinsip kehidupan bagi tubuh. Tonduy memungkinkan tubuh manusia "bernyawa".Â
3.3.1 Tonduy
Dalam pemikiran ini terkandung paham dualisme. Tubuh manusia dibagi menjadi dua yakni tonduy dan badan. Tonduy digambarkan terpisah dan berbeda dari tubuh. Kesimpulan itu ditarik berdasarkan pada keyakinan halak Simalungun bahwa pada waktu tertentu tonduy dapat meninggalkan tubuh. Peristiwa itu dapat terjadi dalam rentang waktu yang singkat dan selamanya.
Ketika tonduy meninggalkan badan untuk sementara, maka manusia akan mengalami sakit. Agar dapat kembali pulih, tonduy yang pergi tersebut harus dipanggil kembali dengan bantuan seorang dukun atau tabib. Sedangkan ketika tonduy meninggalkan badan untuk selamanya maka manusia akan mati.
Dalam diri manusia, tinggal beberapa tonduy. Selain menjadi prinsip kehidupan, tonduy tersebut juga berfungsi sebagai penjaga, penuntun, dan pengendali hidup. Meskipun tonduy yang mendiami tubuh manusia lebih dari satu, semuanya tetap harmonis karena memiliki tugas dan tempat masing-masing dalam tubuh manusia. Adapun tonduy tersebut adalah si arahara, si iring-iring, si tandok, si alam dayang, si alam sahajar, si alam humilia, si rattiman, si guliman, si pamatang, dan si pabongot.
3.3.2 Begu-Begu
Begu-begu adalah roh manusia yang telah meninggal dalam keadaan yang tidak baik. Akibatnya roh tersebut gentayangan dan angker serta seringkali menggangu ketentraman hidup manusia. Hal itu sering dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk menghancurkan orang lain. Sebab begu-begu dapat "dipelihara" atau "dimiliki" oleh manusia.
Begu-begu diyakini hidup sendiri dan berkeloni. Sepertihalnya tonduy, begu-begu juga terdiri dari berbagai jenis. Dari antaranya begu si pitu saodoran (tujuh serangkai) adalah yang paling ditakuti. Disebut si pitu saodoran karena mereka senantiasa beriringan entah kemanapun pergi. Begu jenis ini dipercayai memiliki kekuatan yang luar biasa. Ketujuh begu tersebut adalah si golom ari, si sakkalayur hodong, si hotang na rapat, si sahap bujur, si sahap torbang, si sanjongkal dua jari, si ngobat pangonggor.
4. Paham Tentang Dunia
Halak Simalungun memahami dunia sebagai terpisah-pisah dan tidak utuh. Alam semesta terdiri dari tiga bagian. Ketiga bagian dunia itu disebut nagori atas, nagori tongah, dan nagori toruh.Â
Semua itu dengan segala isinya merupakan ciptaan Naibata. Nagori atas (dalam paham kekristenan disebut surga) adalah tempat tinggal Naibata. Nagori tongah yang disebut sebagai bumi merupakan tempat bermukimnya manusia. Sedangkan nagori toruh (dalam paham kekristenan disebut alam baka) ditempati oleh roh-roh manusia yang sudah meninggal (arwah), roh keramat, dan begu-begu.
Manusia yang berada di banua tongah, sepanjang hidupnya akan senantiasa dipengaruhi oleh kekuatan baik dari nagori atas maupun dari nagori toruh. Halak Simalungun selalu berada di tengah-tengah tegangan kedua kekuasaan itu. Bila seseorang lebih banyak dipengaruhi oleh daya dari nagori atas, maka ia akan menjadi manusia yang baik dan bahagia. Sebaliknya bila pribadi manusia lebih didominasi dan dikuasai oleh kekuasaan banua toruh, maka ia akan menjadi manusia yang jahat dan menderita.
5. Martogas
Martogas adalah ritual, kebiasaan, dan tradisi penyembahan terhadap roh nenek moyang (simagod). Kegiatan ini rutin dilakukan oleh keluarga-keluarga Simalungun dalam rumpun yang sama. Tujuan dari ritual ini adalah meminta nasehat atau petunjuk dari Naibata melalui perantaraan roh nenek moyang.
Semua anggota keluarga mulai dari anak, cucu, dan cicit berkumpul untuk memanggil roh nenek moyang. Hal itu dilaksanakan dengan makan bersama. Makanan yang dihidangkan adalah kesukaan nenek moyang. Ada tujuh jenis makanan yang biasa dipersembahkan kepada simogod yakni na nilompah, na pinanggang, na matah, na hinasumba, na nilomang, na nisalenggam, na niura.
Pada saat ritual terjadi, anggota keluarga mempersembahkan sesajen (galangan) untuk memanggil roh leluhur. Setelah peristiwa itu selesai, biasanya salah satu anggota keluarga yang hadir akan mengalami kesurupan. Hal itu diyakini sebagai tindakan roh luluhur yang masuk ke dalam tubuh manusia. Kehadiran roh leluhur dalam tubuh manusia menjadikan hilangnya kesadaran karena diambil alih oleh roh tersebut.
Melalui peristiwa tersebut, roh nenek moyang menyampaikan pesan, nasehat, teguran, peringatan kepada keturunannya. Nasehat tersebut diyakini berasal dari Naibata. Roh nenek moyang tersebut hanyalah perantara pesan dari Naibata kepada manusia. Berhadapan dengan nasehat tersebut halak Simalungun sangatlah taat dan tidak berani untuk membantah atau menyangkalnya.Â
Kesalahan dan kejahatan para keturunan roh tersebut akan terungkap sepenuhnya. Konsekuensinya bahwa kekurangan atau cacat cela itu akan diketahui semua orang yang hadir. Bagi mereka tidak ada tempat untuk menghindar, bersembunyi, atau berbohong untuk menutupi kesalahan.
Selain mengungkapkan kekurangan pada keturuannya, roh nenek moyang juga memberikan perintah. Bila ketetapan itu diabaikan maka akan mengakibatkan bencana atau malapetaka. Oleh karena itu, halak Simalungun tidak berani menipu, berdusta, dan berbuat jahat kepada orang lain.
Ketika mengalami penipuan, ketidakadilan, atau perlakuan yang tidak baik dari orang lain, halak Simalungun tidak boleh membalasnya. Halak Simalungun dilarang membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi cukup memberitahukannya kepada simagod (roh leluhur)-nya. Naibata atau simagod lah yang nantinya akan memberikan pembalasan yang setimbal bagi orang yang tidak berlaku adil tersebut.
Pemujaan ini biasanya diiringi oleh lantunan musik tradisional (gondrang). Alunan musiknya mendayu-dayu dan homi (hikmat). Suasana homi dipandang sebagai cara yang tepat, sopan, hormat dalam rangka menyambut roh-roh leluhur. Hanya dengan tindakan demikian roh simagod dan sinumbah berkenan datang.
6. Tortor (Tarian)
Selain martogos, halak Simalungun juga menggunakan tortor sebagai sarana untuk memanggil roh nenek moyang. Tujuan pemanggilan roh leluhur ini sama seperti dalam upacara martogos yakni meminta nasehat, berkat, dan peneguhan dari Naibata. Pada umumnya unsur-unsur yang terdapat dalam upacara ini sama seperti yang terdapat dalam martogos. Perbedaanya pada kegiatan ini pemanggilan roh nenek moyang dilakakukan dengan manortor sambil diiringi oleh bunyi gondrang. Dengan demikian roh leluhur akan datang ke dalam tubuh seseorang yang dijadikan sebagai pangiteian.
7. Habonaron Do Bona
Naibata adalah sosok Tuhan yang maha kuasa, maha adil, dan maha besar. Karena Naibata adalah maha adil, maka manusia juga dituntut untuk belaku hal yang sama yakni bersikap benar dalam setiap segi kehidupan. Oleh karena itu lahirlah suatu keyakinan filosofis "habonaron do bona". Secara hurufiah falsafah habonaron do bona berarti "kebenaran adalah dasar dari segala sesuatu". Segala sesuatu harus berlandaskan pada kebenaran. Kehidupan yang benar akan menguntungkan dan membahagiakan bagi semua orang. Dengan falsafah ini, halak Simalungun dituntut menjunjung tinggi kejujuran (kebenaran) di hadapan semua manusia. Falsafah habonaron do bona mengandung nilai-nilai luhur dan universal, yang berguna bagi kehidupan di dunia dan akhirat. Habonaron berarti kebenaran. Berbicara, berperilaku, berpikir, bekerja dengan benar adalah bona, dasar, dan pangkal etika hidup halak Simalungun. Bila sesuatu dilakukan dengan benar, maka niscaya hasilnya pun akan benar pula.
8.1 Cerita Mitologi Tentang Munculnya Falsafah Habonaron do Bona
Pada suatu ketika, kerajaan Nagur diserang oleh kerajaan Samidora (Samudra Sinai). Kerajaan Samidora menyerang dengan tujuan untuk menguasai dan menduduki wilayah kerajaan Nagur. Pertempuran sengit antara Sang Ma Jadi (putra mahkota kerajaan Nagur) dan putra mahkota kerajaan Samidora tidak terelakkan. Sang Ma Jadi berjuang untuk mempertahakan kedaulatan kerajaan Nagur.
Dalam pertempuran tersebut, Sang Ma Jadi dianggap sebagai pihak yang benar dan jujur. Maka Sang Ma Jadi dibantu oleh Naibata. Naibata mengirim burung Nanggordaha (burung Garuda) untuk menghentikan peperangan itu. Ketika peristiwa itu berlangsung, terdengarlah suara dari langit yang berseru sebanyak tiga kali "habonaron do bona", "habonaron do bona", "habonaron do bona".
Peringatan itu tidak diindahkan oleh putra mahkota Samidora. Nafsunya yang tinggi untuk menguasai kerajaan Nagur tidak terbendung lagi. Ia tidak peduli dengan apa pun selain menaklukan kerajaan Nagur. Oleh karena itu, burung Nanggordaha marah dan membunuh putra mahkota kerajaan Samidora. Kematian putra raja Samidora menandai berakhirnya peperagan itu. Setelah situasi kembali seperti semula, seruan habonaron do bona menjadi pedoman hidup di kerajaan Nagur.
8.2 Bijaksana dan Penuh kehati-hatian
Falsafah habonaron do bona mendasari dan meresapi seluruh kehidupan halak Simalungun. Nilai filosofis yang terdapat dalam falsafah ini meyentuh seluruh sendi kehidupan halak Simalungun. Dengan demikian segenap tingkah laku dan etika halak Simalungun harus menjungjung tinggi kebenaran. Nilai-nilai yang terdapat dalam pemikiran filosofis ini menjadi tujuan setiap halak Simalungun. Selain itu kebijaksanaan hidup dan kehati-hatian dalam bertindak sungguh ditekankan dalam filosofi ini. Tujuannya adalah agar tidak ada penyesalan di kemudian hari. Konsekuensinya halak Simalungun menjadi lambat dalam betindak. Segala sesuatu sebelum diputuskan harus didiskusikan terlebih dahulu. Akhirnya ada kecenderungan halak Simalungun lebih banyak berdiskusi daripada bertindak. Hal itu sangat tampak dalam pelaksanaan adat.
Sistem kekerabatan halak Simalungun dikenal sebagai tolu sahundulan dan lima saodoran. Dalam menentukan suatu keputusan ditentukan oleh kesepakatan dari tiga pihak keluarga. Ketiganya adalah suhut (pihak tuan rumah), tondong (pihak keluarga istri), dan boru (pihak keluarga suami). Dalam kasus yang lebih besar lingkup keluarga yang terlibat juga akan semakin banyak, yakni tondong ni tondong dan boru ni boru.
Hormat martondong, elek marboru, pakkei marsanina adalah relasi yang harus ada dalam ketiga status kekerabatan tersebut. Boru harus hormat kepada tondong (terutama tulang pamupus) serta tulang harus manganju dan elek terhadap panagolannya. Sistem kekerabatan tolu sahundulan, lima saodoran ditimba dan bersumber dari falsafah habonaron do bona. Artinya semangat yang mendorong halak Simalungun untuk setia dan mampu melaksanakan etika hidup tersebut adalah falsafah habonaron do bona yang dianggap merupakan kehendak Naibata. Maka secara tidak langsung perintah tersebut adalah keinginan Naibata sehingga harus diamalkan.
Dalam pesta adat, sikap hormat martondong salah satunya diungkapkan dengan tortor sombah. Awalnya tarian ini dipersembahkan oleh rakyat sebagai bentuk penghormatan, sujud, dan janji setia kepada raja. Tortor somba dialamatkan kepada tondong karena mereka dianggap sebagai naibata na taridah (tuhan yang kelihatan). Sebagai naibata na taridah, tondong menjadi mediator penyampaian pasupasu (berkat) Naibata kepada boru.
Dalam tortor Simalungun, bila telapak tangan kiri menghadap ke atas maka telapak tangan kanan selalu menghadap ke bawah; bila telapak tangan kiri menghadap ke wajah maka telapak tangan kanan membelakangi wajah. Gerakan ini menyimbolkan keseimbangan hidup yang harus dimiliki oleh setiap orang. Ada perasaan sepenanggungan dan saling membantu. Manusia tidak boleh hanya menerima tetapi juga harus memberi.
8.3. Tujuh Makna Falsafah Habonaron do Bona
8.3.1 Berpandangan Yang Benar
Halak Simalungun diajarakan untuk teguh berpandangan yang benar. Niat jahat tidak boleh menguasai hati manusia. Keinginan untuk mencari kesalahan orang lain harus dihilangkan. Saling mempersalahkan adalah perilaku yang tidak membangun dalam hidup bersama. Hidup yang harmonis dan damai adalah cita-cita setiap halak Simalungun.
Halak Simalungun tidak suka membebani hidup orang lain (ulang songon borong, hombar manliliti). Hidup harus senantiasa bermakna dan berguna bagi sesama (ulang songon  rintagtag na manektek bani unong). Hal itu bisa terjadi jika manusia memiliki pandangan yang objektif tentang orang lain. Tidak hanya mempokuskan diri pada kelemahan dan melupakan segala kebaikan (ulang songon na mamilih tobu manorihi turiakni). Mengalah bukanlah hal yang buruk. Jika setiap orang saling mementingkan egonya, maka akan terjadi kehancuran (ulang songon balang na iparsaokan).
8.3.2 Memiliki Niat Yang Benar
Falsafah habonaron do bona mengajarkan halak Simalungun untuk tidak menjadi pribadi yang profokatif dan hidup tanpa aturan. Setiap rencana harus diperhitungkan dengan baik. Sikap profokatif hanyalah akan membawa konflik dan pertentangan yang menggangu keharmonisan serta kenyamanan bersama. Buru-buru adalah sikap yang tidak bijaksana sebab minim pertimbangan.
Setiap orang memiliki kelemahan dan kesalahan. Sebagai pribadi yang menjungjung nilai-nilai kebenaran, setiap orang tidak boleh menipu dan memojokkan seseorang karena kesalahannya (ulang songon anduhur roba molo mangagaki). Dimanapun halak Simalungun berada dia harus senantiasa membawa kesatuan dan bukan perpecahan (ulang songon sibolah suyu).Â
Hidup juga perlu ditata dengan baik (ulang songon partolurni dayok ajar-ajar) agar tidak hacur dan merugikan (ulang songon partiga-tiga sipahunjang). Setiap orang harus mampu mengatur diri dan keinginannya. Segala sesuatu yang berlebihan adalah buruk. Oleh karena itu hidup yang baik adalah sesuai dengan kapasitas dan porsinya (ulang songon sialis sanggar).
8.3.3 Berbicara Yang Benar
Halak Simalungun sangat menjungjung tinggi kejujuran dan kebenaran. Berbohong tidak hanya merugikan orang lain melainkan juga diri sendiri. Semakin seseorang banyak berbicara, maka semakin besar pula kemungkinan baginya untuk tidak mengatakan yang benar. Perlu kehati-hatian dalam menyampaikan informasi. Agar kesalahan semakin diminimalisir, halak Simalungun tidak boleh terlalu banyak berbicara, terlebih jika kebenarannya tidak dapat dipastikan.
Sebelum mengungkapkan sesuatu, seseorang harus memikirkanya secara cermat terlebih dahulu. Jangan sampai perkataanya menjerumuskan dirinya sendiri (ulang songon ganjou manusuk hu tontonni). Untuk itu halak Simalungun dihimbau untuk menahan diri untuk berbicara hal yang tidak penting dan perlu (ulang songon tahul-tahul parlobei bibir). Berbicaralah sesuai dengan kemampuan dan kapasitas masing-masing (ulang songon salung marbarita bani ansubah). Pembicaraan yang tidak berguna akan dilupakan orang (ulang songon  manggatgat goyong-goyong, bueinan sibursikkonon). Semakin banyak seseorang berbicara, semakin banyak pula ia mengungkapkan kelemahan dan kekurangannya (ulang songon gung na bolah patarisahkon ugahni).
8.3.4 Bertindak dan Bekerja Yang Benar
Menunda keputusan dan pekerjaan yang baik merupakan perbuatan yang tercela. Hidup seseorang haruslah benar. Perilaku yang tampak jauh lebih berguna daripada kata-kata yang baik. Nasehat yang bijaksana tidak akan berguna jika seseorang tidak mengamalkannya dalam hidupnya (ulang songon pansur na tading limut). Bekerja tidak cukup hanya semangat dan keinginan, tetapi juga dibarengi dengan kemampuan. Keingginan dan semangat untuk bertindak  jika tidak diimbangi dengan kealehan akan menjadi sia-sia (ulang songon pandihar na mulak hu bani buluh). Setiap perbuatan harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dan total. Tekad yang kuat dan perhitungan yang akurat sangat dibutuhkan (ulang songon pangultop ni si darendan). Hal-hal bodoh yang dapat merugikan diri sendiri harus dielakkan (ulang songon parponop ni tanggiling). Setiap pekerjaan baik yang dilakukan tidak perlu diwartakan. Terlebih jika berita tersebut jauh melebihi kenyataan yang ada (ulang songon barita dongkei gajah, barita mangur-angur balanga lang isian).
Setiap pekerjaan harus diselesaikan sampai akhir (ulang mandosari dob konsi lusut). Tugas-tugas dikerjakan sesuai arah dan rencana yang sudah ditentukan. Jangan menjadi orang yang sok sibuk, tetapi tidak jelas arah dan hasil pekerjaanya (ulang songon lutu-lutu lumajang). Rencana yang baik tidak akan berguna jika hanya dalam agan-agan (ulang songon tampua tunggal, molo manrube-rube mahol marsidobi).
8.3.5 Hidup Dengan Benar
Hidup harus benar agar disenangi dan tidak disingkirkan orang lain. Hidup menjadi baik jika setiap orang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya (ulang songon tanggiang na hapuluan) serta tidak merugikan sesama disekitarnya (ulang songon mandimpakkon tatadu). Penting untuk selalu mengingat kebaikan dan jasa orang lain (ulang songon manramotkon tanja na tading). Hidup yang tidak berkembang adalah hidup yang tidak bermakna. Status hidup anak harus lebih baik dari derajat hidup orangtuanya (ulang songon goluhni simarunap-unap). Setiap orang harus berlomba untuk menjadi baik dan maju (ulang songon halto marluma marurus hutoruh).
Daripada memaksa orang lain, halak Simalungun memilih untuk lebih menyesuaikan diri dengan mereka. Berhadapan dengan budaya atau suku yang berbeda,  halak Simalungun tidak teguh dalam mempertahankan identitasnya. Demi menyenangkan orang lain dan hidup dengan tenteram halak Simalungun sangat toleran dan bahkan terkesan mengalah. Sikap tersebut disebut sebagai ahap Simalungun.  Ahap adalah perasaan sepenanggunan dan seperjuangan (sada parmuluan). Meskipun tidak diucapkan, halak Simalungun sudah saling memahami dan berpihak satu sama lain.
8.3.6 Berprinsip Yang Benar
Falsafah habonaron do bona menanamkan dalam diri halak Simalungun prinsip hidup yang benar, pendirian yang teguh, dan idealisme yang positif. Sehingga mereka tidak mudah dipengaruhi oleh hal-hal yang tidak baik. Kehati-hatian senantiasa harus dipegang agar tidak mengulangi kesalahan yang sama (ulang songon baliang mangulaki utah-utahni). Halak Simalungun senantiasa berusaha untuk mencapai punjak kejayaan (ulang songon na mangangkih palia gunung, mulak singgan gutulni). Bagaimanapun keadaanya, hidup senantia harus disyukuri (ulang mindat songon balbahul loging). Jangan karena menginginkan hasil yang besar, seseorang melupakan hal yang sederhana (ulang homa mangayak gojarni hape tektekni pe maluah). Halak Simalungun harus rendah hati, jangan merasa mengatahui segalanya. Bertindaklah sesuai dengan kemampuan diri (ulang pajuntal-juntal songon mata ni balang).
8.3.7 Berpikir Yang Benar
Halak Simalungun diajarakan untuk senantiasa memperhatikan perasaan orang lain. Mereka tidak boleh bertindak semena-mena dan mementingkan diri sendiri dengan segala keinginannya (ulang songon putor narotap, marsitohu gumeini bei). Setiap orang harus mampu bekerjasama dengan orang lain. Hal itu dapat terjadi jika setiap orang tidak menganggap hanya dirinya yang benar (ulang songon jagul siarang, saor palegan legan). Dalam bergaul, halak Simalungun harus pandai membuka diri dan tidak berbelit-belit (ulang songon parhulit ni hosaya, hulit marlapis hulit). Pribadi yang sederhana dan tampil apa adanya lebih terpuji daripada orang yang tampil hebat tetapi aslinya kacau (ulang songon tatapan dolok).
8.4 Relief Motif Ukir Rumah Adat
Nilai-nilai filosofis yang terdapat dalam falsafah habonaron do bona tersebut diungkapkan dan disimbolkan dalam relif motif pada rumah adat tradisional Simalungun. Warna yang digunakan dalam seni ukir ini ada tiga yakni putih sebagai lambang kesucian dan ketaatan kepada Naibata, merah sebagai lambang keberanian dan semangat yang bernyala, dan hitam sebagai warna ketabahan. Motif ukir tersebut mengandung nilai-nilai sakral yakni lambang kekuatan dan penanggalan roh-roh jahat. Setiap bentuk memiliki arti, fungsi dan makna yang berbeda-beda. Dari relief ini dapat diketahui hubungan yang harmonis antara halak Simalungun dan alam.
Pinar Suleppat adalah motif ukir tangan yang saling menggenggam. Motif ini menggambarkan persatuan, kesatuan, dan saling terkait satu sama lain. Persatuan itu menghasilkan kekuatan, keselarahan, dan keharmonisan dalam kehidupan. Pinar Hambing melambangkan kambing yang sedang beradu. Maksudnya adalah dalam menghadapi tantangan halak Simalungun harus tetap menuruti aturan dan hukum. Pinar gatip-gatip mengambarkan bentuk ular berbisa untuk menekankan kehati-hatian dalam menjalankan hidup. Pinar Bulungni Andudur mengambarkan daun Andudur untuk senantiasa setia pada janji dan keputusan yang telah disepakati. Pinar pahupahu patundal menggambarkan pucuk pokon pakis yang saling bertolak belakang untuk mengajarkan meskipun berbeda ide tetapi harus tetap satu tujuan. Pinar Sirangrang mengambarkan bentuk semut merah yang ganas untuk melambangkan sikap waspada, hati-hati, dan tidak lengah. Pinar jombut Uwou mengambarkan bulu burung merak yang indah untuk melambangkan sikap hormat bagi mereka yang pantas memperolehnya. Pinar porkis manakkih bakkar mengambarkan semut yang berjalan beriringiringan untuk melambangkan sikap keteraturan, keserasian, dan kerajinan. Pinar appulappul mengambarkan kupu-kupu sedang mengepalkan sayapnya untuk melambangkan sikap pentingnya tujuan, keserasian, dan sinergi dalam membuat perencanaan.
9. Bersumpah
Bagi halak Simalungun, kejujuran dan kebenaran adalah nilai yang sangat dijunjung tinggi. Setiap orang akan berusaha mengamalkannya dengan sekuat tenaga. Halak Simalungun akan mengangkat sumpah (marbija) ketika dituduh bertindak tidak jujur dan baik. Sumpah dilakukan dengan mempertaruhkan miliknya yang sangat berharga. Itu lah bukti bahwa halak Simalungun sungguh menghargai kejujuran. Mereka tidak ingin dipandang kurang baik oleh orang lain.Â
10. Si Pittor Bilang (Karma)
Halak Simalungun sangat meyakini kebenaran karma. Setiap orang akan memperoleh balasan dari setiap perbuatannya. Didasarkan pada kepercayaan itu, halak Simalungun selalu yakin bahwa kebenaran akan selalu menang atas ketidakjujuran. Dalam istilah Simalungun, karma memiliki makna yang sama dengan pitor Bilang. Pitor Bilang adalah suatu paham yang menyatakan bahwa orang yang hidup dan berlaku jujur akan dibela Naibata dan orang berdusta akan memperoleh balasannya. Kejahatan tidak perlu dibalas dengan kejahatan. Pembalasan itu adalah kuasa dan tugas Naibata. Naibata sendirilah yang akan membalas dan menghukum orang yang bersalah tersebut. Maka, ketika halak Simalungun memperoleh ketidakadilan, mereka tidak akan terburu-buru melakukan pembalasan. Daripada berbuat hal yang sama, halak Simalungun memilih diam dan tidak mau berkonflik. Naibata adalah adil dan akan menghukum setiap orang sesuai dengan perbuatannya. Orang yang menanam kebaikan akan menuai kebaikan pula. Sedangkan orang yang menanam keburukan akan menghasilkan keburukan juga.
11. Dayok na Binatur
Dayok na Binatur adalah makanan khas halak Simalungun yang senantiasa digunakan dalam acara adat. Bagi halak Simalungun, ayam memiliki makna yang lebih dibandingkan dengan jenis hewan lainnya. Ayam memiliki tiga keistimewaan sehingga dijadikan sarana dalam adat. Ketika mengerami telurnya ayam rela menahan diri untuk tidak makan. Ayam juga akan senantiasa melindungi anak-anaknya dalam sayapnya dan pada jam yang sama selalu berkokok tanpa mengenal hari dan musim.
Penggunaan ayam dalam sarana adat hendak menggambarkan keeratan hubungan kekeluargaan yang ada dalam masyarakat Simalungun. Untuk itu segala sesuatu harus dibicarakan secara kekeluargaan. Setiap orang bertanggungjawab terhadap anggota yang lain serta selalu berhati-hati dalam bertindak. Kesalahan yang dilakukan akan berpengaruh terhadap kesatuan kelompok. Konsekuensinya halak Simalungun menjadi orang yang kaku, lamban, dan kurang berani mengambil keputusan serta resiko. Seperti  halnya ayam, halak Simalungun selalu melindungi dan berkorban bagi anak-anaknya. Namun terkadang perhatian itu telalu berlebihan sehingga menimbulkan efek yang kurang baik. Anak menjadi tidak mandiri dan kurang mampu bersaing dengan orang disekitarnya. Tidak heran jika halak Simalungun lebih suka tinggal dikampung daripada merantau.
12. Penutup
Paham kosmologi halak Simalungun menyatu dalam konsep religinya. Dunia dibagi menjadi tiga yakni nagori atas sebagai tempat bermukimnya Naibata, nagori tongah tempat manusia hidup, dan nagori toruh tempat roh-roh hidup. Manusia yang hidup di banua tongah senantiasa dipengaruhi oleh dua kekuatan dari nagori atas dan nagori toruh. Jika manusia lebih condong ke nagori atas maka hidupnya akan menjadi baik dan sebaliknya.
Naibata merupakan Tuhan yang bijaksana dan adil, yang menghukum manusia seturut perbuatannya. Namun untuk dapat berkomunikasi dengan Naibata, manusia membutuhkan perantara. Untuk itulah manusia membutuhkan sumagot dan sinumbah. Melalui sumagot dan sinumbah, Naibata menyampaikan nasehat dan berkatnya kepada manusia. Untuk memanggil roh-roh tersebut manusia melakukan upacara pemujaan roh nenek moyang. Kegiatan itu dilakukan dengan makan bersama dan tortor.Â
Selain menyampaikan nasehat, berkat, roh-roh nenek moyang tersebut juga akan memberitahu dan mengungkapkan segala kejahatan pada keturunannya. Oleh karena itulah, halak Simalungun tidak ingin berbohong dan selalu ingin hidup baik serta jujur.
Naibata yang adil, jujur, dan benar menginginkan manusia berlaku hal yang sama. Untuk itu melalui cerita pertempuran antara Sang Ma Jadi (putra mahkota kerajaan Nagur) dan putra mahkota kerajaan Samidora, Sang Ma Jadi, Naibata melalui perantaraan Nanggordaha (burung Garuda), Naibata menyerukan "habonaron do bona".Â
Dengan seruan itu halak Simalungun diminta diharapkan agar berpandangan yang benar, memiliki niat yang benar, berbicara yang benar, bertindak yang benar, berprinsip yang benar, berpikir yang benar, dan hidup dengan benar. Sejak saat itu nilai kehidupan itu senantiasa diajarkan dan diwariskan kepada setiap generasi.
Falsafah habonaron do bona meresap ke dalam diri halak Simalungun dan secara tidak langsung membentuk kepribadian dan sifat-sifatnya. Orang Simalungun dituntut untuk menjungjung tinggi nilai-nilai kebenaran.Â
Kebanaran itu menuntut sikap ke hati-hatian. Akibatnya mereka sering hanya berhenti pada taraf ide dan kurang dalam pelaksanaan. Niat untuk mencoba hal yang baru kurang. Orientasi lebih diletakkan pada kesulitan daripada peluang. Tantangan itu mengurungkan niat untuk berusaha menjadi yang terbaik. Sikap kehati-hatian itu membuat mereka takut untuk berbuat kesalahan.
Karena diajarkan untuk tidak membalas kejahatan orang lain, membuat halak Simalungun menjadi pribadi yang pasrah pada keadaan. Mereka cenderung menyimpan segala permasalahan dalam hatinya sehingga sering kali menimbulkan sakit hati dan ketersinggungan. Mereka eggan untuk mengatakan isi hatinya kerana takut merusak relasi dengan orang lain. Lebih baik diam daripada mengungkapkan sesuatu yang tidak berkenan di hati.
Sikap kehati-hatian itu tidak hanya untuk diri sendiri tetapi juga dikenakan bagi orang lain. Halak Simalungun bukanlah orang yang mudah percaya pada perkataan orang lain. Mereka sungguh cermat menganalisa kebenaran di dalamnya.Â
Sebelum melihat buktinya, orang Simalungun sulit untuk percaya sepenuhnya. Mereka kuat menyimpan rahasia sebab tidak mudah percaya kepada orang lain. Karena itu pula kurang peduli dan tangap dengan orang lain. Situasi ini sering kali dimanfaatkan orang lain untuk menguasai mereka.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H