Suatu naskah atau manuskrip (bahasa Inggris manuscript, bahasa Latin manu scriptus, artinya ditulis tangan), secara khusus, adalah semua dokumen tertulis yang ditulis tangan, dibedakan dari dokumen cetakan atau perbanyakannya dengan cara lain. Kata 'naskah' diambil dari bahasa Arab nuskhatum yang berarti sebuah potongan kertas. Menurut pengamatan, ada 4 (empat) 'kebenaran' kisah Nusantara di dalam naskah-naskah itu yang perlu dicatat, yaitu sebagai berikut :
1.'Kebenaran' dalam naskah yang seutuhnya sama dengan 'kebenaran' kita selama ini sebagaimana nampak pada nama-nama tokoh atau daerah.
2.'Kebenaran' dalam naskah yang belum menjadi milik kita, berupa nama-nama tokoh atau daerah yang belum pernah kita ketahui, berbagai peristiwa yang terjadi dan masa pemerintahan setiap raja yang cukup jelas titimangsanya.
3.'Kebenaran' naskah yang melalui pembandingan dengan sumber lain akan memungkinkan kita merenungkan kebenarannya,
4.'Kebenaran' dalam naskah yang bertalian dengan 'kebenaran' kita sebagai penafsir.
Wawacan Carita Perang Cina di Tanjungpura Kabupaten Purwakarta
"Crita Prang Cina Tanjungpura Kabopaten Purwakerta" atau "Carita Perang Cina di Tanjungpura Kabupaten Purwakarta" adalah sebuah wawacan yang dikarang oleh Hadji Moehammad Oemar, seorang pengiring bupati Cianjur R.A.A. Prawira di Reja I. Carita atau wawacan berbentuk puisi tembang (dangding) ini terdiri dari pupuh Asmarandana (30 bait atau 30 pada), Durma (60 pada), Kinanti (51 pada), Asmarandana lagi (132 pada) dan Sinom (36 pada) sehingga jumlahnya mencapai 309 pada.
Naskahnya selesai ditulis pada tanggal 14 Agustus 1864, tertera dalam naskah kertas pabrik ukuran folio (32,6 x 21,2 cm) bercap kertas dengan tebal 74 halaman dan dijilid dengan menggunakan karton tebal. Tiap halaman terdiri atas 21 baris dan ukuran penulisannya sekitar 27 x 18 cm., memakai Aksara Cacarakan (Hanacaraka) dan Latin dalam Bahasa Sunda. Naskahnya kini disimpan di Bagian Manuskrip (Naskah) Perpustakaan Nasional RI, Jakarta dengan Nomor Kode Sd. 108, berasal dari koleksi Karel Frederick Holle (1829-1896).
Wawacan ini mengisahkan kerusuhan yang dilakukan orang-orang Cina sejak dari kota Purwakarta hingga ke Tanjungpura (Karawang). Dalam kerusuhan itu loji, penjara, rumah sakit, gudang dan bangunan lainnya yang belum lama dibangun di Purwakarta dibakar dan dirusak, sejumlah rumah, toko dan bangunan lainnya di sepanjang jalan antara Purwakarta, Karawang dan Tanjungpura dijarah barang-barangnya dan dirusak bangunannya. Untuk menumpas kerusuhan ini dikerahkan pasukan dari Batavia (Jakarta), Buitenzorg (Bogor), Cianjur, Bandung dan Karawang, baik pasukan berkuda (kavaleri) maupun pasukan berjalan kaki (infanteri), baik serdadu Belanda maupun prajurit pribumi. Kaum perusuh dipatahkan kekuatannya oleh pasukan pimpinan Kanjeng Pangeran Hario Alibasah Sentot Prawirodirdjo.
Perlu diketahui, bahwa dalam naskah tersebut terdapat nama-nama orang (para pelaku sejarah dalam peristiwa itu), yaitu antara lain: Agus Aliun, Ajengan (K.H.R. Moehammad Joesoep, Baing Yusuf), Andeng Abidin, Anggadikusumah, Arya Gajah, Arya Majah, Arya Prawirawinata, Arya Tisna, Asep Elum, Asep Rabal, Babah Acuy, Babah Toke, Bapa Eno, Bapa Nona (Ngabehi), Demang Ardikusumah, Demang Jayadirja, Dipati Prawiradirja (R.A.A. Prawiradirja I, Dalem Sepuh Cianjur), Dipati Suryawinata (R.A.A. Soeriawinata, Dalem Bogor Pareman), Kangjeng Dalem Purwakerta (R.A.A. Soeriawinata), Kodok, Mandor Meja, Pangeran Alibasah (Pangeran Alibasah Sentot Abdul Mustafa Prawirodirdjo), Pangiring Dalem Cianjur (Hadji Moehammad Oemar), Raden Ahmad, Raden Ambri, Raden Arya Adinagara, Raden Arya Karawang, Raden Arya Suryabrata, Raden Arya Wiratmaja, Raden Awan, Raden Badra, Raden Haji Abdullah, Raden Haji Mahri, Raden Haji Muhyi, Raden Hamjah (Hamzah), Raden Isa, Raden Kertayuda, Raden Rangga Anggadireja, Raden Sumadireja, Raden Sumayuda, Raden Tumenggung Sastranagara, Raden Wiradireja (R.A.A. Kusumaningrat), Tuan Beker (Baker, Bekker?), Tuan Boman (Bouman, Bowman?), Tuan Diblot (De Bloote?), Tuan Holembereh (Jhr. Otto Carel Holmberg de Beckfelt), Tuan Jong (Jonk?), Tuan Kelinyet (Pierre Francois Clignett), Tuan Leknan Lisola (1ste Luitenant Le Jolle), Tuan Maklot (Heinrich Christian Macklot), Tuan Saliyara (Jhr. ds. Guillaume de Serire), Tumenggung Wiranagara dan Wiryadinata.
Perlu diketahui pula, bahwa dalam naskah tersebut terdapat pula nama-nama tempat bersejarah sesuai Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan, yaitu antara lain: Banceuy, Bandung, Batusirap, Maracang, Bogor, Cibalagung, Cibeureum, Cidaun, Cikalong, Cikao, Cimayakasih, Cinusa, Cipaku, Ciputri, Ciranji, Citarum, Cyanjur (Cianjur), Darangdan, Dawuan, Gandaria, Gandasoli, Garut, Kaliastana, Kandangwesi, Kaum, Kembangkuning, Krawang, Mande, Parungkalong, Priyangan, Purwakerta (Purwakarta), Sukamantri, Sukapura, Sumedang, Tanjungpura, Wanayasa dan Warungbambu. Nama Purwakarta muncul dalam naskah-naskah karya:
1.Moehammad Oemar. Crita Prang Cina Tanjungpura Kabopaten Purwakerta. Ditulis 'Poerwakarta', 'Poerwakerta' atau 'Poerwaketa' dan muncul pada bait (pada) ke-2-3, 5, 16, 19-20, 28, 30, 36, 68-69, 77, 83, 88, 104, 125, 175, 179, 180, 214, 221, 250-254, 256, 259 & 261.
