#3
Setelah berhasil kabur dari makam keramat, tiga pemuda itu segera menghadap Mbah Pronodumekso untuk mendapatkan petunjuk selanjutnya. Langkah mereka sangat terburu, namun rumah dukun sakti itu menutup rapat. Orang yang mereka cari sedang tidak ada di tempat. Mata mereka mengedar, namun yang didapat hanyalah burung gagak tua peliharaannya yang sedari tadi mengawasi mereka.
"Sia-sia," gerutu Samad. "Jauh-jauh ke sini, malah ditinggal pergi." Sambil mengusap dahinya, Samad melanjutkan gerutunya.
"Aku yakin, Mbah Prono tahu kita datang. Tenanglah sebentar," kata Soni menenangkan. "Kita tunggu di belakang saja. Kita istirahatkan tubuh kita," ajak Soni selanjutnya. Ramin hanya diam. Dua matanya tak lepas dari barang yang ia bawa. Batinnya mencetak banyak sekali tanya.
Mereka kemudian menuju halaman belakang rumah Mbah Pronodumekso yang terteduhi pohon-pohon besar yang sudah berumur puluhan tahun. Hawa sejuk yang datang dari persawahan, semakin meneguhkan jika rumah itu tak seangker pemiliknya.
Hampir dua jam terlewat, suara orang berdehem mendarat cepat di kuping mereka. Ketiga pemuda itu bereaksi cepat. Mereka segera menuju pintu depan. Mereka tidak ingin kehilangan dukun itu lagi.
"Cepat! Jangan sampai Mbah Prono hilang lagi!" seru Soni sambil berjalan setengah berlari menuju pintu depan rumah itu. Sambil sedikit terengah, Ramin mengetuk pintu yang sedikit membuka itu.
"Masuk!" Garang, Mbah Pronodumekso memerintahkan mereka untuk masuk ke dalam rumah. "Silakan duduk."
Mereka kompak menjawab, "iya, Mbah."
Mereka duduk sangat rapat. Samad memegangi lututnya. Ia tidak ingin, Mbah Pronodumekso mengetahui jika dirinya orang paling was-was di antara mereka.
"Tenang. Dapat barangnya?" tanya Mbah Pronodumekso.