Langkah kaki seorang wanita dewasa tampak tergopoh-gopoh datang dari arah belakang sebuah rumah menuju ke halaman depan. Perasaan khawatir tampak jelas di wajahnya. Ia bergegas menghampiri suaminya yang baru pulang kerja.
Dengan nada cemas, ia berkata, "Tidak ada, Pak. Di belakang juga sudah dilihat. Padahal sudah hampir satu jam berlalu tapi belum pulang juga. Ibu sangat khawatir karena ia tidak pernah begini."
"Tadi Ibu bilang apa padanya?" tanyanya.
"Tadi Ibu memintanya pergi ke warung untuk membeli lilin. Ibu tidak bilang apa-apa karena Ibu pikir ia pasti akan pulang dengan sendirinya. Lagipula selepas maghrib seperti biasa ia pergi mengaji ke surau," jelasnya.
"Terus bagaimana, Pak. Sementara hari sudah hampir gelap," sambungnya.
"Ibu tenang dulu. Biar Bapak pergi menemui kepala desa untuk memberitahukan perihal ini," ucapnya coba menenangkan sang istri.
Ketenangan dan kedamaian desa agraris di pedalaman Jawa itu mendadak terusik oleh kabar hilangnya seorang anak perempuan di sore itu. Merespon aduan salah seorang warganya, kepala desa segera bertindak. Ia lantas menemui dan mengumpulkan seluruh perangkat desa lalu menjelaskan apa gerangan yang terjadi.
Berpacu dengan waktu yang kian mendekati malam, beberapa orang pria dewasa dan anak muda tanpa membuang waktu segera beraksi. Dengan membawa obor, lampu petromak, dan senter, mereka mulai melakukan pencarian.
Dikelilingi sebagian besar area persawahan, kampung itu tidak terlalu luas dan hanya dihuni sekitar 30-an kepala kelurga. Rombongan pencari menyisir bagian dalam lalu ke arah luar wilayah kampung sambil memanggil-manggil nama si anak yang menghilang. "Ranti! Ranti!"
Setelah hampir setengah jam berputar mengelilingi seluruh teritori desa tanpa hasil, mereka tampak patah semangat. Terdengar sayup-sayup suara adzan dari kejauhan. Langkah kaki mereka melambat lalu terhenti. Saat harapan itu seolah akan sirna, salah seorang dari rombongan itu berteriak sambil mengarahkan sorot lampu senternya ke arah jalan masuk menuju hutan karet.
"Lihat itu!" serunya dengan suara bergetar dan tangan gemetar.
Dalam remang-remang cahaya dari penerangan yang ada, terlihat sesosok tubuh yang terbujur kaku di tanah. Menyaksikan hal itu, sang bapak bergegas langsung mendekat dan menghampiri dengan perasaan campur aduk. Dengan penuh kehati-hatian, ia coba membalikkan tubuh yang tertelungkup itu untuk membuktikan jika benar itu adalah anaknya.
"Ranti, anakku!" serunya begitu emosional sambil memegang lehernya untuk memastikan nadinya masih berdenyut.
"Bertahanlah, Nak! Bapak akan membawamu pulang," ucapnya haru sambil menggendongnya seraya meninggalkan tempat tersebut diikuti para relawan pencari.
Â
.......
15 tahun kemudian
Di tengah kesibukannya mengerjakan skripsi pada pertengahan tahun 2001, perempuan muda itu dikejutkan oleh sebuah SMS misterius yang masuk ke inbox HP-nya. Belum hilang keheranannya bagaimana nomornya bisa diketahui oleh orang lain, ia bertambah heran dengan isi SMS itu. Isinya berupa tawaran kerja merawat manula.
Ia hanya mengabaikannya. Selain aneh, SMS semacam itu identik dengan hoax atau penipuan seperti yang banyak beredar luas di masa itu. Meski begitu, ada rasa penasaran dalam dirinya. Dan hal itu tidak mudah untuk ditepis begitu saja karena cukup mengganggu pikirannya.
Harus diakui, ia memang sedang mencari kerja sampingan untuk menambah uang saku sekaligus mengisi waktu luang. Saat itu lembaga pendidikan tempatnya mengajar freelance sedang dalam masa liburan sekolah. Para siswanya pun ikut libur. Jadi SMS itu kebetulan sekali baginya.
