Pak Sekdes senyum licik, "Itu kan formalitas saja, Pak. Yang penting, biar kelihatan 'wah' di laporan."
Sementara itu, di kantor Pak Bupati, suasana sedikit tegang. Tiba-tiba, seorang wartawan muda muncul untuk wawancara terkait proyek jalan raya yang tak kunjung selesai.
"Pak Bupati, kenapa jalan yang direncanakan belum juga rampung, padahal anggarannya sudah turun sejak tahun lalu?" tanya wartawan dengan tajam.
Pak Bupati terdiam sejenak, lalu tersenyum lebar. "Ah, itu gara-gara musim hujan, Mas. Tanahnya labil. Jadi, kita terpaksa menunda. Padahal kalau saya lihat, sih, jalan itu tinggal di-... ehm, di aspal sedikit lagi."
Wartawan itu mengernyitkan dahi, "Tapi, Pak, saya sudah cek lokasi. Hujan baru turun minggu lalu, dan jalannya baru ada kerikil, belum ada aspal."
Pak Bupati yang mulai bingung, langsung mengeluarkan jurus andalan. "Oh... itu, Mas. Kerikilnya kan juga penting. Aspal tanpa kerikil itu seperti bubur tanpa kuah!"
Wartawan itu semakin bingung. "Bubur... tanpa kuah?"
Dengan penuh percaya diri, Pak Bupati melanjutkan, "Iya, Mas. Jalan ini konsepnya minimalis. Jadi kita mulai dari dasar yang simpel dulu. Sama seperti seni, jalan pun harus ada estetika."
Wartawan hanya menggeleng-geleng, berpikir dalam hati, Estetika? Jalan raya? Tapi, dia juga tahu, wawancara ini tidak akan membawa ke mana-mana.
Dan begitulah kolusi di pemerintahan terus berjalan. Proyek yang tak kunjung selesai, amplop coklat yang beredar diam-diam, dan rakyat yang menunggu jalan tanpa tahu bahwa proyek itu mungkin akan berakhir seperti jembatan sebelumnya: rusak dua bulan setelah selesai.
Para pejabat pulang ke rumah masing-masing, merasa hari itu sangat produktif---bukan karena menyelesaikan proyek, tapi karena berhasil mengakali sistem lagi.