Hal yang tak jauh berbeda terjadi pula pada Si Prof, yang semula menggemari puisi-puisi cinta nan liris melankolis, lalu bermetamorfosa tiba-tiba menjelma kupu-kupu sastra yang cantik sayap katanya.
Dan hal itu amat saya apresiasi, terutama jika mengingat beliau yang waktu itu lebih banyak bermain di artikel cadas layaknya seorang preman artikel, lantas berubah drastis menjadi amat manis namun tajam menggigit seperti remaja baligh yang baru mengenal cinta… *Eaaa…^_
Atas dasar dua alasan tersebut saya pikir cukup kuat untuk saya bertindak sebagai teman mereka yang sebenarnya. Mengeplak jidat pada saat mereka terlalu mumbul, hanya demi tetap bisa membumi.
Bagaimana jika mereka berdua –termasuk juga admin K serta sosok-sosok yang pernah saya sentil- meradang?
Gak gue pikirin. Saya hanya berpikir, bahwa saya telah menuntaskan kewajiban saya sebagai teman mereka. Perkara mereka menerimanya dengan suka cita, hanya dapat diartikan bahwa kami memiliki ‘radar yang sama’. Sementara jika mereka meradang, juga bukan sebuah masalah yang amat besar. Karena toh awalnya kami tak saling kenal, yang ketika kemudian kenal lalu berakhir menjadi tak saling kenal kembali, yah cuma sekedar impas…^_
Yang saya tahu, admin K memang memiliki parameter tersendiri dalam menentukan apakah sebuah karya layak HL atau tidak. Mungkin saja berdasarkan keunikan, kebaruan, dan atau kelebihan lain yang ada dalam suatu karya. Dan itu jelas menjadi kewenangan mereka yang paling tak bisa untuk di-veto. Tapi bukan berarti semuanya kemudian menjadi penilaian yang bersifat final, karena ladzimnya dalam urusan-urusan yang tidak bersifat eksak, selalu ada celah untuk menghadirkan ‘kebenaran kedua’, yang bisa saja berasal dari saya atau mungkin lewat kompasianer yang lainnya…^_
“Terus, lo siapa, Bay, berani-beraninya melakukan ini semua. Emang karya lo dah paling bagus dan anti kekurangan?”
Saya hanya berpikir sederhana, jika yang pantas memberi nasehat adalah orang yang tak pernah berbuat salah, bahkan para nabipun ‘mungkin’ akan langsung berpikir ulang ketika ingin memberi nasehat. Lantas siapa yang akan menasehati kita semua? Sementara seiring bertambahnya usia dan kehormatan, kita semua kemudian rindu untuk dinasehati oleh orang lain, sesuatu yang kian mustahil mengingat posisi sosial kita yang kian meninggi di mata umum, menjadikan tak semua orang berani mengambil resiko untuk bersebrangan.
Tiap-tiap orang memang ‘hanya’ akan mendapatkan apa-apa yang telah dia usahakan, yang tidak seorangpun bisa memaksanya dan atau menduplikasinya ke orang lain. Tapi saya memiliki satu mantera ampuh yang barangkali ada manfaatnya jika dibagikan melalui tulisan ini. Dan kalimat sakti tersebut adalah:
Jika kau ingin mendapat lebih, rendahkan cangkir pembelajaranmu, Kawan, niscaya kau tak akan pernah merasa kalah sekalipun… selain lebih memaknainya sebagai: Belajar...^_
Salam fikber, salam bangga penuh salut, salam belajar fiksi bareng…^_