Ando Ajo: Hahahhaha… Bukan masalah katanya, Bay, tapi setting ceritanya yang ane kagak nangkep (keempat-empatnya). Ciyus ni… Ane dah baca berulang-ulang karya 4 teman sebelumnya, tapi... tetap aja ane gak bisa nyambungin ceritanya, boro-boro setting-nya yaah. Apa boleh buat, lebih baek ane alihkan aje ke kehidupan nyata, jadi gak absurd getoo, hahahha… Ntu Si Bay pan biang keroknya.
Komen Mbak Sekar dan Da Ando tersebut semakin meyakinkan saya bahwa di Kompasiana memang banyak penulis tangguh nan hebat, yang kini mulai bermunculan satu demi satu melalui event fikber FC, yang diselenggarakan 3 gelombang sekaligus.
Betapa tidak? Dari begitu banyak peserta event fikber, tak ada satupun yang memiliki genre yang sama. Dan anehnya, perbedaan tersebut tak lantas membuat masing-masing peserta berkeras menonjolkan ego pribadi di sela keringat pucat yang melengket lekat setiap kali mendapat giliran melanjutkan karya, melainkan terus berusaha untuk membuat karya yang saling mengharmoni.
Maka jadilah kumpulan karya peserta fikber membentuk sebuah draft novel ciamik, dengan bab-bab unik multigenre dan lintas gaya sebagai penopang utamanya, sesuai keragaman latar belakang semasing kontributornya. Sesuatu yang siapa sangka justru menjadi tantangan tersendiri bagi peserta selanjutnya untuk memberi hanya yang terbaik, dengan terus berusaha mensinergi.
Dan itu jelas bukan hal yang amat mudah. Terutama ketika penyelenggaraan event fikber FC ini, justru pada masa tulisan fiksi mati suri di K buah kejahatan moral kompasianer sialan tukang piara akun tuyul yang telah putus urat malunya itu, seperti yang pernah dibuat artikelnya oleh Kompasianer Reza aka Fadli Zontor yang berjudul “Masa Depan Fiksiana Terlihat Suram Gara-gara Akun Tuyul”, yang langsung membuat rontok sebagian besar fiksianer aktif
Saya pribadi masih terus berkeras mengintip, siapa saja yang tetap bersemangat memposting karya di Kompasiana, berapa hits terakhir yang diperoleh, serta parameter lainnya yang disusun hanya demi mengetahui besaran indeks PMSK (*PMSK = Penelusuran Minat dan Semangat Kekaryaan) yang tersisa.
Hasilnya? Super jeblok!
Pada tanggal 12 Nopember 2015, bahkan 3 fiksianer yang karyanya seringkali ‘merajai’ Kompasiana dengan jumlah hits, vote serta komen tertinggi, harus cukup puas untuk menerima review ala kadarnya, yang tak lebih dari kisaran 150 s.d. 230 pembaca. Sangat njomplang jika dibandingkan perolehan angka sebelumnya yang rata-rata tak kurang dari 500 s.d 1200 pembaca.
Tapi rencana telah digelar. The show must go on. Alih-alih menunda posting karya perdana di K, seluruh admin FC justru melakukan hal yang bertolak belakang, yaitu: Langsung menambah gelombang peserta dari hanya satu sebagai pilot project, menjadi 3 gelombang sekaligus dengan tema yang berlawanan.
Bukankah obat terbaik mengusir kesunyian adalah dengan lebih banyak melakukan kegiatan? Yang melibatkan pegiat-pegiat fiksi (dan beberapa penulis jempolan non fiksi) di Kompasiana -entah itu dengan cara undangan khusus maupun undangan terbuka- untuk lebih saling bergandeng tangan dalam geliat api unggun persahabatan?
Sebagai penggagas utama event fikber ini, saya hanya meminta kepada Desol mewakili jajaran admin sepuh FC, agar ada satu gelombang yang berisi Kompasianers aktif yang gemar membagi ilmu serta tak pelit pengetahuan, untuk dijadikan acuan dasar bagi proyek percontohan selanjutnya di Kompasiana.