Andai dusta berwujud makanan, boleh jadi akan kutelan. (Cerpen Telanjang- Ken Hanggara).
Sambil bermain aku melirik topi lakenku. Kulihat sebuah kursi roda. Duduk di kursi roda itu, seorang tua yang wajahnya tak bisa kulihat dengan jelas karena memakai topi laken seperti aku. Rambutnya gondrong dan sudah memutih seperti diriku, namun ketuaannya bisa kulihat dari tangannya yang begitu kurus dan kulitnya yang sangat keriput. Tangan itulah yang terangkat dan tiba-tiba menggenggam sebuah gitar listrik yang sangat indah.
(Cerpen Ritchie Blackmore- Seno Gumira Ajidarma)
Kedua, Terjebak pada kelemahan utama sudut pandang orang pertama tunggal.
Umumnya penulis yang memilih sudut sudut pandang ini akan terjebak menjadi sangat asyik menceritakan (tell) keseluruhan cerita, sehingga luput dalam upaya menunjukkan atau memperagakannya (show).
Akibatnya cukup jelas, yaitu karya yang dibuat menjadi kurang dramatis, dan bukannya tidak mungkin akan mendatangkan kesulitan memperkenalkan jenis kelamin tokoh utama dan tokoh pendamping.
Ketiga, penggunaan nama tokoh yang bersifat unisex.
Dalam karya ini terlihat jelas betapa merugikannya penggunaan nama tokoh yang bersifat unisex, seperti Ran, Aulia, Wahyu, Andri, Yana dan sebagainya, karena efek pertama yang akan timbul adalah kebingungan yang dialami oleh pembacanya.
Walau memang kekurangan tersebut bisa ditambal dengan narasi tambahan yang bersifat menjelaskan jenis kelamin tokoh, tapi umumnya hanya akan berakhir menjadi paragraf tak efektif, memberi sebuah kesimpulan bahwa jika memang bisa dihindari, kenapa pula harus tetap dipertahankan?
Serta beberapa kekurangan lain yang saya pikir, biarlah penulisnya sendiri yang berusaha menemukannya, untuk kelak dilakukan perbaikan secukupnya karena untuk sebuah karya yang memang memiliki embrio yang amat bagus, alangkah sayangnya jika dibiarkan apa adanya dengan segala kekurangan di dalamnya.
“Karya yang sudah dipublish memang kasarnya jadi milik umum. Yang penting hak prerogatif ada di tangan penulisnya kan, Bay? Hehehe...”
Tentu saja di tangan penulisnya. Sebab jika di tangan Pak Erte, saya khawatir rapat warga akan berlangsung menjadi amat liris serta penuh konflik, yang misalnya karena banyaknya tokoh fiktif yang turut andil merecokinya…^_