“Kokdiam saja Mbah?,” Yanto, memperhatikan Mbahnya yang membisu, sesekali menggoncang-goncang tubuh rentanya. “Mbah dengarkan aku tho, Tunggak Mbah, Tunggak Mbah,desa sampian kerampok maling, maling-maling berpici dan berdasi”.
“Husy! Dijaga ucapanmu nak, ndak baik berucap begitu. Mengumbar aib seseorang yang belum kentara buktinya,” Sekarang Mbah Sumiyem masuk lagi ke dunia nyata, yang kekinian, menetak cucunya yang mulai kurang ajar. “Tingkahmu, kok jadi kasar begini tho, nak”. Ia mendeham dan mengambil nafas, besarbesar.
“Habisnya Mbah, sampian mbisu”.
“Aku masih berfikir, nak, sabar”.
“Lalu? sebentar lagi BBM mau dinaikan sama Pak Harto, mesti harga bahan di pasaran naik juga. Tunggak wis ambruk mbah. Bagaimana kuat beli-beli barang yang serba naik”. Yanto menghening sejenak, “Mbah piye tho, sampian takut sama Babinsa mbah, "Intrik Yanto
“Nak, jaga bicaramu! Sekali lagi. Aku sikberfikir, sabar”.
“Mbah, Mbah... ”Lalu beranjak lah Yanto, tak sabar menunggu-nunggu keputusan Mbah Sumiyem, dan diambillah capil dan mengayuh sepeda yang teratasi wadah. Hari sudah semakin panas, matahari kian memuncak, tak ada waktu berlama untuk ke sawah.
(3)
Sumiyem lari tergopoh-gopoh, rasanya baru kemarin ia muda dan sekarang tua, badannya berat tak kuat dijinjing. Dengan suara sekencang-kencangnya, tapi itu bayanganSumiyem (belaka), kenyataannya yang keluar: parau. Memanggil-manggil cucunya, kemarahan cucunya bisa-bisa membuatnya tidak nyaman di rumah, ia hanya hidup berduaan dengan cucunya: Yanto. Ia harus berkemauan hidup, layaknya Yanto yang muda, bukan pasrah dan menyerah, sebab umur yang kian meringsek ke kuburan.
Orang-orang di sekitaran pun membantu mengalirkan arus panggilan, yang dipanggil sadar, dan menoleh. Sumiyem mengumbar senyum lebar dan tangannya melambai-lambai, Yanto pun datang.
“Apalagi Mbah?”
“Kamu sungguh ingin desa Tunggak bisa kembali pulih?.”