2.Soeria di Radja. Tjampaka Warna, muncul pada bait (pada) ke-4, 6, 12, 44-45, 53, 59, 64, 80, 101, 151, 155-156, 190, 197, 226-230, 232, 235 & 237.
3.Ending Muhidin. Latinisasi dan Transliterasi Naskah "Tjampaka Warna" karya R. Soeria di Radja, muncul pada bait (pada) ke-4, 6, 12, 44-45, 53, 59, 64, 80, 101, 151, 155, 156, 190, 197, 226-230, 232, 235 & 237.
4.Edi Suhardi Ekadjati. Wawacan Carita Perang Cina di Tanjungpura Kabupaten Purwakarta, muncul pada bait (pada) ke-2-3, 5, 16, 19, 20, 28, 30, 36, 68-69, 77, 83, 88, 104, 125, 175, 179, 180, 214, 221, 250-253, 254, 256, 259 & 261.
Pangeran Alibasah Sentot Prawirodirdjo
Nama Pangeran Alibasah Sentot Prawirodirdjo, muncul dalam peristiwa bersejarah di antaranya sebagai panglima perang (Alibasah) dalam Perang Diponegoro (1825-1830). Setelah Alibasah Sentot Prawirodirdjo menyerahkan diri sebagai panglima perang dalam Perang Diponegoro pada tanggal 17 Oktober 1829 ia kemudian masuk dalam dinas ketentaraan kolonial Hindia Belanda yang belakangan 'main mata' dan sempat ikut serta berperan dengan Kaum Padri di Minangkabau dalam Perang Padri (1821-1837) di bawah pimpinan Imam Bonjol.
Menurut Saleh As'ad Djamhari dalam disertasinya "Stelsel Benteng Dalam Pemberontakan Diponegoro 1827-1830 - Suatu Kajian Sejarah Perang", sebutan Alibasah di sini adalah setara dengan jabatan Komandan (Panglima) Divisi, sebutan yang lain lagi adalah Basah setara dengan jabatan Komandan Brigade, Dulah setara jabatan Komandan Batalyon dan Seh setara jabatan Komandan Kompi. Sebutan demikian hanya ada dalam hirarki kepangkatan dan jabatan para pejuang di bawah pimpinan Pangeran Diponegoro dalam Perang Diponegoro (Perang Jawa, de Java Oorlog) pada tahun 1825-1830. Perlu kita ketahui bersama, bahwa tentara Diponegoro merupakan tentara yang dibentuk dan mencontoh tentara (pasukan) khusus Janissari dari Kesultanan Turki Ottoman (Kekhalifan Usmaniyyah).
Dalam naskah "Carita Perang Cina di Tanjungpura Kabupaten Purwakarta" teks bait 102, 177, 179, 182, 248, 250, 252 dan 253 menyebut nama tokoh Pangeran Alibasah sebagai komandan pasukan yang membawahi 4 (empat) orang tumenggung yang mendapat tugas dari Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk menumpas pemberontakan orang-orang Cina di Purwakarta.
Menurut Philippus Pieter Roerda van Eysinga dalam bukunya"Handboek der Land- en Volkenkunde, Geschied-, Tall-, Aardrijks- en Staatkunde van Nederlandsch Indie." Yang juga diperkuat oleh Franois Vincent Henri Antoine Ridder de Stuers dalam bukunya "Gedenkschrift van den Oorlog op Java van 1825 tot 1830", menuliskan bahwa Pangeran Alibasah Sentot Prawirodirdjo memimpin Barisan Sentot, yang semula adalah Barisan Pinilih atau Satuan Pinilih, dengan pakaian seragam serban hitam bergaris putih dan jaket rompi merah membawahi 4 (empat) orang tumenggung namun yang tertulis hanya ada 3 (tiga) tumenggung, yaitu : Pangeran Sumo Negoro, Raden Tumenggung Prawiro di Puro dan Raden Tumenggung Marto Puro. Pasukan terdiri dari 250 orang tentara infanteri pribumi dan 50 orang tentara kavaleri berkuda pribumi. Pasukan kavaleri berkuda Sentot awalnya berjumlah 400 orang kemudian telah ditambah dengan 600 orang pasukan infantri sehingga jumlahnya genap 1000 orang.
Menurut Edi Suhardi Ekadjati dalam bukunya "Wawacan Carita Perang Cina di Tanjungpura Kabupaten Purwakarta" dan Ajip Rosidi dalam bukunya "Ensiklopedi Sunda" pasukan ini berangkat dari Batavia, menyusuri pantai Utara menuju Tanjungpura. Setelah menyeberangi sungai Citarum di bagian hilir, Pangeran Alibasah beserta pasukannya bertemu dengan rombongan pemberontak orang Cina. Terjadilah pertempuran, kaum pemberontak berhasil dihancurkan kekuatannya, antara lain 600 orang pemberontak dari seluruhnya 800 orang tewas dalam pertempuran itu di Tanjungpura.
Kekuatan lainnya (200 orang) ditangkap, ditawan dan dihukum mati oleh pasukan Priangan. Dalam manuskrip berbahasa Sunda yang berbunyi sebagai berikut:
"Crita Prang Cina Tanjungpura Kabopaten Purwakerta"
I. Pupuh Asmarandana (1)
1. Ayeuna kula ngagurit / nyieun tembang basa Sunda / baku mangsa perang Cina / di Krawang Tanjungpura / residen anu kasebut / ngaran Tuan Saliyara.
2. Matuhna calik di loji / nya nagara Purwakerta / ari anu jadi regen / Dipati Suryawinata / Dalem Bogor pareman / Patihna Raden Tumenggung / jenengan Sastranagara.
3. Purwakerta tacan lami / tempo eukeur ngababakan / di loji tuan Residen / tacan lengkep sadayana / rupaning wawangunan / keur dipidamel diatur / anu ruksak diomean
4. Di lebet tacan tarapti / rupaning bumi-bumina / teu acan santosa kabeh / ngan pabuen geus prayoga / jeung kantor gudang-gudang / jaba eta keur diatur / dipidamel diberesan.
5. Pakuwon jaksa papatih / sadaya keur diomean / mindah-mindahkeun teu ngebon / di nagara Wanayasa / ngalih ka Purwakerta / di Wanayasa nu matuh / Tuan Kelinyet teu pindah. .........
(3)
16. Kacarita bulan Haji / Rayagung tanggal salapan / Hijrah Nabi kacarios / dina mangsana harita / keur rusuh Purwakerta.
17. Hijrah opat puluh tujuh / taun Dal mangsa katiga / Waktu lohor pukul hiji / Kangjeng Dalem eukeur salat / pada ngiring amun kabeh / sakur nu aya di dinya / mangsa keur aweh salam / ningali haji keur diuk / di katuhueun nu salat. .........
II. Pupuh Durma (6)
36. Yen ayeuna keur rusuh di Purwakarta / dirampog sapeupeuting / ku Cina berandal / sakabeh wawangunan / dihuruan geus beresih / di jro nagara / Purwakarta geus sepi. .........
(10)
68. Dua serat sarua pisan ungelna / Risiden peuting tadi / taya di bumina / Purwakarta diruksak / dihuru ku Cina bresih / ayeuna aya / calik di Kembangkuning.
69. Sanggeus kitu mundut ditulung gagaman / lima ratus prajurit / bade nulung perang / ka urang Purwakerta / sanggeusing serta katampi / abdi gamparan / nyadiakeun prajurit..........
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai berikut :
"Cerita Perang Cina di Tanjungpura Kabupaten Purwakarta"
I. Pupuh Asmarandana (1)
1. Sekarang aku menggubah, / mengarang puisi bahasa Sunda. / Inti yang jadi cerita, / pada masa perang Cina, / di Karawang Tanjungpura. / Residen yang tersebut, / bernama Tuan Saliyara.
2. (yang) tempat tinggalnya di loji, / di daerah Purwakarta. / Adapun yang jadi bupati, / Dipati Suryawinata, / mantan Bupati Bogor. / Patihnya Raden Tumenggung, / bernama Sastranagara.
3. Purwakarta belum lama (ada), / waktu sedang merintisi. / Di loji Tuan Residen, / belum lengkap semuanya. / Beberapa bangunan, / (masih) sedang ditata (dan) dikerjakan, / yang rusak diperbaiki.
4. Di dalam belum teratur. / Wujud rumah-rumahnya, / belum kokoh semua, / hanya penjara sudah siap, / kantor dan gudang-gudang. / Selain itu sedang ditata, / dikerjakan dirapikan.
5. Tempat tinggal jaksa patih, / semua sedang diperbaiki, / memindah-mindahkan (sehingga) tak berkebun, / dari daerah Wanayasa, / pindah ke Purwakarta. / Di Wanayasa yang menetap. / Tuan Kelinyet tak pindah. .........
(3)
16. Alkisah bulan Haji, / Rayagung tanggal sembilan, / Hijrah Nabi ceritanya, / pada masa itu, / sedang rusuh di Purwakarta, / empat puluh tujuh Hijrah, / tahun Dal musim ketiga.
17. Siang hari pukul satu, / Kangjeng Bupati sedang shalat, / semua ikut berjamaah, / setiap yang ada di sana. / Ketika sedang mengucapkan salam, / melihat haji sedang duduk, / di sebelah kanan yang shalat. .........
II. Pupuh Durma (6)
36. Bahwa sekarang sedang rusak di Purwakarta, / dirampok sepanjang malam, / oleh Cina perusuh. / Semua bangunan, / dibakar habis, / di dalam kota, / Purwakarta sunyi sepi. .........
(10)
68. Kedua surat (itu) sama isinya. / Residen tadi malam, / tidak ada di rumahnya, / (karena) Purwakarta dirusak, / dibakar oleh Cina (sampai) hancur. / Sekarang (ia) ada, / bertempat tinggal di Kembangkuning.
69. Sesudah itu (ia) minta dibantu pasukan, / sebanyak lima ratus prajurit, / untuk menolong perang, / kepada penduduk Purwakarta. / Setelah surat diterima, / hamba sahaya, / menyiapkan prajurit. .........
Dalam manuskrip pada halaman ke-3 (ke-2 huruf Latin) dan baris ke-4 sampai dengan ke-7 tertulis dalam bahasa Sunda yang berbunyi sebagai berikut: "......... Katjarita boelan Hadji Rajagoeng tangal Salapan Hidjrah nabi. Katjarijos dina mangsana harita ker roesjoeh Poerwakarta. Hidjrah Opat Poeloeh Toedjoeh Taoen Dal Mangsa Katiga. Waktoe Lohor poekoel hidji. ........."
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: "......... Alkisah bulan Haji, / Rayagung tanggal sembilan, / Hijrah Nabi ceritanya, / pada masa itu, / sedang rusuh di Purwakarta, / empat puluh tujuh Hijrah, / tahun Dal musim ketiga. ........."
Dalam "Carita Perang Cina di Tanjungpura Kabupaten Purwakarta", wawacan yang dikarang oleh Hadji Moehammad Oemar yang mana beliau adalah pelaku sejarah, saksi mata dan saksi hidup dalam peristiwa itu tertulis dalam bahasa Sunda yang berbunyi sebagai berikut: "......... Katjarita boelan Hadji Rajagoeng tangal Salapan Hidjrah nabi. Katjarijos dina mangsana harita ker roesjoeh Poerwakarta. Hidjrah Opat Poeloeh Toedjoeh Taoen Dal Mangsa Katiga. Waktoe Lohor poekoel hidji. ........."
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: "......... Alkisah bulan Haji, / Rayagung tanggal sembilan, / Hijrah Nabi ceritanya, / pada masa itu, / sedang rusuh di Purwakarta, / empat puluh tujuh Hijrah, / tahun Dal musim ketiga. ........."
Sehingga menurut penelitian Penulis keterangan di atas menunjukkan adanya kedatangan Bupati Karawang R.A.A. Soeriawinata dari Purwakarta bersama rombongan keluarga, sanak keluarga, menak santana dan upas kepada R.A.A. Prawiradirdja I di Cianjur yang tiba pada tanggal seperti di bawah ini:
Tanggal Masehi: 10 Mei 1832, Kamis Respati
Tanggal Jawa: 09 Rayagung, Besar atau Haji 1759, Kemis Kliwon
Tanggal Hijriah: 09 Dzul Hijjah 1247, Khamis
Dina, Pasaran: Kemis, Kliwon
Windu, Lambang: Sangara, Kulawu
Warsa: Dal
Wuku: Manahil
Mangsa: Kasewelas-Sadha (19/04 s/d 11/05)
Waktu: Dzuhur (pukul 13.00)
Namun sayangnya apa yang ditulis oleh Prof. Dr. Edi Suhardi Ekadjati dalam buku "Wawacan Carita Perang Cina di Tanjungpura Kabupaten Purwakarta", pada halaman 6 telah ditulis keliru dalam bahasa Indonesia yang berbunyi sebagai berikut:
"......... Penanggalan 9 Rayagung 1247 Hijriyah jatuh pada hari Jumat tanggal 20 Mei 1831 Masehi (Regeeringsalmank Jaar 1831; Pigeaud, 1982 : XV). Hal ini diperkuat oleh keterangan mengenai identitas dan masa pemerintahan Bupati Cianjur pada masa itu, yaitu bernama Dipati Prawiradirdja (bait ke-13). Ada dua orang Bupati Cianjur yang memerintah pada abad ke-19 Masehi dan bernama Raden Adipati Prawiradirdja, yaitu Raden Adipati Prawiradirdja I yang memerintah tahun 1813-1833 dan Raden Adipati Prawiradirdja II yang memerintah tahun 1863-1910 (De Haan, I, 169-176). Jadi peristiwa pemberontakan tersebut terjadi pada masa pemerintahan Raden Adipati Prawiradirdja I sebagai bupati Cianjur, sedangkan penyusunan karangan mengenai peristiwa itu dikerjakan pada masa pemerintahan Raden Adipati Prawiradirdja II. Sehubungan dengan hal itu, karangan atau teks dalam naskah SD 108 ini disusun setelah sekitar 33 tahun peristiwa terjadi."
Yang jadi masalah adalah keterangan yang berbunyi sebagai berikut: "......... Penanggalan 9 Rayagung 1247 Hijriyah jatuh pada hari Jumat tanggal 20 Mei 1831 Masehi (Regeeringsalmank Jaar 1831; Pigeaud, 1982 : XV). ........."
Padahal sumber-sumber primer berupa arsip dan sumber-sumber sekunder berupa dokumen tercetak Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda, telah jelas-jelas menyebutkan tahun terjadinya peristiwa tersebut, yaitu tahun 1832 dan bukan tahun 1831, juga menyebutkan bulan terjadinya peristiwa tersebut (Mei) dan tanggal terjadinya peristiwa tersebut di Purwakarta mulai tanggal 08-09 Mei 1832. Sedangkan peristiwa yang terjadi di Wanayasa adalah mulai tanggal 10-11 Mei 1832. Adapun peristiwa yang diceriterakan oleh Hadji Moehammad Oemar, yaitu 10 Mei 1832 adalah gambaran peristiwa (deskriptif naratif) akan kedatangan Bupati Karawang R.A.A. Soeriawinata kepada Bupati Cianjur R.A.A. Prawiradirdja I di Pendopo Kabupaten Cianjur seperti telah disebutkan di atas.
Memang selain penanggalan yang disebutkan dalam teks Carita Perang Cina di Tanjungpura Kabupaten Purwakarta tidak lagi disebutkan tanggal-tanggal peristiwa kronologis secara gamblang melainkan disebutkan hanya keterangan waktu, seperti keesokan harinya atau beberapa hari berikutnya atau bagian dari hari seperti dini hari, pagi hari, siang hari, sore hari, petang hari, malam hari dan tengah malam. Lagi pula penanggalan pun pasti akan mengacu pada tahun Hijriyah.
Selain daripada itu terdapat pula sumber manuskrip lain, yaitu : yang berasal dari koleksi Cornelis Marinus Pleyte yang berada di Bagian Manuskrip (Naskah) Melayu Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dengan nomor inventarisasi Plt. No. 46 Peti 121 dengan naskah berukuran 34,5 x 21,5 cm sebanyak 14 halaman. Keadaan kertas masih cukup baik, ditulis pada kertas ber-water-mark dikoleksi oleh Cornelis Marinus Pleyte (1863-1917) yang beralamat di Gang Chaulan 18 Weltevreden, Batavia (sekarang Gambir, Jakarta Pusat). Naskah ini terutama pada halaman 11 tertulis dalam bahasa Melayu yang berbunyi sebagai berikut:
"......... Taoen 1830 Iboe negeri Krawang pindah ke Poerwakarta. Taoen 1832 Roesoeh atawa perang ketjil, Tjina-tjina Macao jang kerdja di Pangawelan (?) Tjilangkap, semoea 300 ka Poerwakarta abis bikin roesak : boei, kantor, dan lain-lain, lantas ka Krawang, di Tandjoengpoera kapapag Pangeran Alibasah datang dari Batawi; Rame perang, Tjina kalah mati saparo lari. Tida lama Regent pangkat Adipati Soeriawinata, Patihnya pangkat Toemanggoeng Sastranagara. Lain taoen roemahnya kabakaran besar sekali 80 roemah dan lain-lain. ......... "
Sementara terjemahannya dalam bahasa Indonesia sesuai Ejaan Yang Disempurnakan sebagai berikut: "......... Tahun 1830 ibu negeri (ibu kota) Krawang pindah ke Purwakarta. Tahun 1832 kerusuhan atau perang kecil, Cina-cina Macao yang kerja di Pangawelan Cilangkap, semua 300 ke Purwakarta habis bikin rusak: bui, kantor dan lain-lain, lantas ke Krawang, di Tanjungpura disambut Pangeran Alibasah datang dari Betawi (Batavia); ramai perang, Cina kalah mati sepruh lari. Tidak lama Regent pangkat Adipati Suriawinata, Patihnya pangkat Temengung Sastranagara. Lain tahun rumahnya kebakaran (terbakar) besar sekali 80 rumah dan lain-lain. ........."
Perlu diketahui, bahwa dalam naskah tersebut terdapat nama-nama orang (para pelaku sejarah dalam peristiwa itu) sesuai dengan teks dalam naskah (buku) itu, yaitu antara lain : Pangeran Alibasah (Pangeran Alibasah Sentot Abdul Mustafa Prawirodirdjo), Patih (Toemanggoeng Sastranagara) dan Regent (Adipati Soeriawinata).
Perlu diketahui, bahwa dalam naskah tersebut terdapat pula nama-nama tempat bersejarah dalam peristiwa itu, sesuai dengan teks dalam naskah (buku) itu, yaitu antara lain : Batawi, Krawang, Pangawelan, Poerwakarta, Tandjoengpoera dan Tjilangkap.
Sumber sekunder berupa dokumen tercetak, antara lain, yaitu dalam buku karya G. de Seriere (Jhr. ds. Guillaume de Serire), "Mijne Loopbaan in Indie" (Bijlage XVII, halaman 81-121) yang isinya berasal dari sumber primer, yaitu surat (missieve) (dari) Het Lid in het Hoog Geregtshof Fung. Ommegaan de Regter van de Wester-afdeeling (Get.) T.H. Tobias - Accordeert : Tobias di Tjanjor (Cianjur) tanggal 17 Junij 1832. Beberapa kalimat penting di antaranya dalam bahasa Belanda yang berbunyi sebagai berikut : ".........
"(p. 81) Ter voldoening aan den last, vervat bij uwer Excellenties aanschrijven bij kabinets-missive d.d. 26 Mei No. 968, heb ik mij naar de Residentie Krawang begeven, ten einde aldaar een voorloopig onderzoek te bewerkstelligen nopens den opstand der Chinezen te Tjielankap. .........
(p. 82) Van zelve verdeelt zich mijne taak in twee hoofdgedeeltens. Het eerste betreft den opstand van de Chinezen te Tjilankap; het tweede betreft den doodf van de ongelukkige thee-Chinezen te Waniassa. Omtrent deze laatsen zal ik zeer kort kunnen zijn, daar zij hoegenaamd in den opstand niet betrokken waren, hoezeer hun dood ook een gevolg van denzelve kan genoemd worden, en deze gebeurtenis aan het slot van dit rapport behandelen, om met den opstand te Tjielankap te beginnen. .........
(p. 104) ......... Ja wat meer is, ook daar was oproer onder de Chinezen, en eene aanzienlijke magt van deze natie zoude zich tot een getal van 200, 400, ja volgens sommigen wel 1000 man sterk, te Tanjong Poera bij hen voegen. ........."
(p. 117) ......... Tusschen den 8-9 broekt de opstand te Tjilankap uit, en reeds den 10 komt het district-hoofd van Waniassa met den Europeschen ambtenaar Siberg bij den Resident met een Inlandsch hulp-coprs van zestig gewapende mannen, doch met achterlatig van 40 gewapende manschoppen, om de rust op Waniassa te bewaren. .........
(p. 118) ......... gedrag der Chinezen niets dan vrees hebben bespeurd, en zich hoogstens hebben bepald om te zorgen, dat zij niets kwaads konden doen; doch neen, deze twee, en vooral de oude krijgsman, ziet niets dan oproer, en acht de plaats zijner inwoning in dringend gevaar. .........
Hij droomde van gevondene wapenen, en daarin lag het oproer, waarvoor de vrees ook nog zal vermeerderd zijn door geruchten, dat de Chinezen van Tjilankap in aantogt waren. .........
(p. 119) Zoo ontving dan ook de Resident in den nacht van den 10---11, de tijding van het quasi oproerig gedrag van de Chinezen te Waniassa. In gewone tijden had deze ambtenaar zeker geen anderen last gegeven, dan eenvoudig, neem ze in arrest, ik zal de zaak zelve komen of laten onderzoeken; ........."
Perlu diketahui, bahwa dalam naskah tersebut terdapat nama-nama orang (para pelaku sejarah dalam peristiwa itu) sesuai dengan teks dalam naskah (buku) itu, yaitu antara lain: Akong Ong Assie, Alang, Ang Jim, Apoek, Ateng (Atanko), Bik, Botter, Clignett (P.F. Clignett), Cornel, De Pati Soeta Mangala, De Seriere (Guillaume de Seriere), De Vries, Denisson, Diepo Negoro (Pangeran Diponegoro), Eng Assam, Eng Assan, Fraser, Ho A Heeng, I.H. Tobias, Lam Atjai, Lauw Tjong, Li Atjing, Macklot (Heinrich Christian Macklot), Meunier, Ngohim, Ou Akap, Piet Marleveld, Pitcairn, Siberg, Smit, Soera Troeno, Tjang Amin, Tjang Tjingse, Tjia Apak, Tjingkoan, Tjong Aijong John (Atjong) de Tolk, Tjong Angi, Tjong Asoen, Tjong Assien, Tjong Bonseeng, Tjong Kamsiong, Tjong Liaumin, Tjong Siang, Tong Anji (Tiko), Van den Broek (J. van den Broeke?), Van des Marbais dan Wong Tanko.
Perlu diketahui pula, bahwa dalam naskah tersebut terdapat pula nama-nama tempat bersejarah dalam peristiwa itu, sesuai dengan teks dalam naskah (buku) itu, yaitu antara lain: Batavia, Kambangkoening, Krawang, Meester Cornelis, Panabang, Soeban, Tanjong Poera, Tikau / Tjikao / Tjikau, Tjamis, Tjielankap, Tjikau Bandong, Vorstenlanden dan Waniassa.
Menurut R. Soeria di Radja dalam buku sastra sejarahnya "Tjampaka Warna" yang berhuruf Sunda (Hanacaraka) dan berbahasa Sunda. Buku ini terdiri dari Asmarandana (6 bait = pada), Durma (60 pada), Kinanti (51 pada), Asmarandana lagi (123 pada). Yang mana di dalamnya ada kisah "Karaman di Purwakarta" (Perang Makao) pada halaman 111-158 terbitan tahun 1932 atau pada halaman 100-143 terbitan tahun 1938. Dalam buku ini tertulis dalam bahasa Sunda yang berbunyi sebagai berikut:
"Karaman di Poerwakarta
Dina taoen 1832 rea djelema noe daratang ti nagara Cina, ngeusian tanah soewoeng di Tjilangkap, wewengkon Poerwakarta, ngaradon tatahar maroeka tanah. Tapi teu lila sanggeusna daratang ka dinya breng bae ngaraman, ngaroeroeg ka Poerwakarta teroes ka Krawang. Lalakon noempesna eta karaman digoerit dikarang tembang koe pangiring Dalem Tjiandjoer harita anoe miloe ngalaman pribadi, sakoemaha anoe ka oengel di handap ieu : .........
Asmarandana
1. Ka Tuan Risden di loji, / Awak geura paparentah, / Baraya kumpulkeun kabeh, / Di lebet kakang dagoan, / Sabot nya ngadeuheusan, / Ka Tuan Risden Cianjur, / Keur kitu hol datang upas.
2. Dalem seug ngalahir deui, / Haji Muhyi geuwat-geuwat, / Raden Haji Muhyi mando, / Nyembah bari tuluy angkat, / Upas hatur uninga, / Pokna gamparan disaur, / Ka Tuan Risden kawentar.
3. Dalem geus carita deui, / Kareta heug dititihan, / Kakara palebah kantor, / Loceng bedug geus disada, / Bende ngungkung di jalan, / Ngageder rusuh ngaguruh, / Jelema paselebrutan.
4. Dalem geus sumping ka loji, / Lajeng bari sasauran, / Sarawuh Tuan Residen, / Sareng Dalem Purwakarta, / Sadaya geus araya, / Bade angkat pukul tilu, / Ti beurang ka Purwakarta.
5. Teu lila linggih di loji, / Lajeng nitihan kareta, / Nu dua Regen ngarendeng, / Geus sumping ka pancalikan, / Di lebet geus kasampak, / Wargi nu anom nu sepuh, / Kumpul pada marunjungan.
6. Dalem Purwakarta ngalih, / Ka masigit pipir latar, / Sarta disalin panganggo, / Sapangadeg heunteu kirang, / Ayeuna salin tembang, / Durma nu ngaganti pupuh, / Nu ngalajeungkeun carita."
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai berikut :
"Kerusuhan di Purwakarta
Pada tahun 1832 banyak orang yang datang dari negeri Cina, membuka lahan tanah tak bertuan di Cilangkap, wilayah Purwakarta, sengaja datang membuka tanah. Tetapi tak lama setelah datang ke sana (langsung saja) membuat kerusuhan, menyerbu ke Purwakarta terus ke Karawang. Peristiwa penumpasan kerusuhan itu digubah dikarang menjadi lagu oleh pengiring atau ajudan Dalem Cianjur saat itu yang ikut mengalami sendiri seperti yang tercantum di bawah ini : ........."
Asmarandana
1. kepada Tuan Residen di loji, / Anda segera memerintah (mengatur), / sanak saudara kumpulkan semua! / Di dalam kanda tunggu, / Untuk menghadap, / Kepada Tuan Residen Cianjur!" / Tiba-tiba datanglah upas. /
2. Bupati segera berkata lagi : / "Haji segeralah (pergi)!" / Raden Haji Muhyi menghormat, / menyembah sambil terus pergi, / Upas memberi tahu, / Katanya, "Paduka dipanggil, / oleh Tuan Residen ke seberang." /
3. Semula Bupati telah menyiapkan, / kereta segera dinaiki, / Baru saja di dekat kantor, / lonceng bedug telah berbunyi, / gong dibunyikan di jalan, / Riuh rendah bergerak tergesa-gesa, / orang-orang simpang siur. /
4. Bupati telah tiba di loji, / Kemudian berbicara, / dengan Tuan Residen, / dan Bupati Purwakarta. / Semua telah sepakat, / akan berangkat pukul tiga, / Sejak siang hari ini, /
5. Tak lama berada di loji, / lalu naik kereta, / yang dua Regent (Bupati) duduk berdampingan, / Sesampainya di pendopo, // di dalam telah (nampak) hadir, / rakyat yang muda yang tua, / berkumpul bersalaman. /
6. Bupati Purwakarta berpindah, / ke masjid dekat pendopo, / serta berganti pakaian, / satu stel tidak kurang, / Sekarang ganti tembang, / Durma menggantikan pupuhnya, / yang melanjutkan cerita."
Naskah ini sebenarnya merupakan ringkasan dari naskah asli "Carita Perang Cina di Tanjungpura Kabupaten Purwakarta". Bagian Asmarandana bait 1-6 adalah ringkasan dari naskah asli bait 25-30; bagian Durma bait 7-66 adalah ringkasan dari naskah asli bait 31-90; bagian Kinanti bait 67-117 adalah ringkasan dari naskah asli bait 91-141 dan bagian Asmarandana berikutnya, bait 118-240 adalah ringkasan dari naskah asli bait 142-264. Sementara yang tidak terdapat dalam naskah ini adalah Asmarandana bait ke 1-24 dan 265-273 serta Sinom bait ke 274-309 dari naskah asli.
Menurut R. Satja di Brata dalam buku sastra sejarahnya "Dongeng-dongeng Sasakala", yaitu bab 20 "Rantjadarah", pada halaman 82-84, cetakan ke-2. Dalam buku itu tertulis dalam bahasa Sunda yang berbunyi sebagai berikut:
"20. Rantjadarah
'Lamoen oerang leumpang ti Poerwakarta ka Wanajasa, tangtoe njorang hidji tandjakan anoe katjida pandjangna, diseboetna tandjakan Rantjadarah. .........
......... Baheula Wanajasa teh beunang diseboet nagara gede, djadi dajeuh karesidenan, bedjana. Kira-kira dina taoen 1750 (M.) Koempeni Walanda (V.O.C.) moeka kebon teh anoe katjida legana, nja eta meh sakoeliah desa Wanajasa ajeuna, desa Babakan jeung desa Parakan-tjeuri. .........
Noe digawe atawa noe djadi koeli di kebon teh anoe kaseboet di loehoer, lolobana bangsa Tionghoa bae, nja eta oerang Makaw, maratoehna di hidji lemboer noe nelah Pasir Nagara Tjina (di toetoegan Goenoeng Boerangrang). Di Wanajasa aja pabrik-pabrik laleutik tempat ngokolakeun teh tea. Ari pabrik noe galede ajana di Poerwakarta, tempatna diseboet Belong. Didinja tempat ngoempoelkeun teh ti mana-mana, sarta toeloej dikokolakeun satjoekoepna, nepi ka beunang dikirimkeun ka nagara noe djaraoeh. Noe digarawe di dinja lolobana oerang Makaw keneh bae.
Lantaran bajaranana teu pati beres, sok tara tangtoe waktoena djeung sok rea potongan atawa dengdaan, kabeh oerang Makaw tea ngarandoeng hate, hajangeun ngaloebarkeun katoegenah. Mimitina oerang Makaw di Poerwakarta djeung anoe di Wanajasa baradami rerentjepan anoe katjida rikipna, niat ngajakeun roeroesoeh babarengan. Dina poe noe geus ditetepkeun ti anggalna der bae bareng pisan aja roesoeh di Poerwakarta djeung di Wanajasa. Gedong-gedong Koempeni dihoeroe, rea Walanda noe dipaehan.
Kapala pangoeroes kebon di Wanajasa ngaranna Sheper Leau, katjida pisan bengisna, harita pada neunggeulan pada nimpoegan koe batoe, toengtoengna lekek dipeuntjit, ari majitna toeloej dipitjeun ka leuweung, sarta nepi ka ajeuna eta leuweung diseboet leuweung Tjiperlaoe. Lebah oeroet majit tea ditjirian koe batoe gede, nelah nepi ka ajeuna disareboet Batoe-nantjeb. Kotjapkeun di Poerwakarta keur aja karoesoehan teh aja hidji prijaji noe kababawa, diarah koe oerang Makaw. Eta prijaji aja noe noeloengan, diasoepkeun ka djero belong, salamet heunteu sakara-kara. Engkena eta prijaji (djaksa) ditelahkeun Djaksa Belong.
