Ia menguatkan dirinya untuk berdiri. Lalu secara tertatih mencoba beranjak dari tempat ia bersimpuh. Serak tanah yang ditinggalkan oleh tiga pemuda malam tadi tidak ia rapikan. Kang Suryo ingin segera pulang. Bibirnya sudah tidak kuat menahan kenyataan yang ia saksikan hari itu. Sungguh sesuatu yang sangat ganjil. Sawah di sekitar makam tidak pernah sepi oleh manusia. Tapi hari itu, hanya Kang Suryo yang terlihat.
Dua kaki Kang Suryo dipaksa melangkah cepat. Jalan tikus yang ia lewati juga sangat lengang. Batin Kang Suryo menggerutu, di mana orang-orang itu?
Rumah pertama yang ia tuju adalah rumah Kang Maman; ketua RT 02 RW 02. Karena makam keramat memang masuk daerah teritorial RT RW tersebut. Rumah itu sederhana namun sangat asri. Kembang cehong tumbuh di depan dan kiri rumah. Pintu menutup, tapi Kang Suryo yakin, Kang Maman sedang tidak ke mana-mana.
Kang Suryo tidak bisa lagi berteriak. Ketukan tangannya di pintu hanya menghasilkan bunyi yang sangat lemah. Kepanikan terus merayapi tiap inci dalam tubuhnya. Tapi untungnya, ada Rendi datang. Ia adalah putra sulung Kang Maman. Melihat Kang Suryo yang tampak sangat pucat, Rendi segera meraih tubuh Kang Suryo lalu mendudukannya di kursi beranda. Rendi bergegas masuk ke dalam rumah untuk memberi tahu Bapaknya. Dua mata Rendi menyelidik ke semua sudut rumah. Namun ia tak menemukan Kang Maman. Lalu ia menuju dapur, dilihatnya Bu Minah sedang menanak nasi. Bu Minah adalah ibu tiri Rendi. Dua tahun yang lalu, Bu Warsih, ibu kandung Rendi meninggal. Dan Bu Minah menggantikan posisinya setahun kemudian.
"Bapak di mana, Bu?" Sopan, Rendi bertanya kepada Bu Minah. "Di depan ada Kang Suryo. Sepertinya penting sekali."
"Bapakmu ada di kebun belakang. Ia sedang mempersiapkan kandang kambing," jawab Bu Minah sambil menunjuk pintu belakang rumah yang bersebelahan dengan kamar mandi. Rendi mengangguk, lalu pergi ke belakang.
"Pak, di depan ada Kang Suryo!" seru Rendi saat mendapati bapaknya sedang sibuk merapikan bambu yang sudah dibelah.
"Iya," sahut Kang Maman cepat tanpa melihat anaknya. Begitu sudah mendengar jawaban bapaknya, Rendi segera meninggalkan kebun.
Kang Maman mencuci tangannya cepat-cepat. Gerak tubuhnya menggambarkan jika ia sedang mendapat isyarat yang tak biasa. Setelah itu, ia langsung menuju beranda.
"Monggo Kang Suryo. Mari masuk ke dalam." Ramah, Kang Maman mempersilakan Kang Suryo masuk ke ruang tamu. "Ada apa ini?"
Kang Suryo duduk terpaku. Ia tidak mendengar apa yang dikatakan Kang Maman. Sehingga harus diulang sekali lagi. "Ada apa, Kang?"