Menurutnya tidak ada salahnya jika mencoba bertanya ke si pengirim SMS. Toh, ini hanya basa-basi biasa yang umum ada di masyarakat. Setidaknya dahaga penasarannya bisa terpuaskan. "Kalaupun ternyata meleset dari harapan, tidak apa-apa juga," ujarnya dalam hati.
Setelah dipikir-pikir, akhirnya ia memberanikan diri untuk bertanya balik. Tak disangka, ia mendapat jawaban yang diluar dugaan. Si penerima SMS, begitu responsif dan meyakinkan. Bahkan imbalan yang ditawarkan sangat memikat. Membuatnya jadi tergoda.
.......
Diiringi hangatnya sinar mentari pagi, perempuan muda itu tampak bersemangat saat menyusuri jalan yang beraspal rata itu. Sambil sesekali melepas pandangan ke kanan dan kiri, ia memperhatikan sekelilingnya dengan saksama. Tak lama kemudian langkahnya terhenti di depan sebuah rumah. Ia menatap lekat-lekat rumah tersebut.
"Nomor 88! Tidak salah lagi," ujarnya memastikan sambil melihat alamat di HP-nya.
Di malam sebelumnya, setelah berpikir panjang ia akhirnya memutuskan menerima tawaran itu. Meski sempat maju mundur, ia sudah merasa bulat dengan keputusannya. Alasannya sederhana, penasaran. Tanpa mencoba, ia tidak akan pernah tahu dan selamanya akan dibayang-bayangi oleh rasa penasaran.
Dari luar, rumah tua dua lantai itu terlihat kurang terawat. Kesan terbengkalai dan telantar spontan langsung muncul. Sontak suasana hatinya mendadak berubah. Namun, ia berusaha untuk tetap tenang dan fokus pada rencana awal yang telah dibuat.
Dengan langkah pasti, ia menuju pintu pagar rumah yang tingginya mencapai dua meter itu. Saat diperhatikan, pintu gerbang swing-nya ternyata tidak dislot.
"Mungkin sengaja dibiarkan seperti itu karena si tuan rumah tahu jika ada tamu yang akan berkunjung hari ini," gumamnya.
Tanpa meminta izin lebih dulu, ia putuskan untuk langsung masuk. Pintu gerbang besi yang sudah berkarat itu cukup seret saat hendak dibuka sehingga menimbulkan suara berderik. Suasana hatinya kembali berubah saat melangkah masuk ke pekarangan rumah yang tampak penuh rumput dan tanaman liar.
Sambil meyakinkan kembali dirinya, ia mengetuk pintu rumah itu. Setelah beberapa saat menunggu, tiba-tiba saja. "Sreeek!" Pintu rumah itu terbuka. Berharap si tuan rumah muncul dan  menyambut dirinya, yang terjadi malah sebaliknya. Tak ada siapapun yang terlihat.
"Halo! Permisi! Apa ada orang?" ulangnya beberapa kali dengan nada cemas tetapi tidak mendapat jawaban.
Belum hilang kekagetannya, ia mendadak dikejutkan oleh seseorang yang mendekatinya dari belakang tanpa disadari.
"Ehm!" sapa pria itu.
"Maaf," jawabnya terperanjat menoleh ke pria itu.
"Saya Ranti, Pak. Yang mau bekerja disini," ungkapnya.
"Oh ya. Silahkan, masuk!" jawabnya dengan wajah dingin.
"Terima kasih," balasnya lalu masuk ke rumah.
Berbagai keanehan seketika ia rasakan saat di dalam rumah. Seperti suasana gelap yang disebabkan seluruh gorden yang ditutup rapat. Udara yang terasa pengab dan sesekali tercium aroma asap dupa. Selain itu, seluruh perabotan dan pajangan tampak berdebu termasuk sofa yang ia duduki. Semua keanehan itu membuatnya bertanya-tanya kemana gerangan si penghuni rumah.
Dalam sepi dan sendiri, lima menit yang berlalu itu terasa seperti lima jam. Sementara orang yang ia harapkan untuk bertemu, belum juga muncul. Teringat pada pria misterius yang ditemui tadi, ia segera bangkit dan keluar menuju teras.
"Siapa dia? Kenapa ia raib? Kemana gerangan perginya?" gumamnya.
Dalam kegalauannya, ia terperanjat oleh bunyi HP-nya. Sebuah SMS masuk dari si  pemberi tawaran kerja. Di SMS pertamanya, ia memperkenalkan diri sebagai Ibu Hilda.
"Terima kasih sudah datang. Maaf telah menunggu. Saya sangat menghargai kesediaan anda untuk melakukan pekerjaan ini. Hari ini anda tidak perlu kerja dulu. Besok saja mulainya. Ada yang ingin ditanyakan?" katanya.
"Maaf, saya pikir saya akan bertemu Ibu disini," tanyanya.
"Saya ada di luar kota. Itu rumah Mama saya. Di rumah itu semua sudah ada yang mengurus. Sekarang jadi bertambah dengan kamu," jawabnya.
"Maaf, saya tidak melihat siapapun kecuali seorang pria yang tadi saya temui saat datang. Tapi sekarang ia sudah tidak terlihat lagi," ujarnya.
"Besok akan saya jelaskan kembali. Apakah anda tetap pada komitmen awal? Karena jika tidak, saya akan cari orang lain sebagai pengganti," ungkapnya terkesan mengelak dan menggertak.
"Saya masih komit," ucapnya ragu.
"Baiklah. Oh iya. Mengenai honor, separuhnya akan ditransfer setiap pertengahan bulan. Sisanya di akhir bulan. Silahkan, anda boleh pulang sekarang," perintahnya.
"Baik, terima kasih," pungkasnya menutup obrolan via SMS itu.
.........
Bertempat di sebuah kosan putri, seorang laki-laki tampak sedang duduk menanti seseorang di penghujung sore itu. Ranti yang sudah dikabari kedatangannya, bergegas keluar dari kamarnya di lantai atas menuruni tangga untuk menyambut tamunya. Di guest lounge itu, keduanya bertemu dan bercengkerama.
Bagas sudah seperti kakak sendiri bagi Ranti. Selain berasal dari daerah yang sama, keduanya sudah saling kenal sejak SMA karena dari satu sekolah yang sama. Meski sempat berpisah dua tahun, hubungan keduanya menjadi dekat dan akrab saat Ranti merantau ke Jakarta. Ia mengikuti jejak Bagas dengan kuliah di universitas yang sama tapi beda fakultas.
Banyak hal yang Bagas perbuat untuk Ranti saat awal ia berada di Jakarta. Menemaninya mendaftar ke kampus, mencarikan kosan, mencari berbagai keperluan kuliah atau sehari-hari adalah beberapa contoh diantaranya. Karena itulah, Ranti merasa berutang budi dan menaruh hormat padanya. Bagas yang kini bekerja di sebuah bank, sesekali mampir ke tempat Ranti seperti yang dilakukannya di sore itu.
"Gimana skripsimu, Ran?" tanyanya.
"Masih pengolahan data, Mas.. Doain aja bisa sidang secepatnya," jawabnya.
"Syukurlah. Mudah-mudahan bisa wisuda akhir tahun ini ya," katanya.
"Iya, Mas. Aamiin," sahutnya.
"Omong-omong, saya baru dapat kerja part time loh, Mas," lanjutnya.
"Oh ya? Bagus itu. Kerja apaan?" tanggapnya.
Â
"Katanya sih merawat manula," ucapnya.
"Hah! Kamu serius? Maksudku merawat manula kan bukan pekerjaan yang gampang. Apa sudah dipikirkan baik-baik?" tanyanya tampak heran.
"Saya juga sempat ragu awalnya. Tapi tak ada salahnya kan jika dicoba. Tadi pagi saya sudah mendatangi rumahnya tapi belum mulai kerja. Katanya besok," tuturnya.
"Kalau boleh saran, kegiatan apapun diluar kuliah pada dasarnya boleh-boleh saja asalkan tidak mengganggu studi. Kalau kamu merasa berat atau terbebani, jangan paksakan diri. Sebaiknya kamu lepas saja pekerjaan itu. Itu sih menurut aku," paparnya.
"Iya, Mas. Saya juga berpikir begitu," ujarnya tersenyum.
"Udah ya. Aku pamit dulu. Oh ya, ini buat kamu," katanya sambil melirik bungkusan yang ditaruh di atas meja.
"Makasih ya, Mas. Udah mau mampir. Juga oleh-olehnya," ucapnya sambil mengantar keluar.
........
Pagi yang cerah itu, Ranti kembali mendatangi rumah itu. Meski tidak lebih bersemangat dibanding hari sebelumnya, ia sangat berharap semua pertanyaan dalam dirinya dapat terjawab di hari itu. Keputusannya belum berubah. Selain karena penasaran, iming-iming honor yang ditawarkan seperti magnet penarik bagi dirinya.
Akan tetapi, seperti pesan  Bagas, ia tidak akan memaksakan diri melakukan pekerjaan itu jika ternyata diluar kemauan dan kemampuannya. Lagipula pekerjaan itu hanya bersifat sementara saja. Kalaupun bertahan, paling lama hanya dua bulan saja. Saat tahun ajaran baru tiba, ia akan kembali mengajar di tempat lesnya.
Suara berderik kembali terdengar saat pagar swing berkarat yang tidak dislot itu didorong. Pandangannya kemudian tertuju pada pintu rumah tersebut. Berusaha melupakan peristiwa janggal kemarin, ia coba memberanikan diri.
Sesaat sebelum mengetuk pintu di hadapannya, saku celana panjangnya tiba-tiba bergetar diiringi nada dering HP. Sebuah SMS dari Bu Hilda masuk berisi kabar yang ditunggu-tunggunya.
"Apakah anda sudah ada di tempat sekarang?" tanyanya.
"Ya. Saya sudah datang," jawabnya.
"Terima kasih saya ucapkan kembali atas kesediaannya menerima pekerjaan ini. Saya sangat menghargainya. Baiklah, kita langsung ke inti masalah. Terkait tugas dan tanggung jawab anda selama bekerja disini. Anda hanya melakukan tugas seperti yang diminta. Mengenal apa tugasnya akan diberitahukan setiap pagi. Hari kerja setiap hari kecuali Minggu. Jam kerja tidak mengikat. Begitu selesai dari tugas yang diberikan, anda boleh langsung pulang. Jika ingin mengundurkan diri, harap sampaikan paling lambat dua minggu sebelum waktunya out. Ada yang ingin ditanyakan?" paparnya.
"Terkait tugas harian. Seperti apa tugas yang akan saya terima?" tanyanya.
"Tugas harian anda bisa sama bisa juga beda bentuknya setiap hari. Seperti hari ini anda cukup membersihkan dan merapikan ruang tamu saja. Besok dan seterusnya, tinggal tunggu kabar dari saya. Apakah jelas?" tuturnya.
"Ya. Bagaimana dengan tugas merawat manula seperti di SMS awal yang Ibu kirim?" tanyanya.
"Tugas itu sudah ada yang mengurus untuk saat ini. Tapi tidak menutup kemungkinan, suatu saat nanti anda ditugaskan untuk itu. Tak ada salahnya jika anda bersiap-siap dengan kemungkinan tersebut," jelasnya.
"Ada satu hal lagi yang ingin saya tanyakan jika boleh," imbuhnya.
"Silahkan!" katanya.
"Darimana Ibu dapat nomor HP saya?" tanyanya.
"Perlu diketahui, banyak orang yang bekerja pada saya. Seperti halnya anda sekarang. Banyak informasi yang saya peroleh dari mereka. Termasuk nomor HP. Masih ada pertanyaan lagi?" tanyanya seperti buru-buru ingin menyudahi.
"Sementara itu saja," tukasnya.
"Baiklah. Oya, pintu itu tidak terkunci. Silahkan, masuk saja! Selamat bekerja!" ujarnya.
"Baik. Terima kasih," tutupnya.
.........
Kesan suram, gelap, dan pengab, kembali ia rasakan saat pintu rumah itu terbuka. Kecemasan seketika meliputinya. Dengan langkah berat, ia menapak masuk ke ruang tamu itu. Jantungnya berdebar disertai nafas yang tidak beraturan saat ia memperhatikan kondisi ruang itu dalam keremangan.
Namun tekadnya yang keras telah mengalahkan kecemasannya. Apa yang diperolehnya dari pembicaraan dengan Bu Hilda di pagi itu, sedikit banyak telah memacu dan menguatkan dirinya. Sebagian keraguannya sudah terjawab namun sebagian lagi masih menjadi tanda tanya. Namun satu yang pasti, Bu Hilda telah memberinya kepercayaan yang sudah semestinya tidak disia-siakan.
Merasa tersemangati, dengan segera ia meraih dan menyingkap seluruh gorden di ruang itu. Seketika suasana terang dan cerah menyinari seluruh sudut ruangan. Rasa was-was dan takut yang sempat melandanya, berangsur reda.
Dalam kondisi terang benderang, tampak jelas ruang itu penuh dengan banyak barang dan pajangan yang berdebu dan sarang laba-laba dimana-mana. Memperkuat dugaan jika rumah itu tidak dihuni alias kosong untuk sekian waktu lamanya.
"Yang perlu aku lakukan hanyalah menunaikan tugasku. Selesai tugas, pulang. Itu saja. Jangan berpikiran yang macam-macam!" gumamnya.
Menyaksikan kekacauan di hadapannya, ia bingung harus mulai darimana. Saat bersamaan HP-nya tiba-tiba berbunyi. Sebuah SMS susulan datang dari Bu Hilda seakan tahu apa yang sedang ia pikirkan. "Semua alat dan perlengkapan kebersihan ada di gudang sebelah dapur. Tks," pesannya.
Sambil mengerjakan tugasnya, pikirannya mengawang-awang. "Jika rumah ini kosong, kenapa Bu Hilda tidak terus terang saja. Kenapa harus ditutupi? Apakah ada maksud tertentu?"
Pandangannya tertuju pada sebuah lukisan besar yang dipajang di salah satu dinding. Lukisan itu memuat gambar seorang wanita muda dan cantik seperti keturunan Eropa. Mengenakan kebaya, ia duduk di kursi sambil tersenyum. Bermata hijau dan berambut hitam tergerai ke belakang, parasnya elok rupawan dan sedap dipandang. Namun bagi Ranti, tatapan tajam si wanita lama-kelamaan membuatnya bergidik.
"Siapakah dia? Adakah kaitannya dengan rumah ini?" ujarnya sambil beralih dari lukisan misterius itu.
Selain lukisan itu, ada tiga lukisan lainnya yang seukuran. Banyak sekali barang atau benda seni dan kuno di ruang itu. Ada keris, artefak, foto, replika, miniatur, porselen dan keramik berupa guci, piring, patung serta masih banyak lagi. Layaknya seperti museum saja, seluruh barang itu dipajang di atas meja, dalam lemari, dan digantung di dinding. Seakan si pemilik rumah ingin menunjukkan jika ia seorang kolektor dan pecinta benda seni dan antik sejati.
Satu per satu benda-benda itu dibersihkan dengan hati-hati. Termasuk sebuah cermin yang berbingkai kayu jati setinggi orang dewasa. Tanpa terasa hampir tiga jam berlalu, tugasnya bisa dirampungkan sesuai waktu yang ditargetkan. Sambil menghela nafas panjang, ia memperhatikan hasil kerjanya seraya tersenyum puas.
.......
Pagi itu, Ranti kembali pada rutinitas part time-nya. Tak terasa sudah dua minggu ia berkerja di rumah itu. Meskipun awalnya terasa sulit, ia masih bertahan. Alasannya bukan semata-mata karena imbalan. Namun sepertinya tidak ada alasan untuk menolak tawaran kerja itu karena berbagai pertimbangan yang cenderung mengarah kesana.
Seperti biasa, Bu Hilda mengirimnya SMS. Namun hari itu pesannya agak berbeda dibanding hari-hari sebelumnya.
"Selamat pagi! Hari ini honor paruh bulan anda akan ditransfer. Pastikan rekening anda valid dan aktif. Semoga tetap semangat bekerja dan betah!" katanya.
"Terima kasih, Bu," jawabnya dengan suka ria.
"Untuk tugas hari ini, membersihkan lantai atas. Semua ruangan dibersihkan kecuali kamar yang terletak di pojok dan terpisah sendiri. Ingat baik-baik! Jangan pernah masuk kamar itu! Paham!" ucapnya seperti mengancam.
"Baik, Bu," jawabnya sedikit kaget dengan nada bicara Bu Hilda yang terkesan galak itu. Â
Meski sudah setengah bulan bekerja di rumah itu, ia belum pernah menyambangi lantai atas. Selama ini tidak ada keperluannya untuk hal tersebut. Itu sebabnya ia belum pernah naik kesana.
Aroma asap dupa yang tidak diketahui asalnya, tiba-tiba terendus kembali saat ia hendak mengambil alat-alat kebersihan. Dari beberapa kali kejadian, aroma itu bisa hilang dalam sekejap atau muncul kembali di hari lain. Karena sibuk dengan tugasnya, ia tak terlalu ambil pusing akan hal itu. Ia hanya peduli dengan pekerjaannya.
Terdengar suara berdecit saat kakinya menapaki satu per satu anak tanggga kayu berbentuk letter u itu. Kondisi lantai atas yang baru pertama kali ia sambangi itu, mirip saat pertama kali ia disuruh untuk membersihkan ruang tamu. Seluruh perabotannya tertutup debu dan kotoran. Tanpa banyak mikir, ia langsung mengerjakan tugasnya.
Mendadak pandangannya tertuju pada kamar yang berada di pojok. Dengan refleks ia berjalan mendekat dan dikejutkan oleh sesuatu. Semakin dekat ke kamar itu, semakin jelas suara itu terdengar. Dari dalam kamar itu terdengar sayup-sayup seperti suara tv.
"Kenapa ada seperti suara tv? Adakah orang di dalamnya? Kenapa Bu Hilda melarang masuk ke kamar itu? Entahlah itu bukan urusanku," gumamnya lalu kembali bekerja.
Tak lama berselang, dari luar rumah terdengar bunyi tidak biasa. "Ctek, ctek, ctek!" Bunyi itu berulang-ulang diselingi sesekali suara orang batuk. Dengan spontan ia turun dan menuju ke depan rumah untuk mencari tahu sumber bunyi tersebut.
Tampak seorang pria sedang menggunting rumput di halaman depan. Dan yang mengejutkan pria itu tidak lain adalah orang yang ia temui saat datang pertama kali ke rumah itu.
Dengan gentar Ranti menyapanya, "Pagi, Pak!"
"Eh, Neng!" ucapnya kaget seperti tak menyangka.
"Masih kerja disini?" lanjutnya buru-buru.
"Iya," jawabnya.
"Sejak waktu itu?" tanyanya tampak heran.
"Iya. Kenapa, Pak?" imbuhnya.
"Gak apa-apa," sahutnya.
"Maaf, Bapak ini siapa?" tanyanya.
"Oya kita pernah ketemu sebelumnya tapi saya belum memperkenalkan diri. Saya Pondi. Tukang kebun disini," ungkapnya.
"Sudah lama kerja disini, Pak?" tanyanya.
"Dari dulu. Yang kerja disini kayak Neng sekarang ini dulunya banyak. Tapi gak pada lama. Selalu gonta-ganti," sambungnya.
"Oh gitu. Omong-omong, rumah ini kosong ya, Pak?" tanyanya.
"Dulu ditempati. Setelah Nyonya wafat, Non Hilda lalu pindah. Tapi saya sendiri tidak tahu pindah kemana," jelasnya.
"Apakah Nyonya keturunan Eropa, Pak?" tanyanya.
"Ya, betul. Salah satu orangtuanya dari Belanda," tukasnya.
"Mungkin ini terdengar konyol. Selama Bapak kerja disini, apa ada hal-hal aneh yang terjadi," tanyanya serius.
"Saya sih gak peduli kata orang. Mau bilang disini seram, angker, horor, berhantu, atau apalah. Bodo amat. Yang penting bagi saya dapat gaji. Udah ya, Neng. Saya mau lanjut lagi," ujarnya menyudahi obrolan.
.......
Malam itu Ranti terlihat rapi dan bersiap untuk berangkat dari kosannya. Lewat SMS-nya, Ranti bermaksud untuk menemui Bagas sekaligus meneraktirnya di sebuah restoran. Ia ingin berbagi sedikit kebahagian setelah memperoleh gaji dari kerja part time-nya.
Sambil menikmati makanan yang dihidangkan, keduanya mengobrol santai dan akrab.
"Makasih sudah repot-repot meneraktir. Gimana part time-nya sejauh ini, Ran?" tanyanya.
"Sebenarnya pekerjaannya sih tidak berat. Malah saya senang melakukannya. Tapi ada hal-hal yang belum saya pahami hingga detik ini," katanya seperti curhat.
"Apa itu?" tanyanya.
"Saya belum pernah ketemu Bu Hilda langsung. Selama ini kami hanya berkomunikasi lewat SMS saja. Sementara SMS kan terbatas hanya untuk hal-hal yang perlu dan penting saja," jawabnya.
"Mungkin memang seperti itu cara kerjanya, Ran. Ikutin aja selama tidak merugikan. Betul gak?" ucapnya.
"Iya sih tapi Bu Hilda tidak berterus terang kenapa rumah itu kosong bertahun-tahun. Kita kan yang bekerja disitu berhak juga untuk tahu agar tidak berpikiran yang bukan-bukan," ungkapnya.
"Pernahkah ditanyakan perihal itu kepadanya?" tanyanya.
"Sedari awal tapi tidak dijawab dan ia terkesan mengelak. Ia hanya mau membicarakan seputar pekerjaan saja," ujarnya.
"Terus gimana dengan tugas merawat manula sepert di SMS pertamanya," tanyanya.
"Sejauh ini sih belum ada. Dan saya berharap tugas itu memang tidak ada," jawabnya.
"Seperti gimmick untuk menutupi maksud sesungguhnya ya. Karena kalau dibilang mengurus rumah kosong, tentu siapapun tidak ada yang mau. Iya kan?" ungkapnya.
"Betul. Saya sendiri merasakan hal-hal yang tidak wajar selama disana," sahutnya.
"Maksudmu semacam hal-hal supranatural begitu?" ucapnya penasaran.
"Iya. Seperti aroma dupa yang dibakar tiba-tiba menyeruak lalu hilang. Suatu ketika bisa ada lagi. Selain itu, ada juga cermin besar. Yang aneh darinya adalah kenapa permukaannya cepat sekali tertutup debu padahal sudah dibersihkan di hari sebelumnya. Besoknya sudah berdebu lagi," jelasnya.
"Kedengarannya cukup menyeramkan, Ran?" ujarnya seperti tak yakin.
"Mas mungkin gak percaya dengan cerita saya dan mengira saya berhalusinasi. Pernah suatu hari saya ketinggalan botol minum. Saya ingat persis botol itu ditaruh di ruang tamu. Tapi keesokan harinya botol itu ada di dapur. Padahal saya jarang kesana. Terakhir baru-baru ini, sesuatu yang aneh muncul dari kamar atas. Dari dalamnya terdengar seperti suara tv. Di SMS-nya, Bu Hilda melarang keras saya untuk masuk kesana," paparnya.
"Dengan semua keanehan itu, apa kamu gak merasa takut," tanyanya.
"Perasaan takut pasti ada, Mas. Tapi mungkin teralihkan oleh kesibukan saya. Dan saya lebih peduli dengan pekerjaan saya daripada hal-hal begitu," tukasnya.
Selesai makan malam yang mengesankan itu, keduanya langsung pulang. Mengendarai motornya, Bagas mengantar Ranti ke kosannya. Keduanya tampak bahagia namun sebenarnya ada kecemasan dalam diri mereka. Terkait pekerjaan Ranti, keduanya berharap semoga segera ada penyelesaiannya.
"Ran, aku khawatir padamu. Maukah kau berjanji padaku untuk tidak meneruskan pekerjaan itu jika tidak lagi merasa nyaman atau betah," ucapnya sesaat Ranti turun dari motor.
"Iya, Mas. Aku janji," sahutnya sambil mengisyaratkan dua jari.
"Makasih traktirannya," ujarnya lalu memacu motornya.
Ranti hanya tersenyum sambil melambaikan tangan ke Bagas yang mulai menjauh dari pandangannya.
(BERSAMBUNG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H