Teroesna kana ngaran Rantjadarah :
Oerang Makaw ti Wanajasa bari ngajak oerang Tionghoa noe sedjen, ngaleugeudeut ka Poerwakarta, niat ngahidjikeun tanaga, sangkan bisa ngelehkeun balad Koempeni. Barang nepi ka tandjakan Pasirpandjang (anoe katjida pandjangna, koerang leuwih aja 3 km), maranehna paamprok djeung aleutan balad Koempeni noe rek noempes roeroesoeh di Wanajasa, samakta sapakarangna. Harita keneh der taroeng, perang tjampoeh geus teu bisa ngabedakeun moesoeh djeung lawan, geus teu inget kana eleh atawa meunang, asal ngaloebarkeun napsoe, asal bisa nandasa moesoeh, oelah nepi ka piheulaan babar, tegesing perang paeh-paeh hiroep-hiroep. Noe kasamboet ti doea pehakanana geus pabalatak. Loba anoe tinggoelitik ka lebak. Nepi ka sapandjang djalan noe djaoehna kira-kira satengah kilometer pinoeh koe majit, getihna ngabajabah, malah nepi ka ngarantja, tjek noe rahoel mah, nja eta rantja-getih atawa rantja-darah. Tah eta sasakalana anoe matak ti harita eta tandjakan Pasirpandjang diseboetna djadi nelah tandjakan Rantjadarah.
Panambah : Di leubakeun eta tandjakan aja tempat anoe legok, diseboetna Legok-sigaj, lantaran waktoe loba majit anoe tigoeling ka dinja tea, di lampingna aja tangkal kawoeng noe disigajan, nja dipake toeroen oenggah koe koemisi sarengse perang, noe hajang njaho saha-sahana noe djadi majit."
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai berikut:
"20. Rancadarah
'Jika kita berjalan dari Purwakarta ke Wanayasa, tentu akan melihat sebuah tanjakan yang sangat panjang, yang disebut tanjakan Rancadarah. .........
......... Dahulu Wanayasa dapat disebut negeri besar, menjadi kota karesidenan, katanya. Kira-kira pada tahun 1750 (M.) Kompeni Belanda (V.O.C.) membuka perkebunan teh yang sangat luas, yaitu hampir seluruh desa Wanayasa sekarang, desa Babakan dan desa Parakanceri.
Yang bekerja atau yang menjadi kuli di perkebunan teh yang tersebut di atas, kebanyakan bangsa Tionghoa saja, yaitu orang Makao, menetapnya di sebuah perkampungan yang terkenal sebagai Pasir Nagara Cina (di kaki Gunung Burangrang). Di Wanayasa ada pabrik-pabrik kecil tempat mengolah teh itu. Sedangkan pabrik yang besar-besar adanya di Purwakarta, tempatnya disebut Belong. Di situlah tempat mengumpulkan teh dari mana-mana, serta kemudian diolah secukupnya, sampai dapat dikirimkan (diekspor) ke negara-negara yang jauh. Yang bekerja di situ kebanyakan masih orang Makao juga.
Dikarenakan pembayarannya tidak terlalu bagus, sering tidak menentu waktunya dan sering banyak potongan atau denda, seluruh orang Makao itu merasa tidak puas, ingin mengeluarkan uneg-uneg. Mula-mula orang Makao di Purwakarta dan yang ada di Wanayasa berunding diam-diam yang sangat rahasia, berniat mengadakan kerusuhan bersamaan. Pada hari yang sudah disepakati sebelumnya langsung saja secara bersamaan ada kerusuhan di Purwakarta dan di Wanayasa. Gedung-gedung Kompeni dibakar, banyak orang Belanda yang dibunuh.
Kepala pengurus perkebunan di Wanayasa namanya Sheper Leau, teramat sangat bengisnya, pada waktu itu dipukuli, dilempari dengan batu, pada akhirnya disembelih (dipancung), sedangkan mayatnya kemudian dibuang ke dalam hutan, serta sampai sekarang hutan itu disebut hutan Ciperlau. Tepat di bekas mayat itu ditandai dengan batu besar, sehingga sampai sekarang disebut Batunanceb. Diceriterakan di Purwakarta sedang ada kerusuhan, ada seorang priyayi yang terbawa-bawa, diarak oleh orang Makao. Priyayi itu ada yang menolong, dimasukkan ke dalam pabrik teh yang besar (belong), selamat tidak kurang sesuatu apapun. Nantinya priyayi (jaksa) itu disebut sebagai Jaksa Belong.
Seterusnya ke soal nama Rancadarah :
Orang Makao dari Wanayasa sambil mengajak orang Tionghoa yang lain, menyerang ke Purwakarta, berniat menyatukan tenaga, agar bisa mengalahkan pasukan Kompeni. Ketika sampai di tanjakan Pasirpanjang (yang teramat panjangnya, kurang lebih ada 3 km). Mereka bertemu dengan iringan pasukan Kompeni yang akan menumpas kerusuhan di Wanayasa, dengan pakaian dan persenjataan lengkap. Seketika itu juga terjadi pertarungan, perang campur aduk, sudah tidak bisa membedakan kawan dengan lawan, sudah tidak ingat kepada menang atau kalah, asalkan dapat memuaskan nafsu, asal bisa membinasakan musuh, jangan sampai keduluan pihak musuh, tegasnya perang mati-mati hidup-hidup. Yang terjadi dari kedua belah pihak sudah berserakan. Banyak yang berjatuhan ke bawah. Sehingga sampai ke sepanjang jalan yang jauhnya kira-kira setengah kilometer penuh oleh mayat, darahnya tergenang, malah sampai menjadi kubangan, kata yang punya ceritera, yaitu ranca-getih atau ranca-darah. Nah, itulah asal mulanya, sehingga dari semenjak itu tanjakan Pasirpanjang disebutnya menjadi tanjakan Rancadarah.
Tambahan : Di sebelah bawah tanjakan itu ada tempat yang cekung, disebutnya Legoksigay, dikarenakan waktu banyak mayat yang berjatuhan ke sana itu, di lembahnya ada pohon enau yang dipelihara yang dipakai naik turun oleh komisi sehabis perang, yang ingin mengetahui siapa-siapa yang menjadi mayat........'."
Perlu diketahui, bahwa dalam naskah tersebut terdapat nama-nama orang (para pelaku sejarah dalam peristiwa itu) sesuai dengan teks dalam naskah (buku) itu, yaitu antara lain: Djaksa Belong (kemungkinan besar adalah Mas Wanapradja, hoofddjaksa, Kepala Kejaksaan) dan Sheper Leau (1ste Liutenant de Leau).
Perlu diketahui, bahwa dalam naskah tersebut terdapat pula nama-nama tempat bersejarah dalam peristiwa itu, sesuai dengan teks dalam naskah (buku) itu, yaitu antara lain: Babakan, Goenoeng Boerangrang, Legoksigaj, Parakantjeuri, Pasir Nagara Tjina, Pasirpandjang, Poerwakarta, Rantjadarah, Tjiperlaoe dan Wanajasa.
Menurut Roesjan dalam tulisannya "Babad Purwakarta" dalam Budaya Kalawarti No. 14 Tahun 1956 pada halaman 3-10. Dalam buku itu tertulis dalam bahasa Sunda yang berbunyi sebagai berikut:
"......... (dajeuh Karawang dina taun 1827 dialihkeun ke Wanajasa). .........
Taun 1830 dajeuh dialihkeun deui, ajeuna ka palemahan anu katimbang langkung perjogi, nja eta ka Sindangkasih wewengkon distrik Wanajasa keneh. Sindangkasih bukti rada kadjodjo ti ditu ti dieu sarta lawas ti lawas anu djadi ramena, nja dilandi ngaran : PURWAKARTA (Purwa = wiwitan, mimiti; karta maksadna murah keur kahirupan). Tempat asal Sindangkasih tadi ajeuna oge aja keneh, kiwarina mangrupi desa di lebet kota Purwakarta. ........
Di djaman Dalem Suriawinata tadi, Purwakarta kungsi ngalaman pagudjrud gede, anu dilantarankeun ku sababaraha gorombolan barandal Tionghoa-sengke. Ieu bangsa asing daratangna estu anu ngawudkeun kota, malah ngabaruntakkeun sapandjang djalan Purwakarta -- Wanajasa : balukar ibur gujur pilemburan, ear pangeusi padesan. Karaman njaliara ka sakurilingna, sasat nimbulkeun perang-leutik ngamaha Nagara, katjeluk dina sadjarahna : Rusuh Purwakarta at. Perang Makaw (Ma-kao), dugi ka aja walungan katut desa nelah Tjikao, sarta aja sesebatan tandjakan Rantjadarah antawis Purwakarta sareng Wanajasa. ........."
“Tjarios ‘Perang Makaw’ tadi.
Dina taun 1832 djaman Dalem Suriawinata tea, rabul sababaraha abrulan Tionghoa-sengke daratang ti peuntas ngareusian tanah suwung di Tjilangkap wewengkon Purwakarta, ngaradon tatahar ngabukbak leuweung maruka tanah sakurilingna; nanging duka kumaha kawit-kawitna, palangsiang alatan sengkeran pamarentah, da teu lila ti munggaran naratas leuweung narawas djalan teh wet anu breng bae bareng ngaraman ngarurug ka Purwakarta malah narutus ka Karawang pisan! .........”
Terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai berikut :
......... (ibukota Karawang pada tahun 1827 dipindahkan ke Wanayasa). .........
Tahun 1830 ibukota dipindahkan lagi, sekarang ke tempat yang lebih baik, yaitu ke Sindangkasih wilayah distrik Wanayasa juga. Sindangkasih terbukti lebih strategis dari sana sini dan lama-lama menjadi ramai, yang kemudian disebut : PURWAKARTA (Purwa = awal, permulaan; karta maksudna murah untuk kehidupan). Tempat asal Sindangkasih tadi sekarang juga masih ada, sekarang berupa desa di dalam kota Purwakarta. .........
Pada masa Dalem Suriawinata tadi, Purwakarta pernah mengalami kerusuhan besar, yang disebabkan oleh beberapa gerombolan berandal Tionghoa-sengke. Bangsa asing ini kedatangannya benar-benar mengobrak-abrik kota, malahan memporak-porandakan sepanjang jalan Purwakarta – Wanayasa : merusakkan perkampungan, menceraiberaikan penduduk pedesaan. Huru-hara merembet ke sekitarnya, sehingga menimbulkan perang kecil mengharu-biru Negara, terkenal dalam sejarahnya : Rusuh Purwakarta atau Perang Makaw (Ma-kao), sampai ada sungai dan desa yang dinamakan Cikao, serta ada sebutan tanjakan Rancadarah antara Purwakarta dengan Wanayasa.
“......... Ceritera ‘Perang Makao’ tadi.
Pada tahun 1832 jaman Dalem Suriawinata itu, datanglah beberapa rombongan Tionghoa-sengke, datang dari (negeri) seberang mengisi tanah tak bertuan di Cilangkap wilayah Purwakarta, menumpang bercocoktanam, membabat hutan membuka tanah di sekelilingnya; namun entah bagaimana asal mulanya, tanpa sepengetahuan pemerintah, sebab tidak berapa lama kemudian dari mula pertama melintasi hutan membuat jalan langsung saja secara bersamaan membuat kerusuhan menyerbu ke Purwakarta bahkan menembus ke Karawang sekalian! ......... “
Di dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, 1918 pada halaman 450 tertulis sebagai berikut: "......... Als ernstige rustverstoringen in het Krawangsche zijn te noemen een opstand onder Bagoes Djabin in 1816 en het Chineezenoproer in 1832 bij welk laatse oproer alle Europesche huizen te Poerwakarta door brand werden vernield en de natuuronderzoeker Macklot (zie aldaar) den dood vond. Door militair optreden werd de rust spoedig hersteld."
Sementara terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: "......... Jika sisa gangguan serius di Krawang disebut pemberontakan Bagus Djabin pada 1816 dan pemberontakan China pada tahun 1832 di mana kerusuhan Purwakarta terakhir semua rumah Eropa dihancurkan oleh api dan naturalis Macklot (lihat qv ) menemui ajalnya. Aksi militer untuk perdamaian dipulihkan segera."
Demikian pula yang tertulis di dalam Encyclopaedie van Nederlandsch Indie, sebagai berikut: "In 1832 werd zij tijdens een Chineezen oproer gedeeltelijk door brand vernield ook het district Sindangkasih van het regentschap Krawang zal eerlang den naam Poerwakarta dragen."
Sementara terjemahannya dalam bahasa Indonesia sebagai berikut: "Pada tahun 1832 distrik Sindangkasih Kabupaten Karawang itu sebagian dihancurkan oleh api selama kerusuhan Cina akan segera menggunakan nama Purwakarta."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H