Mohon tunggu...
Taufiqillah Al-Mufti
Taufiqillah Al-Mufti Mohon Tunggu... -

Jl. Jonggring Saloko, Madukoro, Semarang Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Geger Desa

27 Juli 2016   09:03 Diperbarui: 28 Juli 2016   04:37 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: jokowidiary.blogspot.com

“Tidak, aku tidak siap mbah, sampian lebih layak.”

Nak,aku sudah tua renta. Aku dan Suminyem tidak mungkin mengurusi desa lagi. Aku sudah agak pikun untuk mengingat-ingat. Tubuhku juga tidak sekuat seperti kamu. Kalau warga Tunggak (tetap) memilih aku. Maka aku tidak akan lama memimpin. Dan selanjutnya kuminta secara pribadi mengharap kamu jadi kepala desa.”

“Tapi aku masih muda mbah. Masih ada yang lebih sepuh. Bukankah itu melanggar adat desa Tunggak, dan masih berlaku.”

Nak,kau tahu aku siapa?.”

“Sesepuh desa.”

“Aku yang memintamu maju nak,jika sudah ada permintaan seperti ini, adat itu runtuh. Adanya adat itu karena orang tua juga tidak mau dilangkahi dan diungguli oleh yang muda. Itu kepentingan orang tua untuk mengukuhkan posisi kedewaannya nak. Perlu kau ketahui, dulu aku juga seperti kamu. Malah aku berkeinginan maju sebagai kepala desa.

Aku menganggap pada saat itu, orang tua cenderung bodoh dan korup. Aku tidak bisa membiarkan itu. Maaf aku keluarkan bahasa kasarku,” Yanto mengangguk, tapi Suminyem mulai mencemaskan cucunya, “Suminyem kau dorong dan dampingi cucumu. NakYanto, aku dan Suminyem sudah tinggal menunggu ajal. Dan sebelum ajal kami, kami ingin merubah tatanan desa Tunggak ini lebih adil. Paham nak?”

“Tapi mbah. Aku benar-benar terkejut dengan pernyataan mbah.”Pandangan Yanto menyapu Sanikem dan Suminyem. Melihat ekspresi cemas Suminyem, Yanto meminta arahan. “Gimana mbah nyem?”

“Kau calon orang besar nak. Sudah selayaknya kamu mendapat tempat....” Belum sempat diteruskan Yanto mendekap erat Suminyem. Dan terhisak. Melihat sepasang kakek dan cucu itu, membuat Sanikem ingin turut terhisak. Sebentar kemudian dilepaskan,

“Bagaimana nak Yanto?”

“Aku siap” Yanto memandang Sanikem dan Suminyem secara bergantian. Suminyem tetap saja memasang wajah cemas.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun