“Tapi mengenai opening yang baik dan buruk mungkinkah lebih karena selera pribadi, Bay? Buktinya banyak juga tuh pembaca yang menyukainya.”
Barangkali di sinilah kita semua harus mulai belajar untuk dapat membedakan, antara statement yang bersifat pendapat pribadi –yang ladzimnya memang bertabur justifikasi, dengan pernyataan yang berbasis pengetahuan, agar kelak kita tak lagi terlihat amat menggebu namun sejatinya berisi hanya debu…^_
“Tapi karya saya kan di-HL admin K, Bay, masa sih segitunya?”
Terus, kalo di-HL admin K kenapa? Langsung menjadi amat istimewa menyamai kitab suci, begitu? Lha wong admin K sendiripun berkali-kali saya sentil sampai sayanya bosan sendiri, hingga akhirnya saya titipkan sentilan terakhir untuk para admin kanal fiksi yang terhormat, melalui admin kanal media, dalam artikel “Membersihkan Lendir-lendir Sastra di Selangkangan Fiksi”, yang anehnya justru diapresiasi oleh mereka hingga mendapat hits yang tak hanya lewat begitu saja.
Hal yang sama saya lakukan pula terhadap Desol, yang entah saat terjadinya tengah berperan sebagai admin FC atau hanya menjadi dirinya sendiri. Sementara saya tak lebih dari sekedar Kompasianer yang ketenggengan karena memaksa untuk belajar membuat cerita silat, hanya karena mengingat amat minimnya pegiat genre tersebut di Kompasiana.
Yang saya ingat, saya sentil Desol dengan cukup pedas, justru pada saat duet sadisnya bareng Si Prof tengah mencapai puncak kibar yang mengundang rentetan pujian amat memabukkan. Dan saya amat yakin bahwa jika sentilan tersebut dilakukan oleh orang lain, akan langsung memicu kemarahan si sadis tersebut. Apalagi dilakukan dengan gaya melawan arus, hingga menjadi satu-satunya orang yang menyentil di tengah derasnya gelombang pujian.
Mengapa saya banyak menyentil admin K kanal fiksi? Karena saya melihat ada kecenderungan penjaga gawang kanal fiksi -pada waktu itu- secara perlahan lebih mengarah pada ‘menggemari karya berunsur seksual’ sebagai acuan sebuah karya di-HL atau tidak.
Dan itu bukanlah sesuatau yang sehat dan memicu kebanggaan, terutama jika mengingat pada saat yang bersamaan, ada cukup banyak karya-karya yang bisa untuk tetap bagus, berisi serta menarik, tanpa perlu menggoreng unsur purba tersebut, yang akhirnya mesti tersingkir karena kursi utama di K karena telah penuh terisi.
Kenapa saya menyentil Desol dan duet sadisnya, padahal Desol dan Prof pada saat itu cukup kental pertemanannya dengan saya?
Jawabannya cuma satu saja, yaitu justru karena mereka adalah teman saya yang memiliki beberapa kelebihan dalam karya buatannya, sehingga akhirnya mencuri perhatian si sengak ini.
Saya tertarik dengan genre yang digarap oleh Desol, yang saya yakin tak akan berkurang keindahannya ketika dia murni hanya bersandar sebagai pegiat fiksi psikopat, karena dia memang memiliki ‘warna’ khas di genre tersebut, yang kelak jika sempat akan turut saya bedah berdasarkan karya pertama pada event fikber FC gelombang 2.