Di luar terdengar ada langkah kaki dan sekilas ada bayangan terlintas ke dalam rumah. Lamat-lamat Yanto melirik ke belakang. Dan diputar seketika letak arah tubuhnya, sayang, yang dicari kabur (atau sembunyi) dari pandangan.
“Ada apa nak, aku kaget.”
“Kelihatannya, rumah kita dimata-matai mbah. Sampian tenang saja ya mbah.”
“Baik, nak.”
Semua pintu ditutup, jendela termasuk gorden dihijab rapat. Sementara, begini saja, keadaan rumah terasa aman. Minimal tak bisa diawasi dari luar.
(9)
Aksi-aksi bejat Ki Jarot dimulai. Kali ini pergerakan tentara yang menyerupai preman desa itu lebih samar, lebih halus. Dipilih mereka waktu malam, di saat para warga terlelap. Pergerakan preman palsu itu hanya ingin mengorek informasi, siapa dalang dari semua ini. Jelas mereka melakukan ancaman dan intimidasi kepada warga Tunggak yang tidak berbicara.
Sebagian warga membongkarnya. Mereka ketakutan. Esoknya mereka meminta maaf kepada Yanto atas kekhilafan mereka. Dan Yanto memaklumi, pun dirinya sudah siap lahir batin atas segala konsekuen yang bakal diterimanya. Termasuk konsekuensi keamanan bahkan nyawanya sendiri. Lahir batin demi revolusi.
Dari warga Tunggak itu, Yanto tahu Ki Jarot sedang masuk dalam pemeriksaan oleh kepolisian Grobogan (setingkat kabupaten). Dari situ saja Yanto tahu, kejahatan Ki Jarot tidaklah sembarangan. Rezim Pak Harto yang korup, mestinya bakal ditiru oleh kaki tangannya, dan tentu kejahatan mereka dilindung, asal tetap dalam ‘lingkaran setan’ Pak Harto. Tapi kalau sampai diciduk, entah Pak Harto atau orang di bawah Pak Harto tapi masih di atas Ki Jarot merasa dikhianati atau kejahatan Ki Jarot memang tidak bisa diampuni. Atau Ki Jarot sendiri adalah sebatas ‘tumbal’.
Analisa Yanto masih sebatas duga sangka, belum valid seratuspersen. Hanya ia teringat tentang pembantaian para lelaki bertato oleh aparat keamanan, padahal sebelumnya mereka berpihak kepada Pak Harto, apalagi saat kampanye partai Islam, P3. Wajar, ia seorang lulusan Sekolah Dasar. Jadi, apakah Ki Jarot sebatas tumbal Pak Harto? Bisik dalam hatinya.
Dalam waktu sepekan, rumahnya selalu ada yang mengintai. Seandainya gerakan Yanto terbukti terang dan ada bukti fisik atau sekedar pengakuan saksi, Yanto bisa dihabisi. Sayang sekali, warga Tunggak tidak ada yang mau menumbalkan (mencundangi diri) menjadi saksi. Warga Tunggak memang bodoh dalam teori dan ilmu pengetahuan, tapi jika berkenaan moral, mereka kukuh. Baginya, warga Tunggak, tempo hari, yang membocorkan keterlibatannya, ia anggap tidak tuntas terdidik sebagai warga Tunggak, seasli-aslinya.
Pada waktu mendapat kepastian rumah mereka terbebas dari pengintaian. Yanto dan Suminyem bergegas ke rumah Sanikem, untuk menyusun lagi rencana-rencana gerakan. Sekaligus mempertemukan Yanto dengan Sanikem, ia belum pernah bertemu empat mata seperti saat yang dituju ini. Terlebih posisi Yanto yang akan didorong oleh Sanikem menjadi kepala desa.