Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber 3] Manunggaling Kawulo lan Fiksi

30 November 2015   23:58 Diperbarui: 1 Desember 2015   04:27 335
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sambil berjalan pulang Ben sibuk menimbang, masa sih, hanya dengan air seni yang mengandung senyawa jengkol nan wabau, jempol setan dapat dimusnahkan? Benar-benar hil yang amat mustahal!

Penasaran, Ben berbalik ke tempat semula. Jangan-jangan Ibu Yerekim berbohong…

Tak  perlu waktu lama untuk Ben kembali melihat Ibu Yerekim, yang ternyata masih asyik duduk di taman.

Tapi baru saya dia ingin memanggil, ketika sesuatu yang luar biasa aneh terjadi pada Ibu Yerekim.

Dilihatnya wajah oriental setengah baya itu meleleh. Tubuhnya membengkak dan penuh bulu ijuk, dengan mata sipitnya yang kini mirip beluluk, kontal-kantil tak karuan persis mata yuyu.

Dan ketika tangan dan kaki Ibu Yerekim melekat satu sama lain, Ben memekik tertahan.

“Jempol Setan!”

Secepat angin Ben berlari keluar kampung.

Dengan menggunakan ginkang ajaran almarhum Ki Plenyun, hanya butuh beberapa detik bagi Ben untuk kembali ke episode yang sebelumnya, dan melabrak King of Habul yang masih saja sibuk mengelus-elus kucing pink samarannya.

“Gimana sih, Mas Jati? Kalo ngasih petunjuk yang bener, dong, masa saya malah dibantalin ke jempol setan!” protes Ben dengan tingkat emosi yang mencapai titik erupsi paling njelehi.

“Lho? Siapa yang ngasih petunjuk, Ben? Saya kan cuma ngomong –Apa kabar, Ben?” sanggah King dengan amat piawai, sambil #tetapkalem memetiki bulu-bulu kucingnya yang sekilas mirip dawai.

Eh, benar juga, pikir Ben. Berarti sejak awal Mbak Mike yang salah menafsirkan ucapan Si King di episode yang sebelumnya.

“Terus, saya harus gimana, ini?”

“Coba tanya sama penulis episode Ritus ini,” tunjuk Mahaguru Jati ke arah Mariam Umm, membuat Si Bund alias Sisi kembali deg-degan seperti waktu menunggu giliran melanjutkan fikber.

“Saya ga tau, Ben, saya cuma merunut asal kisah dari Bay Si Pendekar Fiksi,” gugup Mariam Umm menunjuk Bay, yang langsung mendekap mulut karena sosok yang penampakannya tak pernah berubah dan selalu menunduk itu kini tak lagi berada di tempat semula.

“Di-di mana Bay, tadi ada di sini, kok, beneraaannn…” gugup Mariam Umm.

“Terang aja Si Bay raib, Si, lha foto profilnya kan sekarang dah berubah, jadi tak sesuai lagi dengan penggambaran karakter tokoh di episodemu yang kemarin,” terang Mahaguru Jati.

“Berubah jadi apa, King?” surprise Mariam Umm.

“Tuh… liat aja ndiri. Yah… Mirip-mirip bule rada brekele dikitlah…” sahut Mahaguru Jati, yang masih saja asyik mengutili bulu kucing kesayangannya, membuat Ben rada ilfil jika ingat karakter Nero yang kadang kucing kadang pria sekong itu. Jangan-jangan si King of Habul ini…

“Coba kau cari Si Bay di Tebing Jomblo Bernyanyi,” saran Mahaguru Jati, yang langsung Ben amini tanpa banyak basa-basi.

Kali ini Ben tak memakai ginkang. Tubuhnya berputar layaknya tarian para sufi, hingga pada suatu titik Ben mengalami kondisi trance.

Tuing! Tuing! Ziingggg!

Sampailah Ben di postingan cersil usil. Tapi belum lagi Ben melakukan apapun, ketika dihadapannya terpampang pemandangan yang amat menakjubkan.

“Keren…! Vote: Inspiratif…!” tanpa sadar Ben berseru. Dilihatnya sepasang pendekar tengah berpusing dua arah. Pada bagian bawah, sosok angkuh berhidung gondrong tengah berpusing berlawanan jarum jam, sambil melontarkan pukulan ke seluruh penjuru. Sementara dibagian atas tubuhnya yang berjarak sehasta, seorang pendekar wanita cantik justru berputar ke arah sebaliknya, sambil memainkan tarian pedang hujan yang menyerupai kilau pelangi.

Sret! Des!

Ben terlonjak ketika mata pedang dan ujung kepalan mengancam tenggorokan dan dadanya.

“Siapa kisanak?” tanya si sosok angkuh berhidung gondrong tersebut dengan pandangan penuh kewaspadaan.

Agak tergeragap Ben menjawab, “Maaf menggangu. Saya bukan kisanak juga bukan kesemek. Saya Ben, dan saya sedang mencari Bay teman saya.”

Sosok angkuh berhidung gondrong tersebut saling memandang sejenak dengan sang pendekar wanita.

“Kau kenal dia, Na?”

“Tidak, Bay. Tapi bisa jadi dia adalah mata-mata Si Rambut Perak?”

Sosok angkuh berhidung gondrong menatap Ben dengan pandangan menyelidik.

“Saya yang bernama Bay. Ada perlu apa kau mencari saya?”

Bukannya menjawab, Ben justru melongo.

Ini Ando Ajo bagaimana, sih? Katanya karakter Bay berpenampakan kurus dengan potongan rambut ala Andy Lau di era 90-an. Lha, ini malah justru mirip Andy Lau dalam film kungfu yang bareng Bibi Liong Lie. Mana gondrong pula. Jadi bingung…

Atau, jangan-jangan, saya yang salah masuk postingan ini? Pikir Ben sambil langsung kembali menemui Mahaguru Jati guna memohon petunjuk selanjutnya, agar sang papa tak sekedar berhasil minta saham, namun turut nyemplung pula dalam perebutan minyak dunia berkedok pemberantasan ISIS... #Eh…

“Ternyata Si Bay sekarang gondrong, King, Bund…” ucap Ben dengan napas yang agak tersengal, karena memang agak melelahkan juga ketika harus berperan sebagai jumper dari satu postingan ke postingan yang lainnya.

“Kamu tadi dikerjain Mas Jati, Ben, karena Bay yang itu memang Tokoh Pendekar di serial silat usil menyentil,” terang Mariam Umm sambil menahan tawa. Sementara Mahaguru Jati hanya tergelak sambil memegangi perutnya yang tumpah kesana-kemari.

“Haddeeehhh… Dah serius-serius malah dikerjain… Jadi sekarang bagaimana dong ini, King…?” dumel Ben.

Untuk keperluan pencitraan bagi anak cucu di masa mendatang, Mahaguru Jati sontak mengubah posisi duduknya hingga menjadi begitu tegak. Kedua kakinya dilipat saling tumpuk layaknya arca pengikut Budha sejati. Dan dengan tangan yang mengelus-elus janggut khayalnya secara zig-zag, Mahaguru Jati memberi pencerahan.

“Sebenarnya ada satu hal yang mampu menamatkan riwayat Jempol Setan,” petuah Mahaguru Jati dengan gaya yang penuh rahasia, membuat sinar mata Ben yang guram kembali pijar.

“Apa itu, King?”

Dengan menyeringai seram-seram lucu Mahaguru Jati menjawab, “Blup.”

Ben mengerut jidat sambil memainkan alisnya naik turun seperti komedi ombak, tapi tetap saja dia tak paham bahasa yang digunakan Mahaguru Jati.

“Benda apa itu, King, dan dimana saya bisa menemukannya?”

Mahaguru Jati kembali menyeringai. Dan sambil melelet-leletkan lidah beliau menjawab penuh semangat yang membara.

“Untuk menemukannya, kau harus menemui orang yang paling syaraf sedunia dulu, Ben.”

“Waah… kalo itu mah kecil, King. Bukankah sekarang saya sedang menemuinya?” gelak Ben.

Mahaguru Jati mendelik.

“Kau pernah digaplok orang ganteng belum, Ben?”

“Pernah. Bahkan saya selalu menampar diri saya sendiri setiap hari ketika ritual kopi pagi,” kikik Ben tak mau kalah, membuat Mahaguru Jati akhirnya mengalah.

“Udah, ah, Ben, kita serius dikit biar kayak orang benar,” ujar Mahaguru Jati.

Ben nyengir keren. Lha, bukannya memang selama ini nyaris semua orang hanya mirip orang benar?

“Pergilah kau menemui Plenthus di Bukit Bebodoran,” fatwa Mahaguru Jati.

Tak menunggu lama, Ben langsung berangkat dengan bekal seadanya, meninggalkan Mariam Umm yang sakit hati karena dicuekin dari tadi seperti tokoh figuran film dokumenter. Terutama sekali yang perannya dekat dengan alam seperti menjadi pohon toge atau batu Kali Klawing yang sempat booming sebagai penghasil batu akik berkualitas, pada saat Indonesia kembali memasuki Zaman Batu beberapa waktu yang lalu.

Setelah lelah mendaki gunung lewati lembah, sungai mengalir indah ke samudera. Beersama teemaan… beertualaangg… akhirnya Ben berhasil menemui Plenthus, yang memang bersuara persis seperti namanya. Ndelepas-ndelepus penuh umpruk.

“Temui Teblo di Kedung Ongo,” kenthus Plenthus.

Ben merapal Ajian Pitak Nong-nong.

 

pilak bunder melong-melong

bakul salak tiba njagong

jagong nang papringan

umah gedhong kemalingan

 

Tapi kembali Teblo mengoper Ben ke tempat yang lainnya, mengingatkan Ben bahwa ternyata tak hanya di birokrasi brengsek kebiasaan main ping-pong menjadi adat yang indak basandi syarak.

“Cari Si Kacrut di Jagad Lelembut.”

Ben menurut. Kembali dia merapal ajian lainnya yang sempat dipelajari dari Ki Plenyun.

 

wer tekewer-kewer

wor tekowor-kowor

ngono yo ngono mung yo ojo ngono

suwe ora ngono-ngono ora suwe

ono opo-opo ono-opo onone

laaleloo lelalelalelooo

 

Hampir saja Ben tercirit-cirit melihat wujud Kacrut yang super-duper diamput. Untunglah bathin Ben telah memiliki dasar yang cukup kuat buah pahatan Ki Plenyun waktu kehabisan kayu bahan ukiran saat magang di Jepara dulu.

“Temui Kyai Terong Gosong di Lembah Antara Ada dan Tiada” kembali Kacrut mempim-pongnya ke tempat lain, membuat Ben habis kesabaran.

“Kenapa ga to the point aja, sih? Abis ini saya harus kemana lagi? Kenapa urusan Jempol Setan aja jadi bikin rempong pake bingits begini, sih!” kesal Ben.

Kacrut terkekeh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya yang kadang kotak kadang segitiga itu.

“Dasar anak muda. Baru diberi ujian begitu saja sudah mutung…”

Sadar akan kesalahannya, Ben langsung meminta minum. Sebab bagaimana dia bisa meminta maaf dengan khidmat, jika tenggorokannya begitu dahaga?

Entah berapa lama Ben berkelana mencari Kyai Terong Gosong, ketika akhirnya dia sampai juga di kediaman Sang Kyai. Namun apa lacur, gubuk Sang Kyai ternyata kosong walau tak gosong apalagi berbentuk terong, membuat Ben terduduk lemas di pintu depan.

Baru saja Ben ingin nggresula, ketika tahu-tahu ada sepotong kertas seperti luruh dari langit dan langsung menutup wajahnya, membuat Ben berjumpalitan memasang kuda-kuda serta benteng, lalu mengajak Mbah Mupeang untuk tanding catur tanpa pengaturan skor seperti yang belum lama ribut-ribut dispeakeri oleh PSSI, sambil bersiap menunggu serangan gelap musuh sambil merenungi bidak catur.

Tunggu punya tunggu hingga bidak terakhir Ben dimakan oleh Mbah Mupeang yang belum sarapan, tetap tak ada kejadian lanjutan. Akhirnya Ben memungut kertas tersebut, yang berisi rangkaian kalimat beraksara pegon.

“Kembalilah ke Tebing Jomblo Bernyanyi, ambil buli-buli kopi peram yang tersimpan di tepi danau. Minum kopi peramnya, lalu bacalah petunjuk terakhir di bagian bawah buli-buli.”

Seperti mau menangis Ben membaca kertas tersebut. Hatinya berontak. Ia merasa Tuhan amat tak adil karena mengirim Mahaguru Jati sebagai tokoh perantara dalam ending fikber ini, sebab kejahilan King of Habul itu memang cukup terkenal, membuatnya berpindah-pindah dari satu titik kehidupan menuju noktah kenangan yang lain, untuk kemudian akhirnya kembali lagi ke titik semula.

Tapi bukan Ben namanya jika mudah menyerah. Karena jiwa fitrahnya mengatakan, tak mungkin Tuhan mengirim cobaan tanpa hikmah dibalik kejadiannya. Bukankah setiap lakon manusia telah tertulis di Kitab Lauh Mahfudz, bahkan jauh waktu sebelum manusia tersebut diciptakan? Sungguh Maha Sempurna Perencanaan-Nya, walau sayangnya manusia selalu urung menafakuri segala takdir-Nya dengan sesungguh ikhlas, bathin Ben dengan amat religius.

Dengan sisa tenaga yang dimiliki, Ben kembali ber-ke-la-na dengan gaya Satria Bergitarnya Rhoma Irama.

Akhirnya Ben tiba kembali di Tebing Jomblo Bernyanyi. Tapi kali ini tak ada Bay gondrong yang mirip pendekar jadul itu. Juga tak ada Na, yang kabarnya juga seorang pendekar wanita pilih tanding. Yang tersisa hanya sederet tulisan “Selamat Ulang Tahun” di punggung tebing, yang kini terlihat retak dan tertutup debu hadats jiwa... #Eaaa...

Dengan langkah gemetar Ben mendekat ke tepi danau, dan menemukan sebuah buli-buli yang pernah masyhur di cersil usil.

Diteguknya sisa kopi peram yang ada di buli-buli dengan penuh haru, untuk kemudian dia jengking tubuhnya demi mengintip petunjuk terakhir apa yang ada di bagian bawahnya, walau untuk gerakan menungging sesederhana itupun Ben hampir terserang rhematik. Barangkali usia memang tak pernah bisa untuk berbohong, batin Ben.

“Celup aku kuat-kuat ke dalam air telaga.”

Hanya kalimat super pendek itu yang tertera di bagian bawah buli-buli, karena memang luas bidangnya yang amat terbatas. Itupun Ben masih harus melotot kuat-kuat untuk membacanya, karena bentuk tulisan yang terpahat tumpang-tindih tak karuan layaknya job desc para menteri negara.

Tapi seceker ayam apapun tulisan itu, Ben percaya akan kebenarannya, karena dia berpikir, bisa saja si pemiliknya dulu malas sekolah hingga tak becus menulis indah. Atau boleh jadi justru amat giat menuntut ilmu, seperti para dokter yang menulis resep menggunakan bentuk aksara yang kian jauh dari huruf aslinya.

Dengan amat takdzim Ben berjongkok, dan langsung melakukan pesan yang tertera di bagian bawah buli-buli.

Terdengarlah suara, “blup…blup…blup…” yang amat ritmis serta penuh daya magis, membuat Ben terlongong-longong sangat lama, hingga akhirnya Ben bersalto ke udara sambil berteriak.

“Esaaaaaaa…!!!”

Seperti orang gila Ben menari-nari semalaman. Ia berhasil mendapatkan pencerahan tak terhingga, hanya dari sebuah buli-buli berisi kopi!

Ben paham, ketika seseorang kosong dan ilmu setelaga banyaknya memaksa memasuki dirinya dari lubang akal yang sempit, maka dia akan bersuara. Akan berbunyi. Tapi bukan berbicara, melainkan murni hanya berbunyi.

Apakah bunyinya kemudian membuat orang lain mengerti? Dia  tak akan pernah peduli. Apakah bunyinya lalu berguna bagi sesama juga bagi dirinya sendiri, dia sungkan untuk mengambil si pusing. Karena dia berbunyi bukan demi tujuan tertentu. Karena bunyi yang dia keluarkan adalah bunyi kosong… yang dipaksa keluar oleh isi!

“Aku mengerti sekarang,” gumam Ben, yang langsung berlalu dari Tebing Jomblo Bernyanyi, dan kembali menuju postingannya sendiri.

Dia merasa semua keriuhan yang terjadi kemarin hanyalah fana semata. Jempol setan serta kejadian dan seluruh karakter tokoh yang ada di dalam kisahnya: Fana. Hanya buatan Si Ahmad Maulana S, pengarangnya yang super sableng buah kebanyakan menyentil, yang kini mulai insyaf untuk lebih serius menekuni dunia kata penuh makna yang tak sekedar begitu saja.

Beberapa waktu kemudian, Ben berhasil menempa dirinya berdasarkan racikan pengalaman berharganya ketika menelusuri jejak Jempol Setan Khayalan. Dan kelak setelah event fikber ini selesai, Ben akan lebih dikenal sebagai sosok yang telah moksa dalam cerita… Menjadi simbol tentang sosok-sosok yang berhasil mencapai maqom manunggaling kawulo lan fiksi, dan bersemayam dalam setiap gurat pena yang dilahirkan dari hati, yang tak lagi sekedar karya kosong yang ludes-bures hikmahnya ketika dibaca satu atau dua kali saja.

Ben nyaris abadi, dalam bentuk kebaikan buah inspirasi yang terkandung di setiap ketip kalimat fiksi buatan entah siapa.

My name is Ben, Ben Ahsan...^_

 

Tammat.

 

(Penulis tidak lahir dan besar di Tanah Jawi, mohon koreksinya jika ada bahasa daerah tersebut yang dirasa kurang tepat. Terima kasih...^_) 

Secangkir Kopi Ending Fikber Gelombang 3, 30 Nopember 2015.

Sebuah postingan demi menghormati Al Mukarom Kyai Terong Gosong, yang tak saya kenal namun pernah mengajari saya tentang apa itu fiksi sejati, melalui karya-karya beliau yang menampar kesadaran bathin: "Tulisan ini memang sejak awal untuk dan menjadi milik Panjenengan...^_ Salam takdzim dari sahabat mayamu yang bebal ini..."

 

-Link awal munculnya karakter Plenyun di Kompasiana: Merdeka Plenyun 300 Ribu

-Link cersil usil terkait yang diduga keras sebagai pencetus awal lahirnya 'Jempol Setan':

Episode 1: Geger di Tanjung Priuk: Siapa Penjahatnya?

Episode 2: Nasionalisme Bakpia Rasa Orek Tempe

Episode 3: Pemberontakan Aldy, Kematian Desol dan Kado Buat Admin Baru

 

Episode 4: Legenda Pedang Tetesan Air Mata

Episode 5: Cinta Menari di Gerimis Pedang

 

Episode 6: Pena Berdarah Mencabik Korupsi: Munculnya ‘Dark Justice’

Episode 7: Dunia Fiksi yang Aneh

Episode 8: Demi Menolong Na, Tak Peduli Meski Terkena ‘Jalan Api Menuju Neraka’

Episode 9: Episode Terakhir

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun