Mohon tunggu...
Mustofa Ludfi
Mustofa Ludfi Mohon Tunggu... Lainnya - Kuli Tinta

Bapak-bapak Beranak Satu :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Ompyang Jimbe

2 Februari 2023   06:38 Diperbarui: 13 September 2024   08:24 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Dapat, Mbah," jawab Soni mewakili. Mbah Pronodumekso mengangguk senang.

"Mana?"

"Ini." Tenang, Ramin menyerahkan bungkusan yang sejak tadi ada di gamitan tangannya.

"Ada yang melihat?"

"Tidak!" jawab Samad ragu-ragu.

Mbah Pronodumekso menerima bungkusan putih dari Ramin. Lalu meletakkannya di meja. Tiga pemuda itu beringsut mundur sedikit. Mulut Mbah Pronodumekso tampak merapal sesuatu. Lalu menyemburkannya ke bungkusan. Dengan sedikit tarikan napas, ia membuka bungkusan itu.

Mbah Pronodumekso terhempas ke belakang. Tubuh tuanya menghantam tiang rumah. Ia tak berdaya. Berusaha untuk berdiri. Tapi sedetik berikutnya, ia melotot. Mulutnya memuntahkan banyak darah. Lalu meninggal dengan mulut menganga. Tiga pemuda itu sangat ketakutan. Dan mencoba untuk kabur dari rumah itu. Tapi naas, saat mereka keluar pintu, mulut ketiganya tertancap kayu runcing yang entah datangnya dari mana. Darah membanjir di beranda rumah. Bungkusan putih kini telah berganti sepasang keris yang gagangnya berupa kepala bayi; laki-laki dan perempuan. Ada kilatan cahaya di ujung dua benda pembunuh itu. Lalu secepat kilat melesat. Hilang dari rumah penuh darah itu.

***

"Begitu cerita yang aku dengar dari Pak Sojo. Ia memang sudah sangat sepuh, tapi memiliki ingatan yang sangat kuat. Keris itu memang menghilang, tapi dalam mimpi Pak Sojo, sepasang benda iblis itu berjanji akan memusnahkan semua keturunan Mbah Pronodumekso, tiga pemuda nekat itu, dan bayi-bayi laki-laki yang berdarah O; yang lahir di desa Lemah Agung; pemilik makam keramat." Panjang, Eyang Toro menutup ceritanya. Rudi, cucu semata wayangnya, yang sejak tadi menyimak ceritanya hanya bisa menahan gumam.

#4

Kang Suryo mengucek dua matanya cepat-cepat. Istirahat siangnya ia batalkan. Dua matanya tidak bisa lepas dari makam keramat Mbah Ompyang. Ia bergegas mendekat. Raut mukanya layu. Tubuhnya tiba-tiba melemah. Lalu rubuh di dekat nisan makam itu. Kang Suryo menajamkan matanya menantang langit. Kemudian menjatuhkan beberapa bulir air matanya. Tangannya terus mengelus dadanya. Sesekali juga meneratap cemas. Isi kepalanya menjadi kosong. Matanya cowong. Lingkar hitamnya menebal seketika. Kang Suryo melihat banyak jeritan tangis dari masyarakat desa Lemah Agung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun