“Kenapa ga to the point aja, sih? Abis ini saya harus kemana lagi? Kenapa urusan Jempol Setan aja jadi bikin rempong pake bingits begini, sih!” kesal Ben.
Kacrut terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang kadang kotak kadang segitiga itu.
“Dasar anak muda. Baru diberi ujian begitu saja sudah mutung…”
Sadar akan kesalahannya, Ben langsung meminta minum. Sebab bagaimana dia bisa meminta maaf dengan khidmat, jika tenggorokannya begitu dahaga?
Entah berapa lama Ben berkelana mencari Kyai Terong Gosong, ketika akhirnya dia sampai juga di kediaman Sang Kyai. Namun apa lacur, gubuk Sang Kyai ternyata kosong walau tak gosong apalagi berbentuk terong, membuat Ben terduduk lemas di pintu depan.
Baru saja Ben ingin nggresula, ketika tahu-tahu ada sepotong kertas seperti luruh dari langit dan langsung menutup wajahnya, membuat Ben berjumpalitan memasang kuda-kuda serta benteng, lalu mengajak Mbah Mupeang untuk tanding catur tanpa pengaturan skor seperti yang belum lama ribut-ribut dispeakeri oleh PSSI, sambil bersiap menunggu serangan gelap musuh sambil merenungi bidak catur.
Tunggu punya tunggu hingga bidak terakhir Ben dimakan oleh Mbah Mupeang yang belum sarapan, tetap tak ada kejadian lanjutan. Akhirnya Ben memungut kertas tersebut, yang berisi rangkaian kalimat beraksara pegon.
“Kembalilah ke Tebing Jomblo Bernyanyi, ambil buli-buli kopi peram yang tersimpan di tepi danau. Minum kopi peramnya, lalu bacalah petunjuk terakhir di bagian bawah buli-buli.”
Seperti mau menangis Ben membaca kertas tersebut. Hatinya berontak. Ia merasa Tuhan amat tak adil karena mengirim Mahaguru Jati sebagai tokoh perantara dalam ending fikber ini, sebab kejahilan King of Habul itu memang cukup terkenal, membuatnya berpindah-pindah dari satu titik kehidupan menuju noktah kenangan yang lain, untuk kemudian akhirnya kembali lagi ke titik semula.
Tapi bukan Ben namanya jika mudah menyerah. Karena jiwa fitrahnya mengatakan, tak mungkin Tuhan mengirim cobaan tanpa hikmah dibalik kejadiannya. Bukankah setiap lakon manusia telah tertulis di Kitab Lauh Mahfudz, bahkan jauh waktu sebelum manusia tersebut diciptakan? Sungguh Maha Sempurna Perencanaan-Nya, walau sayangnya manusia selalu urung menafakuri segala takdir-Nya dengan sesungguh ikhlas, bathin Ben dengan amat religius.
Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Ben kembali ber-ke-la-na dengan gaya Satria Bergitarnya Rhoma Irama.