Keterlambatan bicara atau speech delay menjadi salah satu fenomena yang
mencuat selama pandemi COVID-19. Hal ini diduga berkaitan erat dengan
perubahan pola pengasuhan dan interaksi sosial anak akibat meningkatnya
penggunaan gawai sebagai alat hiburan maupun pengajaran. Menurut dr. Ajeng
Indriastari dokter spesialis anak sebagian besar kasus speech delay pada anak saat
ini bersifat fungsional. Artinya keterlambatan tersebut tidak disebabkan oleh
gangguan fisik atau organik melainkan kurangnya stimulasi dan pola asuh yang
kurang tepat. Fenomena ini menjadi peringatan bagi orang tua dan masyarakat akan
pentingnya memahami kebutuhan perkembangan anak usia dini serta dampak pola
pengasuhan terhadap kemampuan bahasa mereka.
Kasus Speech Delay Nur Zakia dan Intervensi Melalui Program SOTH
Nur Zakia warga Gembong DKA, Kapasari, Surabaya menceritakan bahwa
putranya sempat dikira mengalami autisme karena keterlambatan berbicara. Setelah
mengikuti Program SOTH Zakia mendapatkan wawasan baru tentang pengasuhan
yang benar, yang akhirnya membawanya ke rumah sakit untuk menjalani terapi
wicara. Dari diagnosa awal diketahui bahwa putranya tidak mengidap autism
melainkan murni speech delay akibat ketergantungan pada gawai.
Melalui tujuh kali pertemuan dalam program SOTH perkembangan putranya mulai
terlihat signifikan. Jika sebelumnya putranya takut bertemu orang baru dan lebih
memilih bermain gawai di rumah, kini ia mulai lebih interaktif, merespons
panggilan, bermain dengan teman, dan mulai berbicara. Keberhasilan Zakia
menjadi bukti bahwa intervensi yang tepat, didukung oleh program parenting yang
terstruktur, mampu membawa perubahan positif pada anak-anak yang mengalami
speech delay
Inspirasi dari Keberhasilan Zakia
Kisah Nur Zakia adalah bukti nyata bahwa pendidikan orang tua dan kolaborasi
lintas sektor dapat membawa perubahan besar dalam kehidupan anak. Tidak hanya membuktikan efektivitas program SOTH tetapi juga memberikan harapan bagi
banyak keluarga lain yang menghadapi masalah serupa. keberhasilan Zakia dan
program SOTH di Surabaya menjadi inspirasi bahwa dengan edukasi, intervensi
tepat, dan dukungan komunitas anak-anak yang mengalami speech delay dapat
berkembang dengan optimal dan menjadi generasi yang lebih cerdas dan sehat.
Speech Delay di Era Pandemi
Pandemi COVID-19 memaksa banyak keluarga untuk menjalani pola hidup baru
Aktivitas di luar rumah dibatasi termasuk interaksi anak dengan teman sebaya atau
lingkungan sosialnya. Sebagai pengganti aktivitas tersebut anak-anak sering kali
diberi gawai untuk bermain atau menonton video. Meskipun gawai memiliki
manfaat tertentu seperti menyediakan konten edukasi, penggunaannya yang
berlebihan tanpa pendampingan dapat mengurangi kualitas interaksi langsung
antara anak dan orang tua.
Menurut Ajeng tanda-tanda speech delay mencakup:
1. Anak jarang mengeluarkan atau merespons suara.
2. Tidak memahami gestur orang lain.
3. Tidak memiliki kemampuan mengucapkan konsonan sesuai usia.
Pada usia 18--24 bulan anak yang mengalami speech delay umumnya belum
menguasai 50 kata bahkan mungkin tidak merespons saat dipanggil. Padahal pada
usia dua tahun anak-anak biasanya sudah mampu merangkai dua kata sederhana
seperti "mama makan" atau "main bola."
Fenomena ini sering kali tidak disadari sejak dini sehingga keterlambatan baru
diidentifikasi ketika anak sudah memasuki usia yang lebih lanjut. Penyebabnya
menurut Ajeng sebagian besar adalah kurangnya stimulasi dan pola pengasuhan
yang salah meskipun secara fisik anak tidak memiliki kelainan pada organ bicara
maupun pendengaran.
Teori Perkembangan Anak Usia Dini, Untuk memahami dampak speech delay terhadap perkembangan anak penting
untuk mengaitkannya dengan teori-teori perkembangan anak usia dini seperti teori
Piaget, Vygotsky, dan Erik Erikson.
1. Teori Piaget: Perkembangan Kognitif
Jean Piaget membagi perkembangan kognitif anak ke dalam empat tahap, di mana
tahap pertama adalah sensorimotor (usia 0--2 tahun). Pada tahap ini anak belajar
tentang dunia melalui panca indera dan interaksi langsung dengan lingkungan.
Kemampuan bicara merupakan salah satu aspek penting dalam tahap ini karena
membantu anak mengekspresikan kebutuhan dan mengembangkan hubungan
dengan orang lain.
Ketika anak mengalami speech delay hal ini dapat menghambat kemampuan
mereka untuk memahami dan berinteraksi dengan dunia di sekitar mereka. Tanpa
stimulasi yang memadai anak dapat kehilangan kesempatan untuk membangun
koneksi antara pengalaman fisik dan kata-kata, yang pada akhirnya memengaruhi
perkembangan kognitif mereka.
2. Teori Vygotsky: Zona Proksimal Perkembangan dan Interaksi Sosial
Lev Vygotsky menekankan pentingnya interaksi sosial dalam perkembangan anak,
terutama melalui konsep Zona Proksimal Perkembangan (ZPD). ZPD adalah jarak
antara kemampuan yang dimiliki anak saat ini dan kemampuan yang dapat dicapai
dengan bantuan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih kompeten.
Bahasa menjadi medium utama dalam proses belajar melalui ZPD. Ketika anak
tidak mendapatkan interaksi verbal yang cukup dari orang tua atau pengasuh,
mereka kehilangan peluang untuk mengembangkan kosa kata dan struktur bahasa
yang lebih kompleks. Dalam situasi pandemi keterbatasan interaksi sosial dengan
teman sebaya juga memperparah kondisi ini, karena anak kehilangan model bahasa
dari lingkungan sekitar.
3. Teori Erik Erikson: Kepercayaan vs Ketidakpercayaan, Pada usia 0--18 bulan anak berada dalam tahap kepercayaan vs ketidakpercayaan
menurut Erik Erikson. Tahap ini menekankan pentingnya hubungan emosional yang
kuat antara anak dan pengasuh utama. Melalui hubungan ini, anak belajar untuk
mempercayai dunia di sekitarnya.
Bahasa adalah salah satu cara anak berkomunikasi dan memperkuat ikatan dengan
orang tua. Ketika anak mengalami speech delay akibat kurangnya stimulasi
kemampuan mereka untuk membangun hubungan yang sehat dapat terganggu. Rasa
frustasi akibat ketidakmampuan mengekspresikan kebutuhan mereka juga dapat
memicu masalah perilaku, seperti tantrum atau menarik diri dari lingkungan.
Penyebab dan Klasifikasi Speech Delay
Menurut Ajeng speech delay dapat dibagi menjadi dua kategori utama:
1. Fungsional: Disebabkan oleh kurangnya stimulasi atau pola asuh yang salah.
2. Non-fungsional: Berkaitan dengan gangguan bahasa reseptif, seperti
autisme atau ADHD.
Penyebab utama speech delay fungsional meliputi:
* Kurangnya Interaksi Verbal: Orang tua yang sibuk atau terlalu
mengandalkan gawai untuk menghibur anak sering kali tidak menyediakan
waktu cukup untuk berbicara dengan anak.
* Pola Asuh yang Tidak Tepat: Misalnya membiarkan anak menonton televisi
tanpa pendampingan atau tidak merespons usaha anak untuk berkomunikasi.
Sebaliknya speech delay non-fungsional memerlukan perhatian medis dan terapi
khusus karena sering kali melibatkan gangguan neurologis atau sensorik.
Dampak Speech Delay pada Perkembangan Anak
Dampak jangka panjang speech delay tidak hanya terbatas pada kemampuan
Bahasa tetapi juga memengaruhi aspek kognitif, emosional, dan sosial. Anak yang
mengalami speech delay berisiko menghadapi:
1. Kesulitan Akademik: Terhambatnya kemampuan membaca dan menulis.
2. Masalah Perilaku: Frustasi karena ketidakmampuan berkomunikasi dapat
menyebabkan agresi atau isolasi.
3. Rendahnya Rasa Percaya Diri: Anak mungkin merasa minder karena tidak
mampu mengikuti perkembangan teman-temannya.
Solusi dan Pendekatan Stimulasi Bahasa
Untuk mengatasi speech delay, pendekatan yang komprehensif diperlukan,
termasuk peran orang tua, lingkungan, dan ahli.
* Meningkatkan Interaksi Verbal
Orang tua harus lebih aktif berkomunikasi dengan anak bahkan sejak usia
dini. Membacakan buku cerita, menyanyikan lagu, atau sekadar berbicara
dengan anak dapat memberikan stimulasi bahasa yang signifikan.
* Membatasi Penggunaan Gawai
Penggunaan gawai sebaiknya dibatasi dan selalu dilakukan dengan
pendampingan. Konten yang dipilih juga harus mendukung perkembangan
bahasa anak.
* Terapi Wicara
Anak yang mengalami speech delay non-fungsional memerlukan terapi
wicara untuk membantu mereka mengembangkan kemampuan berbicara
sesuai dengan kebutuhan khusus mereka.
* Melibatkan Lingkungan Sosial
Interaksi dengan teman sebaya dapat memperkaya pengalaman bahasa anak.
Orang tua dapat mengatur playdate atau kegiatan kelompok untuk
meningkatkan keterampilan sosial dan bahasa.
* Pemeriksaan Dini Orang tua sebaiknya melakukan pemeriksaan tumbuh kembang anak secara
rutin di puskesmas atau dokter spesialis anak. Deteksi dini memungkinkan
intervensi yang lebih cepat dan efektif.
Kesimpulan
Speech delay di era pandemi menjadi salah satu tantangan yang memerlukan
perhatian serius dari berbagai pihak terutama orang tua. Dengan memahami
kebutuhan perkembangan anak usia dini melalui teori Piaget, Vygotsky, dan Erik
Erikson kita dapat mengenali pentingnya stimulasi verbal dan interaksi sosial dalam
mendukung kemampuan bahasa anak. Pendekatan yang komprehensif termasuk
perbaikan pola asuh dan pembatasan penggunaan gawai, dapat membantu anak
mengatasi keterlambatan bicara dan mencapai potensi perkembangan mereka
secara optimal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H