Mohon tunggu...
Taufiqillah Al-Mufti
Taufiqillah Al-Mufti Mohon Tunggu... -

Jl. Jonggring Saloko, Madukoro, Semarang Barat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Geger Desa

27 Juli 2016   09:03 Diperbarui: 28 Juli 2016   04:37 73
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: jokowidiary.blogspot.com

Di depan, gedung pengadilan nampak dijaga ketat oleh para aparat dan pamong praja. Tentara tak hadir, barangkali menjadi saksi. Yanto meminta sahabat-sahabatnya tidak jauh-jauh dari gedung pengadilan. Ia dan satu sahabatnya, Munir, untuk menemaninya ke gedung pengadilan. Melihat orang-orang di sekitaran gedung hilir-mudik, keluar-masuk ruangan, menerbitkan pengertian bahwa gedung pengadilan bebas dimasuki. Sebuah kesimpulan yang sederhana sekali bagi orang berlatar pedesaan yang awam berhadapan hukum dan pengadilan.

Gerombolan Yanto sudah siap meringsek ke gedung pengadilan. Para aparat dengan pentung, memberondong pukulan. Yanto dengan terengah-engah mendorong barisan sahabatnya dan barisan aparat. Keraskeras ia bersuara, kenapa musti dihadang, bahwa jelas bebas keluar-masuk. Yanto menuding ke arah pintu.

“Tidak, ini perintah. Apapun yang mencurigakan, baik orang asing, dilarang masuk!” Bentak salah seorang aparat, sepertinya pemimpinnya.

“Kata siapa asing? Kami warga desa Tunggak adalah korban dari kejahatan Ki Jarot, menolak tunduk.” Salah seorang pemudi, sahabat Yanto, lantang menyanggah.

“Dengarkan! Dengarkan! Wanita bicara, hargai!” Seluruh sahabat Yanto berseru-seru serempak.

Walau dapat menjebol barisan aparat. Tapi sahabat Yanto memilih di luar gedung, setelah mendengar putusan dan ketokan palu ketua hakim bahwa pengadilan bersifat tertutup. Sahabat Yanto memilih bersikap kooperatif. Yanto menduga, ketua hakim telah dibisiki oleh sekitaran orang-orang yang berkepentingan, entah dari pihak Ki Jarot atau pihak mana, yang jelas setelah mengetahui ada keriuhan di luar gedung, suasana pengadilan nampak berubah, eksklusif.

Berjam-jam mereka menunggu. Tak sedikitpun suara dari proses pengadilan menyasar ke  telinga mereka. Yanto memerintahkan seorang sahabatnya yang kelihatan sangat muda, lima belas tahunan umurnya, untuk menyusup. Ia diperintahkan untuk mengaku sebagai cucu dari Ki Jarot. Jika ingin dibuktikan, anak itu sudah faham betul wajah-wajah saudara Ki Jarot. Nantinya akan dituding-tuding kalau itu saudaranya. Dan jika nanti ada ketidakberesan, semisal: bebas dari vonis apapun maka segera keluarlah.

Belum ada sejam, anak itu kembali ke gerombolan sahabat Yanto. Ia mengatakan, bahwa hal yang dianggap beres itu terjadi:

“Tidak beres gimana, jelaskan?” Yanto menetak.

“Ki Jarot bebas dari vonis.”

Gerombolan sahabat Yanto sekali lagi, menggeruduk gedung pengadilan. Laras panjang para aparat sudah siap menyasar ke ketengkorak sahabat Yanto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
  16. 16
  17. 17
  18. 18
  19. 19
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun