"Hmm." Tenang, Jenank mengangguk.
***
Pak Lurah dengan didampingi Bu Lurah tampak sangat berwibawa ketika ia mendudukkan tubuhnya di kursi yang telah disediakan. Sementara, Balai Agung mulai meredam suaranya. Hawa sumuk tiba-tiba saja menyeruak. Panasnya udara yang berembus pagi itu memantik emosional Pak Lurah berkali-kali. Ia memaksakan kedua matanya untuk tidak melelehkan air mata yang menggumpal sejak semalam. Pak Lurah lalu berdiri, urat lehernya tampak sangat tebal saat ia mulai membuka suara. Namun di ujung sana, belakang sebelah kanan, terjadi kehebohan. Ada salah seorang warga kesurupan. Gerak tubuhnya menggambarkan sebuah keris pusaka. Lalu meneriakkan Ompyang berkali-kali.
#8
Pak Lurah memanggil San Thuk dengan suara yang parau. Bu Lurah hanya bisa berteriak kebingungan. San Thuk ini bernama asli Poedji Mangkunegaran. Namun nama belakangnya sering kali mengundang protes masyarakat. Meski zaman sudah berganti modern, perihal nama masih saja diperdebatkan. Mereka kukuh, jika Mangkunegaran itu terlalu prestisius bagi sosok San Tuk yang lahir dari rahim begenggek. Tapi ibunya sudah tobat! Benar, namun nasab tidak bisa diputihkan begitu saja. Sifatnya harus turun-temurun.
Sejak perdebatan hebat itulah, Poedji Mangkunegaran harus mengubur nama aslinya rapat-rapat dan berganti rupa dengan nama San Thuk; yang berarti ceblok; jatuh keprabon. Masyarakat menjadi redam. Tenang. Sebab Mangkunegaran memang selayaknya tidak dipakai sembarangan. San Thuk datang dengan tergopoh mengahadap Pak Lurah.
"Enten dawuh, Ndoro Lurah?"
"Tolong panggil Ki Tanggono. Bilang ke beliau di Balai Agung ada yang kesurupan. Lalu menyebut-nyebut Mbah Ompyang. Aku takut, ini menjadi awal pagebluk." Suara Pak Lurah semakin parau. Ada lahar panas menghajar tenggorokannya. Ia sudah tidak peduli lagi dengan Bu Lurah yang nglimpruk lemas di kursi dengan Mbok Suruh yang terus mengusap keningnya.
"Injeh, Ndoro Lurah." San Thuk berlalu dengan cepat. Meninggalkan jejeritan ibu-ibu panik di Balai Agung.
Jalan menuju rumah Ki Tanggono memang terjal. Sejak lima tahun yang lalu, orang yang dikeramatkan itu memilih tinggal di kaki bukit. Sendiri. Keluarganya sudah tidak ada. Meninggal semua. Kesedihan yang berkepanjangan, membuat ia rajin tirakat. Dan atas usahanya itu, Sang Hyang Tunggal memberinya anugerah; karomah. Ia menjadi linuwih; Waskita. Mampu membuat perhitungan masa depan. Dunia gaib seperti tempatnya bermain.
Bahkan, konon, Dayang desa Lemah Agung berguru padanya. Termasuk ribuan Jin yang menjaga perbukitan itu. Semua menunduk hormat padanya. Karena saking keramatnya, tidak semua masyarakat desa Lemah Agung berani mendekat. Hanya kelurga Pak Lurah yang beberapa kali sempat terlihat di sana. Jika Pak Lurah menyuruh utusan untuk mengahadap kepadanya, berarti telah terjadi sesuatu yang sangat serius.