***
Rudi memacu motornya dengan kecepatan hampir maksimal. Ia tidak ingin sampai di kota malam-malam. Pertemuan dengan Jenank diagendakan selepas Asar.
Tiga jam berlalu. Rudi sudah berada di tempat yang disepakati. Tampak dari kejauhan, Jenank berjalan pelan. Bajunya tampak dipenuhi kegelapan. Batin Rudi mencetak kalimat: Ia sudah sampai tujuan.
Jenank melepas senyum ramah. Rudi meraih tubuhnya dengan cepat lalu memeluknya dengan sangat erat.
"Apa kabar, Nank?"
"Baik. Kamu?"
"Baik tapi cemas."
"Kenapa? Ada angin apa kamu ingin bertemu denganku?" Jenank membungkus dagu. Rudi menghela napas. Berat. Dan dipaksakan.
"Pertama, aku minta maaf. Sebab dulu aku selalu menertawai semua yang kamu ceritakan. Kedua, aku menyadari benda-benda yang dulu kamu sebutkan memang nyata. Gaib memang tidak bisa di-empiriskan, tapi bisa dibaca. Dititeni. Dan diselesaikan. Ketiga, aku ingin meminta penjelasan tentang Ompyang Jimbe. Aku yakin, Mbah Ompyang ya dikeramatkan di desaku berkaitan erat dengan Ompyang Jimbe-mu dulu." Panjang. Ngos-ngosan, Rudi memaksa bibirnya mengungkap semua isi kepalanya di depan Jenank.
"Hmm." Dua tangan Jenank sendekap. "Tidak bisa hari ini. Besok pagi, selepas Subuh, kamu ikut aku ke Padepokan Balung Putih; yang, jika, dari sini berjarak 20 km. Ki Jogo Nyowo memiliki penjelasan rinci tentang keris yang kamu maksud."
"Malam ini, aku akan tinggal di rumah saudara. Biar ke sananya cepat. Sebaiknya juga, malam ini kita di tempat yang sama. Aku butuh pencerahan darimu."