Ompyang Jimbe-Serial Horor Fiksi
#1
Malam yang ditunggu datang. 3 pemuda pengangguran itu sedang bersiap-siap menuju pemakaman kuno; yang oleh masyarakat setempat sangat dikeramatkan. Malati; ora elok, jika ke sana tidak sesuai waktu yang telah ditentukan oleh sesepuh desa.
Di pemakaman itu, ada sebuah makam yang tidak sewajarnya. Jika yang lain menghadap Utara Selatan, makam yang satu ini menghadap Barat Timur. Tidak pernah ada yang tahu itu makam siapa. Bahkan, orang paling sepuh di desa juga tidak pernah tahu, dan embah-embahnya juga tidak tahu. Karena tidak pernah ada yang tahu, mereka menyebut makam itu sebagai makam Mbah Ompyang. Selain keramat, makam tersebut tidak bisa dilewati. Atau dibuat jalan.
Konon, dulu pernah ada yang lewat sambil meludah, tiba-tiba saja bibirnya menjadi sumbing dan seluruh keluarganya terkena penyakit aneh. Sesepuh desa tirakat; nyepi dan mohon petunjuk untuk mengobati keluarga itu. Dan semua petunjuk yang ia dapat mengarah pada makam Mbah Ompyang.
Ketiga pemuda itu sudah membulatkan tekat menyelesaikan misinya. Sejak dipulangkan dari tempat kerjanya di Malaysia, tiga pemuda itu menghabiskan waktunya untuk berjudi dan mabuk-mabukkan. Pesangon yang mereka dapat sudah mulai habis. Mereka tidak memiliki apa-apa lagi untuk digadaikan. Mereka tidak bisa berjudi lagi. Sehingga jalan pintas harus dicari. Sesuai petunjuk Mbah Pronodumekso, ketiga pemuda itu akan melakukan perbuatan yang sangat dikutuk oleh masyarakat desa.
Tepat pukul 00:30, ketiga pemuda itu sudah berada di area makam. Petunjuk yang mereka dapat berikutnya adalah penggalian harus tepat pukul 01:01. Menunggu waktu tiba, mereka beristirahat sejenak, sambil terus menguatkan tekat.
"Ini terlalu berisiko." Panik, Samad membuka omongan.
"Tenangkan dirimu, Mad. Setelah ini kita akan menjadi orang paling kaya di daerah ini. Semua orang akan menyembah kita," sahut Ramin sambil menepuk bahu Samad. Ia berusaha menenangkan temannya itu yang kerap panik jika akan melalukan sesuatu.
"Bulatkan niat. Itu saja yang kita butuhkan!" Soni ikutan bicara.
Kemudian hening berkuasa atas mereka.
#2
Malam semakin mencekam. Cericit aneh hewan malam semakin membuat suasana menakutkan. Samad terus berusaha menguatkan dirinya. Mati-matian ia membuang rasa ragunya. Ia terus membayangkan dirinya yang mendadak kaya raya. Tidak perlu bersusah payah bekerja, tapi pundi-pundi hartanya tidak pernah asat.
"Waktunya sudah tiba. Saatnya kita bekerja. Ayok, jangan ragu lagi! Soni berdiri, diikuti Samad dan Ramin. Ketiganya menenteng perlengkapan untuk menggali.
"Kita hanya punya waktu dua jam. Dan jam tiga, kita sudah harus berada di luar desa ini," kata Soni menambahkan. Samad dan Ramin mengangguk.
Tepat pukul 01:01, tiga pemuda itu dengan semangat membara mulai mengayunkan alat-alatnya. Suara cangkul dan sekrop beradu nyaring dengan suara belalang kecrek yang ada di pucuk daun. Kilat-kilat cahaya sisa purnama kemarin menerpa punggung kukuh mereka.
Seperti tidak pernah ada lelahnya, pemuda itu terus melakukan pekerjaannya. Pukul 02:00 pekerjaan mereka selesai.
"Cepat bungkus!" teriak Soni. Diikuti Samad yang mengeluarkan selembar kain yang telah disiapkan sejak kemarin. "Jangan lupa minyaknya." Samad mengangguk. Sementara Ramin membereskan semua peralatannya. Ia memastikan tidak ada jejak yang tertinggal. Apa yang telah mereka gali, kini sudah rapi lagi.
Secepat kilat mereka pergi meninggalkan makam keramat itu. Mereka tidak mempedulikan lagi apa yang akan terjadi akibat perbuatan mereka. Yang ada di pikiran mereka sekarang adalah kekayaan yang kekal, penghormatan yang tak pernah ada putusnya.
***
Pagi menjelang. Burung-burung penghuni tetap makam bersahutan dengan bunyi-bunyi yang sumbang. Mereka seperti menyuarakan kepedihan. Tidak seperti biasanya. Kang Suryo yang sejak Subuh sudah berangkat ke sawah menangkap pesan itu. "Ada apa ini?" ia membatin.
Burung-burung itu seperti tak mau berhenti. Kang Suryo terus digoda untuk menangkap pesannya. Tapi ia tak pernah peduli. Sampai matahari menghangatkan daun-daun, Kang Suryo tidak beranjak dari tempatnya berdiri.
#3
Setelah berhasil kabur dari makam keramat, tiga pemuda itu segera menghadap Mbah Pronodumekso untuk mendapatkan petunjuk selanjutnya. Langkah mereka sangat terburu, namun rumah dukun sakti itu menutup rapat. Orang yang mereka cari sedang tidak ada di tempat. Mata mereka mengedar, namun yang didapat hanyalah burung gagak tua peliharaannya yang sedari tadi mengawasi mereka.
"Sia-sia," gerutu Samad. "Jauh-jauh ke sini, malah ditinggal pergi." Sambil mengusap dahinya, Samad melanjutkan gerutunya.
"Aku yakin, Mbah Prono tahu kita datang. Tenanglah sebentar," kata Soni menenangkan. "Kita tunggu di belakang saja. Kita istirahatkan tubuh kita," ajak Soni selanjutnya. Ramin hanya diam. Dua matanya tak lepas dari barang yang ia bawa. Batinnya mencetak banyak sekali tanya.
Mereka kemudian menuju halaman belakang rumah Mbah Pronodumekso yang terteduhi pohon-pohon besar yang sudah berumur puluhan tahun. Hawa sejuk yang datang dari persawahan, semakin meneguhkan jika rumah itu tak seangker pemiliknya.
Hampir dua jam terlewat, suara orang berdehem mendarat cepat di kuping mereka. Ketiga pemuda itu bereaksi cepat. Mereka segera menuju pintu depan. Mereka tidak ingin kehilangan dukun itu lagi.
"Cepat! Jangan sampai Mbah Prono hilang lagi!" seru Soni sambil berjalan setengah berlari menuju pintu depan rumah itu. Sambil sedikit terengah, Ramin mengetuk pintu yang sedikit membuka itu.
"Masuk!" Garang, Mbah Pronodumekso memerintahkan mereka untuk masuk ke dalam rumah. "Silakan duduk."
Mereka kompak menjawab, "iya, Mbah."
Mereka duduk sangat rapat. Samad memegangi lututnya. Ia tidak ingin, Mbah Pronodumekso mengetahui jika dirinya orang paling was-was di antara mereka.
"Tenang. Dapat barangnya?" tanya Mbah Pronodumekso.
"Dapat, Mbah," jawab Soni mewakili. Mbah Pronodumekso mengangguk senang.
"Mana?"
"Ini." Tenang, Ramin menyerahkan bungkusan yang sejak tadi ada di gamitan tangannya.
"Ada yang melihat?"
"Tidak!" jawab Samad ragu-ragu.
Mbah Pronodumekso menerima bungkusan putih dari Ramin. Lalu meletakkannya di meja. Tiga pemuda itu beringsut mundur sedikit. Mulut Mbah Pronodumekso tampak merapal sesuatu. Lalu menyemburkannya ke bungkusan. Dengan sedikit tarikan napas, ia membuka bungkusan itu.
Mbah Pronodumekso terhempas ke belakang. Tubuh tuanya menghantam tiang rumah. Ia tak berdaya. Berusaha untuk berdiri. Tapi sedetik berikutnya, ia melotot. Mulutnya memuntahkan banyak darah. Lalu meninggal dengan mulut menganga. Tiga pemuda itu sangat ketakutan. Dan mencoba untuk kabur dari rumah itu. Tapi naas, saat mereka keluar pintu, mulut ketiganya tertancap kayu runcing yang entah datangnya dari mana. Darah membanjir di beranda rumah. Bungkusan putih kini telah berganti sepasang keris yang gagangnya berupa kepala bayi; laki-laki dan perempuan. Ada kilatan cahaya di ujung dua benda pembunuh itu. Lalu secepat kilat melesat. Hilang dari rumah penuh darah itu.
***
"Begitu cerita yang aku dengar dari Pak Sojo. Ia memang sudah sangat sepuh, tapi memiliki ingatan yang sangat kuat. Keris itu memang menghilang, tapi dalam mimpi Pak Sojo, sepasang benda iblis itu berjanji akan memusnahkan semua keturunan Mbah Pronodumekso, tiga pemuda nekat itu, dan bayi-bayi laki-laki yang berdarah O; yang lahir di desa Lemah Agung; pemilik makam keramat." Panjang, Eyang Toro menutup ceritanya. Rudi, cucu semata wayangnya, yang sejak tadi menyimak ceritanya hanya bisa menahan gumam.
#4
Kang Suryo mengucek dua matanya cepat-cepat. Istirahat siangnya ia batalkan. Dua matanya tidak bisa lepas dari makam keramat Mbah Ompyang. Ia bergegas mendekat. Raut mukanya layu. Tubuhnya tiba-tiba melemah. Lalu rubuh di dekat nisan makam itu. Kang Suryo menajamkan matanya menantang langit. Kemudian menjatuhkan beberapa bulir air matanya. Tangannya terus mengelus dadanya. Sesekali juga meneratap cemas. Isi kepalanya menjadi kosong. Matanya cowong. Lingkar hitamnya menebal seketika. Kang Suryo melihat banyak jeritan tangis dari masyarakat desa Lemah Agung.
Ia menguatkan dirinya untuk berdiri. Lalu secara tertatih mencoba beranjak dari tempat ia bersimpuh. Serak tanah yang ditinggalkan oleh tiga pemuda malam tadi tidak ia rapikan. Kang Suryo ingin segera pulang. Bibirnya sudah tidak kuat menahan kenyataan yang ia saksikan hari itu. Sungguh sesuatu yang sangat ganjil. Sawah di sekitar makam tidak pernah sepi oleh manusia. Tapi hari itu, hanya Kang Suryo yang terlihat.
Dua kaki Kang Suryo dipaksa melangkah cepat. Jalan tikus yang ia lewati juga sangat lengang. Batin Kang Suryo menggerutu, di mana orang-orang itu?
Rumah pertama yang ia tuju adalah rumah Kang Maman; ketua RT 02 RW 02. Karena makam keramat memang masuk daerah teritorial RT RW tersebut. Rumah itu sederhana namun sangat asri. Kembang cehong tumbuh di depan dan kiri rumah. Pintu menutup, tapi Kang Suryo yakin, Kang Maman sedang tidak ke mana-mana.
Kang Suryo tidak bisa lagi berteriak. Ketukan tangannya di pintu hanya menghasilkan bunyi yang sangat lemah. Kepanikan terus merayapi tiap inci dalam tubuhnya. Tapi untungnya, ada Rendi datang. Ia adalah putra sulung Kang Maman. Melihat Kang Suryo yang tampak sangat pucat, Rendi segera meraih tubuh Kang Suryo lalu mendudukannya di kursi beranda. Rendi bergegas masuk ke dalam rumah untuk memberi tahu Bapaknya. Dua mata Rendi menyelidik ke semua sudut rumah. Namun ia tak menemukan Kang Maman. Lalu ia menuju dapur, dilihatnya Bu Minah sedang menanak nasi. Bu Minah adalah ibu tiri Rendi. Dua tahun yang lalu, Bu Warsih, ibu kandung Rendi meninggal. Dan Bu Minah menggantikan posisinya setahun kemudian.
"Bapak di mana, Bu?" Sopan, Rendi bertanya kepada Bu Minah. "Di depan ada Kang Suryo. Sepertinya penting sekali."
"Bapakmu ada di kebun belakang. Ia sedang mempersiapkan kandang kambing," jawab Bu Minah sambil menunjuk pintu belakang rumah yang bersebelahan dengan kamar mandi. Rendi mengangguk, lalu pergi ke belakang.
"Pak, di depan ada Kang Suryo!" seru Rendi saat mendapati bapaknya sedang sibuk merapikan bambu yang sudah dibelah.
"Iya," sahut Kang Maman cepat tanpa melihat anaknya. Begitu sudah mendengar jawaban bapaknya, Rendi segera meninggalkan kebun.
Kang Maman mencuci tangannya cepat-cepat. Gerak tubuhnya menggambarkan jika ia sedang mendapat isyarat yang tak biasa. Setelah itu, ia langsung menuju beranda.
"Monggo Kang Suryo. Mari masuk ke dalam." Ramah, Kang Maman mempersilakan Kang Suryo masuk ke ruang tamu. "Ada apa ini?"
Kang Suryo duduk terpaku. Ia tidak mendengar apa yang dikatakan Kang Maman. Sehingga harus diulang sekali lagi. "Ada apa, Kang?"
Kang Suryo mengerjapkan mata kaget. Lalu menatap lekat-lekat muka Kang Maman.
"Itu, Kang. Makam Mbah Ompyang rusak," katanya memelas.
Kening Kang Maman menebal seketika. Dua matanya terasa sangat panas. Prihatin, marah, takut berkumpul jadi satu.
"Duh, Gusti," keluhnya pelan. Sementara orang di sebelahnya, hanya terus-terusan mengelus dada. "Pagebluk. Pagebluk," lanjut Kang Maman sambil bersandar lemas.
#5
Eyang Toro membungkus dagu yang jenggotnya mulai memutih. Dua matanya mengerjap berkali-kali. Seperti ada ingatan yang musti ia gali. Sementara, Rudi masih sangat penasaran dengan cerita eyangnya itu. Dan ia mulai berpikir untuk lebih lama bersama eyangnya. Meski planningnya hanya seminggu, ia kini yakin sangat perlu untuk tinggal lebih lama di desa terpencil itu.
Rudi adalah seorang mahasiswa tingkat akhir sebuah perguruan tinggi di negeri ini. Ia menekuni filsafat. Dan menjadikan seorang Henry Sidgwick sebagai dewa pujaannya. Sejak kecil, Rudi tidak pernah percaya kegaiban seperti yang ada dalam cerita Eyang Toro. Baginya, kegaiban itu hanya kehidupan setelah kematian. Kegaiban tidak bisa disentuh dan divisualkan. Tapi kegaiban adalah keniscayaan yang pada waktunya akan dilewati semua mahkluk.
Mendengar cerita eyangnya, Rudi sebenarnya ingin membantah. Tapi entah kenapa, ketika Eyang Toro menceritakan tentang tumbal dan balas dendam, baju filsafatnya terlepas. Ia tetiba saja menjadi manusia dengan kepala yang penuh dengan tanda tanya.
Sore itu, hujan mulai berjatuhan di ujung daun-daun, lalu memantul dan sampailah kepada tanah yang beberapa sudah mulai mengering. Terjadi benturan hebat di lubuk hatinya yang terdalam. Nalurinya sebagai pewaris trah Toro Hemengku Djoyo menggila seketika. Seperti eyangnya, Rudi juga harus berani memecahkan misteri itu. Ia harus menggagalkan misi balas dendam yang telah diujarkan oleh dua benda iblis itu, apa pun risikonya.
Eyang Toro melanjutkan kisahnya tentang bagaimana ketakutan Kang Maman dan Kang Suryo setelah peristiwa pembongkaran makam keramat itu terjadi. Rudi kembali menyimak baik-baik.
***
Dua manusia itu masih belum bisa menyeimbangkan tubuhnya. Kegelisahan mengunyah hampir sembilan puluh persen semangat hidupnya. Ia melihat, kiamat yang diujikan itu segera tiba. Melahap semua kehidupan, termasuk dirinya.
Sudah menjadi kabar turun-temurun jika ada apa-apa terhadap makam, maka warga desa akan menelan akibatnya. Dan dua orang di beranda itu menjadi bagian yang mengamini kesepakatan tanpa kertas itu.
"Kita celaka, Kang." Panik, Kang Maman memulai perbincangan lagi. Dengan muka ditekuk, ia terus berusaha berkalimat. "Kita harus menghadap Pak Lurah. Kita harus menyampaikan berita ini. Tapi jangan sampai masyarakat lain tahu. Kita redam dulu. Biar Pak Lurah yang membuat keputusan."
"Iya, Kang," sahut Kang Suryo pendek. Ia juga belum bisa meredam kepanikannya.
Balai desa Lemah Agung tampak lengang. Tidak ada aktivitas seperti biasanya. Memang, hari libur selalu begitu. Tapi biasanya, Pak Lurah akan selalu di sana, bahkan setiap hari. Baginya, tidak ada tanggal merah. Sebab itulah, masyarakat tidak memiliki pilihan lagi. Sudah dua periode menjabat, namun masyarakat tidak ingin ia pensiun. Ia harus bekerja untuk desa yang diingkari perbukitan itu.
Langkah Kang Maman dan Kang Suryo sama gontainya. Sepanjang perjalanan menuju balai desa itu, kecemasan dan kepanikan terus menggerogoti hati. Baru, setelah kaki keduanya melangkah masuk ke area balai, napas lega mereka embuskan berkali-kali.
Kantor Pak Lurah terbuka lebar. Kang Maman dan Kang Suryo bergegas mengetuk dan masuk ke dalam. Mereka duduk tepat di depan Pak Lurah. Keganjilan yang mereka bawa terbaca dengan baik oleh Pak Lurah.
"Kang Maman, Kang Suryo. Ada apa ini? Kok kelihatannya ada sesuatu yang sangat penting," tanya Pak Lurah dengan ramah. Keganjilan yang ia baca tidak bisa mencegah senyumnya yang selalu hangat. Sementara itu, Kang Maman dan Kang Suryo semakin tidak bisa mendiamkan kecemasan dan kepanikannya.
"Hm. Mohon maaf Pak Lurah. Ada berita duka siang ini." Pelan, Kang Maman berusaha untuk bicara.
"Siapa yang Sedo?" sambar Pak Lurah cepat. Kang Maman menelan ludah. Kang Suryo memilih mengunci mulut.
"Tidak ada. Bukan berita duka kematian, Pak. Tapi ini perihal makam Mbah Ompyang. Makam Mbah Ompyang rusak. Habis dibongkar. Berantakan." Pahit, Kang Maman menyampaikan peristiwa yang menakutkan itu.
"Apa?" Pak Lurah sangat terkejut. Delapan puluh persen ruh kabur dari raganya. Ia tersandar di kursi. Lemas. Keningnya menebal. Dua matanya merapuh. Ada panas yang mengepung pelupuknya. Ada getir yang menggigiti perasaannya. "Ini bukan berita duka lagi, Kang. Ini melebihi segalanya. Kita semua tahu, sejak dulu kala, Makam Mbah Ompyang memiliki benang merah dengan desa ini. Sejarahnya panjang. Jika makam itu rusak, berarti ini pertanda akan turunnya balak di desa kita. Ingat cerita embah-embah kita dulu. Bahkan, mereka melewati makam itu saja nggak berani. Nggak elok. Malati." Panjang, Pak Lurah menanggapi berita Kang Maman. Ia terus menguatkan dirinya; yang sebenarnya lebih rapuh dari kedua orang di hadapannya.
"Lalu bagaimana, Pak Lurah. Kami harus berbuat apa?" tanya Kang Maman getir. Pak Lurah terdiam. Tidak ada satu kalimat pun keluar dari mulutnya. Kantor itu menjadi sangat mencekam. Ada banyak kabut yang mampir ke sana. Sampai menjelang sore, tiga manusia itu tetap di sana. Saling diam. Saling mendiamkan kecemasan dan kepanikan masing-masing.
***
Pagi itu, Rudi mulai bergerak. Pertama yang ia lakukan adalah memohon izin kepada eyangnya untuk tinggal lebih lama di sana.
#6
Langit menghitam. Dua tamu pembawa duka itu diizinkan pulang oleh Pak Lurah. Namun esok hari, pagi-pagi sekali, keduanya sudah harus berada di balai desa Lemah Agung. Pak Lurah dawuh, besok akan ada pertemuan penting guna membahas makam Mbah Ompyang yang sudah dijahili orang. Keduanya mengangguk, pamit, kemudian meninggalkan Pak Lurah yang sedang dirundung kekhawatiran.
***
Rudi memohon izin kepada Eyang Toro untuk pergi sebentar ke kota. Ada teman yang harus ia temui. Namanya Suroto, tapi ia kadung terkenal dengan nama Jenank; dengan akhiran huruf 'K' bukan 'Ng'. Jenank berjumpa dengan Rudi sekitar delapan tahun yang lalu. Dulu, semua yang dikatakan Jenank ia anggap sebagai kentut. Namun hari ini, Rudi menemukan kebenaran semua yang dikatakan oleh Jenank.
Ketika itu, Jenank seringkali bercerita tentang benda-benda pusaka yang memiliki kekeramatan tingkat tinggi. Ia bercerita tentang kekuatan dari Pring Pethuk, Samurai Shogun dan Kolong, Rantai Babi, Bethoro Karang, Anti Silet, Mangkuk Anti Basi, Sate Gagak, Keris Kolomunyeng, Merah Delima, Mustiko Nogo, dan Keris Ompyang. Semua yang diceritakan itu akan dibantah dengan ilmu filsafat. Dalam sains, semua yang dirinci oleh Jenank adalah bagian dari kekonyolan akal dan kotoran pengetahuan. Jenank tidak pernah membantahnya. Ia sadar, selamanya Nyoni tidak akan pernah bisa diempiriskan. Tapi akan selalu ada sampai dunia ini tutup mata. Dan mendiamkan Rudi yang sedang mabuk dengan materi yang sedang dipelajarinya adalah pilihan terbaik.
Namun kini, Jenank mengulum senyum lebar. Manusia yang sejak dulu membantahnya sekarang sedang sangat ingin bertemu dengannya. Ia menunggu. Detik demi detik. Sejak dulu.
***
Pagi menjelang dengan ditandai suara Cendet yang menyalak di belakang rumah Kang Suryo. Ia bergegas melangkahkan dua kakinya yang sejak kemarin terbebani akan datangnya pagebluk di desa Lemah Agung. Meski berat, ia sampai juga di balai itu; yang di sana sudah ada Pak Lurah yang sedang tertunduk lesu. "Titi wancine, Titi wancine," racau Pak Lurah pelan.
Langit sudah mulai mencerah. Satu demi satu, warga mulai berdatangan. Balai desa Lemah Agung akan mencari solusi terbaik untuk mengahadapi semua akibat dari rusaknya makam Mbah Ompyang.
#7
Balai Agung penuh sesak dengan manusia. Suara dengungan menggema di semua sudutnya. Yang datang sangat berjubel. Sampai-sampai Kang Suryo harus menggelar terpal yang biasanya disewakan ke masyarakat jika ada pakewuh. Mereka duduk berhimpitan. Ada yang saling adu kepulan asap. Ada juga yang sedang nyusoni anaknya dan karena saking sibuknya, kutangnya dibiarkan nglewer. Sehingga sumber ASI kadang menyembul tanpa permisi.
Pak Lurah masih bersiap di kamarnya. Ia merapikan kerah baju yang sebenarnya tidak bermasalah. Ia selalu begitu, kata Bu Lurah. Jika ia cemas, maka ia akan berlama-lama di depan kaca. Bu Lurah tampak biasa saja. Ia belum mendengar perihal makam Mbah Ompyang yang barusan dibikin berantakan sama orang tidak bertanggung jawab. Ia tidak sabar melihat Pak Lurah terus-terusan menatap cermin yang mencetak wajahnya. Ia mendekat ke punggung Pak Lurah. "Pak Lurah, Bu Lurah sudah seminggu ini belum dikeloni, lo." Tertawa kecil, Bu Lurah mencoba mereduksi kecemasan suaminya.
"Aku belum bisa ngaceng, Bune. Ini bukan perkara biasa. Maaf, Bune, dari kemarin aku tidak menceritakan ke Bune." Tegang, Pak Lurah memegang pundak Bu Lurah.
"Ada apa, Pak?"
"Makam Mbah Ompyang dirusak!"
Bu Lurah lemas. Lalu ambruk. Bersandar di kaki ranjang. Napasnya tersengal. Kemudian menangis sejadi-jadinya. "Duh, Gusti. Pagebluk. Panjenengan jangan sampai menebar azab lagi. Cukup darah orang-orang angkatan 65 yang memerah di mataku." Air mata Bu Lurah terus berjatuhan. Pak Lurah semakin cemas. Lalu ia mengambil sepotong kain untuk diberikan ke Bu Lurah.
"Usap tangisanmu. Jangan sampai orang-orang di Balai Agung melihat tangisanmu."
Mereka berjalan beriringan menuju lautan manusia di Balai Agung. Namun dalam hati kecilnya, Pak Lurah berharap tidak akan pernah sampai di sana.
***
Rudi memacu motornya dengan kecepatan hampir maksimal. Ia tidak ingin sampai di kota malam-malam. Pertemuan dengan Jenank diagendakan selepas Asar.
Tiga jam berlalu. Rudi sudah berada di tempat yang disepakati. Tampak dari kejauhan, Jenank berjalan pelan. Bajunya tampak dipenuhi kegelapan. Batin Rudi mencetak kalimat: Ia sudah sampai tujuan.
Jenank melepas senyum ramah. Rudi meraih tubuhnya dengan cepat lalu memeluknya dengan sangat erat.
"Apa kabar, Nank?"
"Baik. Kamu?"
"Baik tapi cemas."
"Kenapa? Ada angin apa kamu ingin bertemu denganku?" Jenank membungkus dagu. Rudi menghela napas. Berat. Dan dipaksakan.
"Pertama, aku minta maaf. Sebab dulu aku selalu menertawai semua yang kamu ceritakan. Kedua, aku menyadari benda-benda yang dulu kamu sebutkan memang nyata. Gaib memang tidak bisa di-empiriskan, tapi bisa dibaca. Dititeni. Dan diselesaikan. Ketiga, aku ingin meminta penjelasan tentang Ompyang Jimbe. Aku yakin, Mbah Ompyang ya dikeramatkan di desaku berkaitan erat dengan Ompyang Jimbe-mu dulu." Panjang. Ngos-ngosan, Rudi memaksa bibirnya mengungkap semua isi kepalanya di depan Jenank.
"Hmm." Dua tangan Jenank sendekap. "Tidak bisa hari ini. Besok pagi, selepas Subuh, kamu ikut aku ke Padepokan Balung Putih; yang, jika, dari sini berjarak 20 km. Ki Jogo Nyowo memiliki penjelasan rinci tentang keris yang kamu maksud."
"Malam ini, aku akan tinggal di rumah saudara. Biar ke sananya cepat. Sebaiknya juga, malam ini kita di tempat yang sama. Aku butuh pencerahan darimu."
"Hmm." Tenang, Jenank mengangguk.
***
Pak Lurah dengan didampingi Bu Lurah tampak sangat berwibawa ketika ia mendudukkan tubuhnya di kursi yang telah disediakan. Sementara, Balai Agung mulai meredam suaranya. Hawa sumuk tiba-tiba saja menyeruak. Panasnya udara yang berembus pagi itu memantik emosional Pak Lurah berkali-kali. Ia memaksakan kedua matanya untuk tidak melelehkan air mata yang menggumpal sejak semalam. Pak Lurah lalu berdiri, urat lehernya tampak sangat tebal saat ia mulai membuka suara. Namun di ujung sana, belakang sebelah kanan, terjadi kehebohan. Ada salah seorang warga kesurupan. Gerak tubuhnya menggambarkan sebuah keris pusaka. Lalu meneriakkan Ompyang berkali-kali.
#8
Pak Lurah memanggil San Thuk dengan suara yang parau. Bu Lurah hanya bisa berteriak kebingungan. San Thuk ini bernama asli Poedji Mangkunegaran. Namun nama belakangnya sering kali mengundang protes masyarakat. Meski zaman sudah berganti modern, perihal nama masih saja diperdebatkan. Mereka kukuh, jika Mangkunegaran itu terlalu prestisius bagi sosok San Tuk yang lahir dari rahim begenggek. Tapi ibunya sudah tobat! Benar, namun nasab tidak bisa diputihkan begitu saja. Sifatnya harus turun-temurun.
Sejak perdebatan hebat itulah, Poedji Mangkunegaran harus mengubur nama aslinya rapat-rapat dan berganti rupa dengan nama San Thuk; yang berarti ceblok; jatuh keprabon. Masyarakat menjadi redam. Tenang. Sebab Mangkunegaran memang selayaknya tidak dipakai sembarangan. San Thuk datang dengan tergopoh mengahadap Pak Lurah.
"Enten dawuh, Ndoro Lurah?"
"Tolong panggil Ki Tanggono. Bilang ke beliau di Balai Agung ada yang kesurupan. Lalu menyebut-nyebut Mbah Ompyang. Aku takut, ini menjadi awal pagebluk." Suara Pak Lurah semakin parau. Ada lahar panas menghajar tenggorokannya. Ia sudah tidak peduli lagi dengan Bu Lurah yang nglimpruk lemas di kursi dengan Mbok Suruh yang terus mengusap keningnya.
"Injeh, Ndoro Lurah." San Thuk berlalu dengan cepat. Meninggalkan jejeritan ibu-ibu panik di Balai Agung.
Jalan menuju rumah Ki Tanggono memang terjal. Sejak lima tahun yang lalu, orang yang dikeramatkan itu memilih tinggal di kaki bukit. Sendiri. Keluarganya sudah tidak ada. Meninggal semua. Kesedihan yang berkepanjangan, membuat ia rajin tirakat. Dan atas usahanya itu, Sang Hyang Tunggal memberinya anugerah; karomah. Ia menjadi linuwih; Waskita. Mampu membuat perhitungan masa depan. Dunia gaib seperti tempatnya bermain.
Bahkan, konon, Dayang desa Lemah Agung berguru padanya. Termasuk ribuan Jin yang menjaga perbukitan itu. Semua menunduk hormat padanya. Karena saking keramatnya, tidak semua masyarakat desa Lemah Agung berani mendekat. Hanya kelurga Pak Lurah yang beberapa kali sempat terlihat di sana. Jika Pak Lurah menyuruh utusan untuk mengahadap kepadanya, berarti telah terjadi sesuatu yang sangat serius.
San Thuk mengetuk rumah Ki Tanggono pelan sekali. Tubuhnya yang terus berkeringat karena ketakutan tidak mampu ia sembunyikan. Pintu membuka.
"Pulanglah. Aku tidak mau terlibat perkara dengan Mbah Ompyang!"
Pintu menutup kembali. San Thuk hampir tidak bisa menguasai dirinya. Tiba-tiba saja tubuhnya terhuyung. Tapi dipaksa untuk mundur dari pintu. Kemudian memutar. Dan pergi dengan langkah yang sangat berat.
***
"Sebenarnya apa yang terjadi, Rud?"
"Ini adalah kisah lama. Terjadi sekitar hampir empat puluh tahun yang lalu. Tapi efeknya masih sampai hari ini." Rudi menjawab hati-hati. "Kata Eyangku, keris keramat Ompyang atau Mbah Ompyang itu sedang mencari tumbal tujuh turunan. Yang kelima sudah mati. Masih ada dua. Aku sebenarnya tidak peduli. Toh, itu bukan keluargaku. Namun entah kenapa, naluriku mengatakan aku harus terlibat. Aku yakin, semua misteri ini akan ada ujungnya. Tidak berhenti pada terpenuhinya tumbal saja."
"Lalu aku bisa bantu apa? Besok kita juga akan sowan ke rumah Ki Jogo Nyowo."
"Yaaaaah, minimal aku tahu apa itu Keris Ompyang. Dan membantuku memutus rantai tumbal itu."
"Baiklah. Tapi sepanjang yang aku tahu, Keris Ompyang ini hanya keris pesugihan. Ia tidak meminta tumbal. Yang diminta hanya kembang setaman yang diletakkan di kamar tengah tiap malam Jumat Pon. Tidak ada ritual khusus. Keris Ompyang tidak seperti Tuyul atau pesugihan yang lain. Beda. Keris Ompyang ini ibaratnya seperti mahabbah. Penarik rezeki. Nyoninya adem. Warnanya biru. Dan belum pernah aku mendengar, Keris Ompyang ini sudah membunuh. Di rumah pamanku saja, keris ini sering dibuat mainan anaknya."
"Kamu pernah dengar jika Keris ini Nyoninya juga sakti?"
"Masalah itu, biar Ki Jogo Nyowo yang menjelaskan. Urusan kekuatan Nyoni tidak semua orang bisa menimbang."
Keduanya lalu membujurkan tubuhnya yang kaku. Malam semakin menggelap. Tapi dua manusia itu enggan terpejam.
***
"Maaf, Pak Lurah. Ki Tanggono tidak berkenan." Takut, San Thuk melapor kepada Pak Lurah.
"Pagebluk!"
Pak Lurah meratap. Dua matanya yang panas tidak bisa ia sembunyikan. Lautan manusia di Balai Agung seperti sedang berada di pusaran gelombang. Bingung. Saling berteriak. Nama Mbah Ompyang tidak berhenti mereka rapalkan.
#9
Malam sudah hampir putus. Namun Rudi tidak ingin melewatkannya begitu saja. Ia terus mengajak Jenank berdiskusi tentang Keris Ompyang.
"Kamu itu nggak ngajak diskusi, Rud. Tapi kamu paksa aku mendongeng. Dulu, dulu sekali, aku minta kamu dengerin tentang Nyoni, kamu malah mencermahiku dengan dalil filsafat. Hahaha."
"Anggap saja, dulu aku masih tersesat, Nank!" Rudi meraih cangkir kopi hangat yang tiap mau habis diisi lagi. Rudi butuh kopi banyak. Dua matanya harus terus menyala. "Sebenarnya, Nyoni itu apa? Khodam itu apa?" Dua pertanyaan terlontar begitu saja dari bibirnya.
Jenank mengambil napas sejenak. Lalu menggeleng pelan. Lidahnya harus tersiram kopi. Mendongeng butuh asupan nutrisi yang cukup.
"Secara detail, aku tidak pernah melihatnya sendiri. Cuman aku sering dengar dari mereka yang saban hari selalu berbicara tentang benda pusaka. Menurut orang-orang itu, Nyoni itu adalah kekuatan gaib yang menyertai benda pusaka tersebut. Bisa baik. Bisa jahat. Ada juga yang bilang, Nyoni adalah sang penjaga." Dua mata Jenank menerawang mengingat-ingat sesuatu. "Dulu, aku juga pernah mencoba menjual Merah Delima. Nggak main-main. Sudah deal dengan harga lima miliar, tapi ketika mau dibayar, Nyoninya menolak. Katanya, sang Nyoni tidak ingin pindah ke tempat yang baru. Jadi, aku gagal jadi orang kaya." Jenank tertawa lepas. Rudi bingung sendiri melihat tingkah Jenank, yang tiba-tiba menjadi aneh.
Apa yang dikatakan oleh Jenank itu memang pernah ia alami sendiri. Ketika itu, ia mendapat amanat dari salah satu kerabatnya. Pemilik aslinya meninggal, yakni sepupunya sendiri. Namanya Sinal; mereka memanggilnya Gus Sinal. Lalu pusaka Merah Delima itu diwariskan ke anaknya. Karena suatu hal, dengan persetujuan anaknya, sang istri memanggil Jenank untuk dimintai tolong menjual pusaka tersebut.
Konon, Merah Delima itu adalah pemberian sepasang orang tua yang tiba-tiba saja ingin tinggal di rumah sepupunya tersebut. Sepasang orang tua tersebut tampak sangat lusuh dan kumal. Ketika ditanya asalnya, sepasang orang tua itu mengatakan jika mereka berasal dari alas Purwo. Kemudian ditanya apa tujuannya tinggal di sana. Sepasang orang tua itu diam sejenak. Lalu menatap erat hamparan langit. Bibirnya seperti merapal sesuatu. Setelah itu, mereka mengatakan bahwa mereka tidak punya tujuan apa-apa. Mereka hanya menuruti kata hati. Sepupu Jenank hanya bisa terdiam. Bibirnya seperti dikunci. Kemudian mengangguk dan mempersilakan mereka tinggal di sana sampai tiga puluh hari ke depan. Dan ketika pas di hari ke tiga puluh, sepasang orang tua itu menemui sepupu Jenank lagi sambil menyerahkan bungkusan putih tanggung; seukuran kotak arloji. Dan sebotol kecil minyak wangi. Ketika sepupu Jenank sibuk melihat bungkusan itu, mereka sudah tidak ada lagi. Lenyap. Tak ada bekas yang tertinggal dari jejaknya.
"Dulu, aku juga pernah cerita tentang sepupuku yang ada di Kediri, kan? Ialah yang mengenalkanku dengan beberapa benda pusaka yang masih dicari-cari sampai detik ini. Tapi sayang, kamu menganggapku seperti orang yang kesurupan. Padahal, aku sudah sangat berniat mengajakmu ke sana."
"Kenapa nggak sekarang saja?" Dua mata Rudi membuka lebar. Ada sedikit penyesalan di sana.
"Orangnya sudah dikubur tiga tahun yang lalu. Makanya aku mengajakmu ke Ki Jogo Nyowo."
"Apakah kemampuan Ki Jogo Nyowo sesakti Gus Sinal?" Ragu, Rudi bertanya lagi.
"Kesaktian seperti itu tidak bisa dibandingkan. Semua ada ruangnya masing-masing. Sebenarnya, yang ada hanyalah saling melengkapi. Dan perlu kamu tahu, Ki Jogo Nyowo ini berkawan akrab dengan sepupuku. Keduanya hampir tidak pernah pulang. Mereka berkeliling Nusantara dengan satu tujuan: Pusaka!"
Rudi merasa tidak enak sudah bertanya tentang kesktian dua paranormal yang sejak tadi mengakrabi telinganya.
"Lalu di mana Merah Delimanya sekarang?"
"Aku kembalikan. Aku memang suka sekali bicara tentang pusaka, tapi aku sedikit pun tak pernah punya niat menyimpannya."
"Selain Merah Delima ada apa lagi?"
"Masih ada beberapa yang lain. Tapi tidak harus hari ini kamu tahu. Ini sudah hampir pagi. Besok saja dilanjutkan."
Jenank memutuskan untuk berhenti mendongeng. Dua matanya sudah tidak bisa diandalkan lagi.
Rudi menyetujui ajakan Jenank. Masih ada hari esok. Lebih baik sekarang adalah tidur. Sebab, perjalanan baru dimulai pagi hari nanti.
***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H