Ketika mengalami penipuan, ketidakadilan, atau perlakuan yang tidak baik dari orang lain, halak Simalungun tidak boleh membalasnya. Halak Simalungun dilarang membalas kejahatan dengan kejahatan, tetapi cukup memberitahukannya kepada simagod (roh leluhur)-nya. Naibata atau simagod lah yang nantinya akan memberikan pembalasan yang setimbal bagi orang yang tidak berlaku adil tersebut.
Pemujaan ini biasanya diiringi oleh lantunan musik tradisional (gondrang). Alunan musiknya mendayu-dayu dan homi (hikmat). Suasana homi dipandang sebagai cara yang tepat, sopan, hormat dalam rangka menyambut roh-roh leluhur. Hanya dengan tindakan demikian roh simagod dan sinumbah berkenan datang.
6. Tortor (Tarian)
Selain martogos, halak Simalungun juga menggunakan tortor sebagai sarana untuk memanggil roh nenek moyang. Tujuan pemanggilan roh leluhur ini sama seperti dalam upacara martogos yakni meminta nasehat, berkat, dan peneguhan dari Naibata. Pada umumnya unsur-unsur yang terdapat dalam upacara ini sama seperti yang terdapat dalam martogos. Perbedaanya pada kegiatan ini pemanggilan roh nenek moyang dilakakukan dengan manortor sambil diiringi oleh bunyi gondrang. Dengan demikian roh leluhur akan datang ke dalam tubuh seseorang yang dijadikan sebagai pangiteian.
7. Habonaron Do Bona
Naibata adalah sosok Tuhan yang maha kuasa, maha adil, dan maha besar. Karena Naibata adalah maha adil, maka manusia juga dituntut untuk belaku hal yang sama yakni bersikap benar dalam setiap segi kehidupan. Oleh karena itu lahirlah suatu keyakinan filosofis "habonaron do bona". Secara hurufiah falsafah habonaron do bona berarti "kebenaran adalah dasar dari segala sesuatu". Segala sesuatu harus berlandaskan pada kebenaran. Kehidupan yang benar akan menguntungkan dan membahagiakan bagi semua orang. Dengan falsafah ini, halak Simalungun dituntut menjunjung tinggi kejujuran (kebenaran) di hadapan semua manusia. Falsafah habonaron do bona mengandung nilai-nilai luhur dan universal, yang berguna bagi kehidupan di dunia dan akhirat. Habonaron berarti kebenaran. Berbicara, berperilaku, berpikir, bekerja dengan benar adalah bona, dasar, dan pangkal etika hidup halak Simalungun. Bila sesuatu dilakukan dengan benar, maka niscaya hasilnya pun akan benar pula.
8.1 Cerita Mitologi Tentang Munculnya Falsafah Habonaron do Bona
Pada suatu ketika, kerajaan Nagur diserang oleh kerajaan Samidora (Samudra Sinai). Kerajaan Samidora menyerang dengan tujuan untuk menguasai dan menduduki wilayah kerajaan Nagur. Pertempuran sengit antara Sang Ma Jadi (putra mahkota kerajaan Nagur) dan putra mahkota kerajaan Samidora tidak terelakkan. Sang Ma Jadi berjuang untuk mempertahakan kedaulatan kerajaan Nagur.
Dalam pertempuran tersebut, Sang Ma Jadi dianggap sebagai pihak yang benar dan jujur. Maka Sang Ma Jadi dibantu oleh Naibata. Naibata mengirim burung Nanggordaha (burung Garuda) untuk menghentikan peperangan itu. Ketika peristiwa itu berlangsung, terdengarlah suara dari langit yang berseru sebanyak tiga kali "habonaron do bona", "habonaron do bona", "habonaron do bona".
Peringatan itu tidak diindahkan oleh putra mahkota Samidora. Nafsunya yang tinggi untuk menguasai kerajaan Nagur tidak terbendung lagi. Ia tidak peduli dengan apa pun selain menaklukan kerajaan Nagur. Oleh karena itu, burung Nanggordaha marah dan membunuh putra mahkota kerajaan Samidora. Kematian putra raja Samidora menandai berakhirnya peperagan itu. Setelah situasi kembali seperti semula, seruan habonaron do bona menjadi pedoman hidup di kerajaan Nagur.
8.2 Bijaksana dan Penuh kehati-hatian