Tradisi memasak juk di Korea memiliki akar yang dalam dalam sejarah dan budaya masyarakatnya. Meskipun resepnya baru tertulis secara resmi pada zaman Dinasti Joseon (1397-1910), praktik membuat dan menyajikan juk telah ada jauh sebelumnya dan mencerminkan nilai-nilai budaya, kesehatan, serta kepercayaan masyarakat Korea. Berikut adalah penjelasan lebih lanjut mengenai tradisi ini:
1. Sejarah dan Tradisi
a. Zaman Dinasti Joseon
Pada masa Dinasti Joseon, juk dianggap sebagai makanan yang penuh makna. Juk disajikan kepada orang tua sebagai tanda penghormatan, terutama di pagi hari. Ini mencerminkan rasa hormat yang tinggi terhadap orang tua dan nenek moyang, yang merupakan nilai inti dalam budaya Korea. Dalam masyarakat, baik di istana maupun di kalangan rakyat biasa, juk menjadi simbol kehangatan dan kasih sayang dalam keluarga.
b. Penyajian untuk Orang Tua
Penyajian juk untuk orang tua merupakan praktik yang umum di banyak budaya sebagai cara untuk menunjukkan penghormatan dan perhatian. Di Korea, memberi makan orang tua dengan makanan sehat seperti juk adalah cara untuk mendukung kesehatan mereka, serta menunjukkan cinta dan pengabdian.
2. Juk pada Musim Dingin dan Hari Dongji
a. Musim Dingin dan Dongji
Musim dingin di Korea bisa sangat keras, dan tradisi memasak juk menjadi cara untuk menghangatkan tubuh. Pada hari dongji, yang merupakan titik balik musim dingin, orang Korea memiliki kebiasaan memasak juk dengan menambahkan kacang merah. Kacang merah ini tidak hanya memberikan rasa yang lezat, tetapi juga mengandung makna simbolis.
b. Makna Simbolis Kacang Merah
Kacang merah seringkali diasosiasikan dengan kemampuan untuk mengusir roh jahat. Warna merah diyakini memiliki kekuatan magis untuk melindungi orang-orang dari kejahatan dan kesialan. Oleh karena itu, memasak juk dengan kacang merah pada hari dongji menjadi bagian dari tradisi yang melambangkan harapan untuk kesehatan dan perlindungan dari arwah jahat.